Pages

17 Maret 2016

Pasrahkan Diri pada Kuasa Tuhan


Menjalani hidup ini tidak selalu mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang mesti dihadapi dan dilewati. Karena itu, orang mesti berani memasrahkan diri kepada Tuhan.

Suatu hari saya bertemu dengan seorang kenalan baru saya. Kami pun saling berbagi cerita. Namun tak banyak cerita bahagia yang saya dapatkan darinya. Hanya lelehan airmata yang mewarnai setiap pembicaraan kami.

Dalam kisah deritanya itu, ia berkata, “Apa salahku pada Tuhan? Mengapa tak ada kebahagiaan sedikit pun pada hidupku? Ayahku sedang dipenjara dan setiap hari aku harus menelan hinaan orang. Ibuku menghilang begitu saja dan tak pernah mempedulikan aku dan adik-adikku. Aku harus bekerja demi adik-adikku, sehingga aku tak lagi melanjutkan ke SMA sampai semua orang mengatakan bahwa aku bodoh. Mengapa semua ini harus terjadi padaku? Hatiku terus-menerus disakiti.”

Saya hanya bisa mendengarkan keluh kesahnya. Ia mencurahkan seluruh isi hatinya kepadaku. Ia merasa bahwa dengan didengarkan, ia mampu tetap menjalani situasi hidupnya. Kenalan saya itu merasa puas bahwa ia dapat berjumpa dengan seseorang yang mampu mendengarkan keluh kesahnya.

Suatu kali lain, kami berjumpa lagi. Kali ini ia tidak lagi mempersoalkan situasi dirinya. Ia merasa telah menemukan situasi hidup yang lebih baik. Ia tidak perlu mempertanyakan kesalahannya kepada Tuhan. Ia merasa bahwa inilah tanggungjawab yang mesti ia pikul dalam hidupnya.

Memikul Beban Bersama Tuhan

Setiap manusia mempunyai ujiannya sendiri. Setiap manusia memiliki beban atau tanggung jawab yang harus dipikulnya sendiri. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup dalam lembah derita. Mengapa? Karena semua orang ingin selalu hidup dalam suasana bahagia. Menyalahkan keadaan dan orang lain bukanlah jalan keluar yang tepat. Dengan berbalik mengutuk orang lain, sama halnya dengan memasukkan kerikil dalam hati.

Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk berani menghadapi kehidupan ini meski banyak persoalan yang mesti kita hadapi. Persoalan-persoalan itu justru menjadi kesempatan untuk menguji kemurnian iman kita kepada Tuhan. Ada orang yang enggan menghadapi berbagai persoalan hidupnya. Ada orang yang mudah menyerah pada keadaan. Tentu saja hal ini tidak menunjukkan bahwa kita adalah orang beriman sejati.

Orang beriman mesti senantiasa yakin bahwa orang yang berani menghadapi persoalan-persoalan hidupnya akan menemukan sukacita dan damai dalam hidup ini. Memang untuk hal ini, orang mesti memiliki keyakinan bahwa dia tidak melangkah sendirian di dunia ini. Tuhan yang mahabaik dan mahapenyayang senantiasa berjalan bersama dirinya. Tuhan selalu membantu dirinya, ketika ia berani menyerahkan seluruh hidup ke dalam kuasa Tuhan.

Karena itu, orang mesti tetap bertahan dalam iman akan Tuhan. Artinya, orang mesti selalu mengandalkan Tuhan dalam seluruh proses hidupnya. Orang mesti memenuhi hidupnya dengan kasih Tuhan yang tak pernah lekang oleh karatnya zaman.

“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Tuhan kepada barangsiapa yang mengasihi Dia,” kata Santo Yakobus (1:12). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

Hati yang Mudah Tergerak oleh Kasih

 
Manusia sering mengalami kebuntuan dalam hidupnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena hati manusia menjadi keras seperti batu. Karena itu, manusia mesti memiliki hati yang mudah tergerak oleh situasi di sekitarnya.

Ada sebuah batu besar yang berada di tengah-tengah sebidang ladang. Batu itu sangat keras. Sang petani yang empunya ladang sampai putus asa ketika hendak memecahkan batu itu. Berkali-kali ia berusaha untuk memecahkannya, tetapi ia tidak berhasil. Bahkan lengannya hampir putus saat memecah batu.

Suatu ketika ia membakar batu itu. Namun api hanya menjilat-jilat. Api tidak mampu menghanguskan batu itu. Api tidak mampu membuat batu itu menjadi lembut. Batu besar itu tetap keras. Bahkan batu itu menertawakan sang pembakar.

Batu itu berkata, “Kamu hanya menghabiskan tenagamu saja. Saya ini sangat keras. Jadi lebih baik, kamu biarkan saja saya seperti ini. Saya juga tidak akan mengganggu kegiatanmu.”

Petani itu tidak mau mengalah. Ia tidak mau mendengarkan omongan sombong dari sang batu. Ia berkata, “Saya akan tetap berusaha untuk menghancurkanmu. Saya tidak akan pernah membiarkan kamu menjadi penghalang bagi kebun saya ini.”

Petani itu terus-menerus berusaha untuk menghancurkan batu besar yang keras itu. Berbagai usaha ia lakukan, namun sia-sia belaka. Batu itu tetap berdiri kokoh. Ia tidak dapat dihancurkan.



Jangan Punya Hati Yang Keras

Sering dalam hidup ini kita menjumpai orang-orang memiliki hati yang keras seperti batu. Orang-orang seperti ini sulit ditaklukan. Kemauan mereka sangat keras. Apa saja yang mereka inginkan akan mereka laksanakan dengan ketat dan penuh konsekuen. Tidak ada dalam diri mereka untuk gagal. Kalau sampai gagal, mereka akan bangkit lagi. Mereka tidak mudah patah semangat.

Kisah di atas memberi kita kesempatan untuk merenungkan tentang ketegaran hati. Hati yang tegar sering menguatkan seseorang dalam memperjuangkan hidupnya. Hati yang keras seperti batu sering membuat orang cuek terhadap situasi di sekitarnya. Orang yang punya hati yang keras seperti batu tidak peduli terhadap orang-orang di sekitarnya.

Orang yang memiliki hati seperti batu akan membuat perasaannya semakin keras. Orang seperti ini tidak mengizinkan kasih masuk ke dalam dirinya. Orang yang memiliki hati seperti ini akan cenderung lebih mudah untuk melukai perasaan orang lain.

Tentu saja orang beriman tidak ingin memiliki hati yang keras seperti batu. Sebaliknya, orang beriman mesti memiliki hati yang lembut. Hati yang mudah tergerak oleh kondisi hidup sesamanya. Orang beriman selalu menyediakan hatinya bagi bertakhtanya kasih bagi dirinya dan sesamanya. Untuk itu, orang mesti melepaskan hatinya yang keras seperti batu itu.

Mari kita tidak membiarkan hati yang keras seperti batu menguasai diri kita. dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan bagi kita untuk peduli terhadap hidup sesama kita. kasih dan kesetiaan senantiasa menjadi andalan bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

1189

11 Maret 2016

Membuka Telinga bagi Sesama yang Menderita

 
Ketika ada sesama Anda yang mengalami kegalauan dalam hidupnya, apa reaksi Anda? Anda biarkan saja atau Anda membuka hati dan telinga Anda untuk mendengarkan keluh kesahnya?

Seorang anak merasa galau dalam hidupnya. Soalnya adalah kedua orangtuanya menganggap remeh terhadap dirinya. Padahal ia adalah anak kandung kedua orangtuanya. Selama hidupnya, ia juga selalu melakukan hal-hal yang terbaik bagi dirinya dan orangtuanya. Karena itu, ia merasa heran mengapa orangtuanya tidak mau mendengarkan dirinya.

Suatu hari, ia meminta kepada ibunya, “Ibu, dengarkan aku sekali ini saja.”

Namun tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Justru ibunya memarahi dirinya. Ia tidak ingin mengdengarkan suara anaknya. Anak itu menjadi semakin galau. Sebagai manusia, ia ingin didengarkan. Ia bukan sekedar sebuah patung. Ia seorang manusia yang bermartabat. Ia tidak mau berputus asa.

Ia mendatangi ayahnya. Ia bertanya, “Ayah, ayah mau mendengarkanku kan?”

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut sang ayah. Air mata mengalir dari mata sang anak. Ia telah memohon untuk didengarkan, tetapi tak ada sebuah telinga pun yang terbuka bagi dirinya. Ia bertanya dalam hati, apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia pun termenung, merefleksikan persoalan yang sedang dihadapinya.

Kesimpulan yang ia temukan adalah ia seorang anak yang lemah dan juga selalu gagal dalam banyak hal. Dia sudah melakukan yang terbaik, namun tak kunjung mendapatkan hasil yang baik. Akibatnya, tak seorang pun mau mengakui keberadaannya.

Berada dalam situasi tidak didengarkan merupakan suatu pukulan besar bagi diri seseorang. Orang merasa tidak dimanusiakan. Orang merasa seperti robot atau patung. Orang merasa tak berguna dan juga merasa tersisih. Tidak ada ruang baginya untuk bisa mengungkapkan pendapat.

Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk senantisa memasang telinga bagi orang lain. Banyak orang mengalami berbagai persoalan dalam hidupnya. Mendengarkan persoalan mereka berarti kita menerima kehadiran mereka sebagai manusia. Mendengarkan orang lain berarti kita juga menghargai kehadiran mereka.

Orang beriman mesti selalu menyediakan telinganya untuk sesamanya. Telinga yang selalu terbuka berarti juga orang memiliki kepedulian yang besar terhadap sesamanya. Orang tidak hanya membiarkan telinganya dimasuki oleh suara-suara. Lebih dari itu, orang sungguh-sungguh memasang telinganya bagi sesamanya itu. Mengapa? Karena sesama itu bukan sekedar patung atau boneka. Mereka adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.

Kita mesti ingat bahwa orang yang merasa tidak berguna sering mengakhiri kehidupannya. Mereka berpikir bahwa kematian adalah jalan terbaik, karena orang lain tak lagi menghargai kehadiran mereka. Untuk itu, memasang telinga sejenak saja untuk sesama kita akan sangat berguna dan berharga. Pertama-tama, kita menyelamatkan sesama itu dari kematian. Kedua, kita memberikan rasa optimis baginya dalam menjalani hidup ini.

Mari kita tetap memasang telinga bagi sesama yang sedang berada dalam kegalauan hidupnya. Dengan demikian, kita dapat menyelamatkan jiwanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

1188

10 Maret 2016

Berani Membarui Diri untuk Hidup Lebih Baik

 

Membarui hidup merupakan suatu langkah yang sangat baik untuk memiliki hidup yang lebih bagi dan berguna.

Suatu hari seekor kadal kehilangan ekornya. Ekor satu-satunya itu terjepit kayu. Kadal itu sudah berusaha untuk melepaskan diri, tetapi tidak bisa. Satu-satunya cara agar ia tidak mati adalah memutuskan ekor yang terjepit itu. Begitu putus, kadal itu merasa sakit sekali meski hanya beberapa tetes darah yang keluar. Meski begitu, ia merasa lega. Ia bisa lolos dari kematian yang mengancam nyawanya.

Tindakan selanjutnya adalah mengobati bekas luka itu. Bekas luka itu mesti cepat mengering, agar ia bisa beraktivitas dengan bebas. Tubuhnya kini menjadi lebih pendek. Pada awalnya kadal itu merasa tidak enak, tidak nyaman. Namun ia mulai menyesuaikan diri. Ia mesti berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup di sekitarnya.

Bersamaan dengan mengobati lukanya, kadal itu pun membarui hidupnya. Ia tidak sekedar seekor kadal yang biasa-biasa saja. Dalam hidupnya, ia ingin menjadi kadal yang lebih baik. Kalau sebelum mengalami putus ekor, ia menjadi kadal yang sok berkuasa dan sombong, kini ia mau berubah. Ia ingin menjadi kadal yang rendah hati. Ia ingin membantu teman-temannya dalam hidup bersama.

Kadal kehilangan ekor itu kemudian menjadi kadal yang sangat baik. Ia suka membantu teman-temannya yang lain. Ia tidak egois lagi. Teman-temannya pun merasa kehadiran kadal yang hilang buntutnya itu menjadi suatu rahmat bagi hidup mereka.

Manusia hidup dalam dunia yang kadang-kadang keras dan kasar. Sering orang terperosok ke dalam kesulitan hidup. Sering hal itu disebabkan oleh perbuatan mereka yang sering mengagung-agungkan diri. Akibatnya, manusia mengalami kesulitan untuk membarui hidupnya.

Kisah di atas memberi inspirasi bagi pertumbuhan hidup kita. Kita dapat menjadi orang yang baik dan benar, kalau kita senantiasa membarui diri kita. Hal-hal yang lama yang sering menghambat pertumbuhan iman kita mesti dilepaskan. Ekor kadal itu menghambat dirinya. Karena itu, mesti diputuskannya.

Memang, membarui diri itu tidak mudah. Ada rasa sakit yang luar biasa ketika seseorang melepaskan hal-hal lama yang selama ini dihidupinya. Hal-hal itu terasa menyenangkan meski hanya semu. Tetapi orang tidak boleh takut, kalau ingin hidupnya lebih baik dan berguna.

Orang beriman mesti yakin bahwa bantuan Tuhan selalu menyertai perjalanan hidupnya. “Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapatkan kekuatan baru,” kata Nabi Yesaya (40:31). Kita membarui diri kita dengan menyambut kehadiran Tuhan dalam diri kita. Dengan demikian, kita memperoleh damai dan sukacita dalam hidup ini.

Membarui hidup berarti juga menyerahkan seluruh hidup kepada Tuhan. Bukan diri sendiri lagi yang berkuasa, tetapi Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang yang berkuasa atas diri kita. Mari kita membuka hati bagi Tuhan, agar Tuhan yang meraja dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ



1187

08 Maret 2016

Berani Menghadapi dan Menerima Perubahan





Tidak mudah bagi seseorang untuk menerima perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Orang mesti punya keberanian yang besar.

Ada seorang pemudi yang selalu merasa tidak percaya diri. Ia merasa tidak dicintai. Ia merasa ditolak oleh orang lain. Hal itu karena ia merasa bahwa sekarang ia menjadi orang yang jelek. Dulu tubuhnya langsing, tetapi sekarang menjadi besar tidak berbentuk. Dulu wajah dan kulitnya halus, namun sekarang menjadi hitam, kasar dan kusam.

Perasaan negatifnya terus berkembang. Akibatanya, ia gelisah. Ia merasa resah dan tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Karena itu, dengan bermacam-macam cara dan sarana, ia memanipulasi penampilannya. Tujuannya untuk bisa menambah rasa percaya diri. Padahal sebenarnya tidak mengubah apa-apa.

Cara yang ditempuh itu menunjukan bahwa ia telah menolak tubuhnya sendiri. Artinya ia juga membenci dirinya sendiri, karena tidak berani menerima perubahan atau kenyataan. Sampai suatu ketika, gadis itu mengalami stress berat. Ia jatuh sakit, karena tidak sanggup menerima dan menghadapi perubahan yang terjadi.

Suatu hari sahabatnya datang mengunjunginya. Sahabatnya itu tampak ceria. Sikap dan perilakunya dewasa. Tutur katanya menunjukkan kepribadian yang matang. Meski secara fisik sudah berubah, namun sahabatnya telah menerima perubahan. Ia menerima kenyataan bahwa dengan bertambahnya usia atau faktor-faktor lain, setiap orang akan mengalami perubahan secara alami. Sahabatnya mengimbangi perubahan fisik itu dengan berbagai kegiatan positif yang mengembangkan kematangan pribadi dan rohani.

Kehadiran sahabatnya itu menyadarkan gadis itu terhadap segala kecemasan yang dialaminya. Ia belajar dari sahabatnya. Akhirnya, ia berani menerima perubahan, sehingga hidupnya menjadi ringan dan gembira.



Syukuri Perubahan

Hidup kita ini selalu berubah. Kemarin kita mengalami perasaan yang berbeda dengan sekarang ini. Mungkin kemarin kita merasa sedih, takut, kuatir. Namun sekarang kita merasa ada semangat dan suasana yang baru. Kemarin rasanya tubuh ini tidak dapat bergerak sedikit pun, tetapi saat ini ada suatu perubahan. Kita sudah menggerakkan badan kita.

Ternyata perubahan itu membawa dinamika yang indah. Perubahan itu membantu kita untuk mengenal secara lebih dalam siapa diri kita ini. Apakah kita tumbuh menjadi lebih dewasa atau kita tetap saja kekanak-kanakan? Kalau kita tidak merasa bahwa tidak ada perubahan dalam diri kita, kita akan mudah cemas. Bahkan kita akan mengalami stress dalam hidup ini.

Karena itu, langkah yang mesti kita lakukan adalah menerima kenyataan diri kita. Kita adalah makhluk yang terus-menerus berubah. Perubahan itu senantiasa menuju kebaikan. Untuk itu, kita mesti mensyukuri perubahan itu. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Hidup ini menjadi suatu rahmat dari Tuhan sendiri. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

1185

Selalu Berusaha Menemukan Makna Hidup

 

Apakah Anda sungguh yakin, hidup Anda memiliki makna yang mendalam? Atau Anda sering merasa bahwa hidup ini kurang bermakna? Mengapa hidup Anda kurang bermakna?

Mungkin Anda tidak menemukan sesuatu yang utama yang menjadi fokus perjuangan Anda. Anda merasa bahwa apa yang Anda lakukan biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Karena itu, Anda butuh waktu untuk mengintrospeksi diri Anda.

Caranya mungkin Anda dapat mencontoh apa yang dilakukan oleh Lily Allen, seorang penyanyi asal Inggris ini. Menyadari bahwa hidupnya tidak bermakna, ia memutuskan untuk meninggalkan dunia hingar bingar musik untuk sementara. Lantas ia menghabiskan waktunya di sebuah kawasan hutan di Brasil untuk belajar tentang penggundulan hutan.

Tentang hal ini, ia berkata, ”Selama ini hidupku terasa hampa, karena tidak bermakna. Terkadang aku juga merasa tak punya tujuan. Aku pergi ke Brasil untuk membuat diriku bangga, karena bisa menggunakan ketenaran untuk tujuan positif.”

Menurut pengakuan perempuan berusia 26 tahun ini, ia tidak ingin menunjukkan bahwa ia tahu segala-galanya. Ia ingin memahami beberapa hal yang tidak ia ketahui. Ia berada di Brasil, karena ingin belajar dan berusaha menjadi lebih baik.

Ternyata Lily Allen tidak hanya belajar tentang penggundulan hutan. Setelah menyaksikan akibat buruk dari pengrusakan hutan, ia mengajar para penggemarnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Menurutnya, sangat penting bagi setiap orang untuk memikirkan dampak perilaku mereka terhadap masa depan bumi.

Pemilik album Alright Still ini berkata, ”Kita semua harus berusaha mengurangi emisi karbon. Aku juga berusaha, tapi kuakui ini tidak mudah.”

Kita hidup dalam zaman yang kurang begitu peduli terhadap lingkungan hidupnya. Begitu banyak penebangan pohon-pohon tanpa mengadakan aksi penanaman kembali. Akibatnya, banyak gunung mulai gundul karena kehilangan hutan. Satwa-satwa langka pun banyak yang punah. Mereka tidak punya tempat lagi untuk berlindung. Kalau pengrusakan lingkungan tidak dihentikan, bukan tidak mungkin manusia juga akan mengalami kesulitan dalam hidupnya.

Karena itu, kita butuh kesadaran tentang makna hidup. Kita tidak bisa hidup biasa-biasa saja. Kita mesti mengambil alternatif untuk menjadikan hidup kita ini lebih bermakna bagi kehidupan banyak orang. Untuk itu, kita mesti membuka wawasan pandang kita seluas-luasnya.

Apa yang telah dilakukan oleh Lily Allen dapat menjadi salah satu contoh bagi kita. Kita mesti memiliki kepedulian terhadap lingkungan di mana kita hidup. Langkah berani mesti kita ambil. Mungkin kita mesti meninggalkan kegiatan-kegiatan rutin kita sehari-hari. Kita ambil waktu untuk merefleksikan makna hidup kita. Mengapa kita hidup? Mau ke mana hidup ini mesti kita bawa?

Kiranya makna hidup yang lebih mendalam dapat kita temukan, ketika kita tidak hidup biasa-biasa saja. Tetapi makna hidup itu dapat kita temukan, ketika kita memberi waktu khusus untuk merefleksikan panggilan hidup kita. Mari kita berusaha terus-menerus untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO Palembang


1184

04 Maret 2016

Bersukacita dalam Tuhan


Setiap hari ada sukacita bagi hidup manusia. Soalnya adalah banyak orang mengalami duka nestapa dalam hidup mereka. Karena itu, orang mesti berani berjumpa dengan Tuhan untuk menemukan sukacita dalam hidupnya.

Ada seorang pria malang. Ia menjadi tawanan Nazi Jerman pada perang dunia kedua Setiap hari ia menerima siksaan. Ia ditempatkan dari satu sel ke sel lain dalam dinginnya udara dan kegelapan.

Suatu saat, ia dipindahkan ke sebuah sel yang sedikit berlubang. Melalui surat yang ditujukan kepada keluarganya, ia bercerita, "Saya begitu bersukacita. Melalui sebuah lubang, saya dapat menatap indahnya langit dan mega di siang hari. Juga gemerlapnya bintang di malam hari."

Pengalaman sukacita itu juga ia bagikan kepada teman yang ada di sel yang lain di sampingnya. Temannya itu sangat berbahagia mendengar indahnya langit dan mega di siang hari. Hatinya dipenuhi kegembiraan mendengar gemerlap bintang di malam hari. Soalnya, dari selnya itu ia tidak bisa melihat indahnya langit dan mega di siang hari.

Sayang, tidak lama kemudian ia dieksekusi mati dengan gas beracun bersama ratusan ribu orang lainnya. Harapannya untuk menghirup udara yang lebih luas dan bebas tidak tercapai. Namun sukacita telah ia peroleh, meski hanya sesaat.

Dalam situasi yang sulit, sukacita itu dapat dialami oleh setiap orang. Tentu saja kalau orang mau menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, Sang Pemberi hidup. Orang yang bersukacita di dalam Tuhan itu menemukan kebahagiaan yang abadi.

Dalam kisah di atas, seorang tawanan yang mengalami sukacita itu membagikan pengalamannya itu kepada temannya. Ia menularkan pengalaman kebahagiaan itu kepada sesamanya yang membutuhkannya. Sesama yang sangat merindukan sesuatu yang indah. Sesuatu yang dapat membuat ia bersukacita. Pengalaman sukacita yang dibagikan itu ternyata membantu sesama mengalami sukacita yang sama.

Setiap hari, kita juga mengalami sukacita dalam berbagai bentuk. Ada berbagai alasan yang membuat kita bersukacita. Namun sebagai orang beriman, sukacita kita itu mesti berlandaskan iman kita akan Tuhan. Iman itu mendorong kita untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik bagi sesama kita. Iman itu mampu membantu kita untuk tetap setia kepada Tuhan yang telah memanggil kita menjadi umat-Nya.

Pertanyaannya adalah apakah perjumpaan kita dengan sesama membawa sukacita bagi kita? Atau justru sebaliknya, perjumpaan dengan sesama itu mengurangi sukacita kita? Untuk itu, kita mesti belajar dari tawanan Nazi dari kisah di atas. Ia membagikan sukacitanya kepada sesamanya. Ia memenuhi kerinduan sesamanya untuk memiliki sukacita dalam hidupnya.

Karena itu, mari kita berusaha untuk mengalami sukacita dalam hidup kita yang nyata. Dan kita bagi sukacita kita kepada sesama yang kita jumpai. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

1183

03 Maret 2016

Berusaha Mengampuni Tanpa Syarat


Tidak gampang mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Mengapa? Karena orang merasa gengsinya direndahkan.

Seorang bapak berseteru sekian puluh tahun dengan tetangganya. Suatu saat bapak itu semakin tua, sakit-sakitan dan hampir meninggal. Tanpa pikir panjang, sang istri mengambil inisiatif untuk mendamaikan suaminya dengan tetangganya.

Namun ia tidak berani langsung berbicara kepada suami dan tetangganya. Ia menghubungi seorang ulama yang tinggal di seberang rumahnya. Ia berkata, "Tolong, bapak, suami saya hampir meninggal. Sudilah bapak datang mendoakan dan mendamaikannya dengan tetangga sebelah."

Ulama itu datang dan membujuk suami ibu itu untuk berdamai dengan tetangganya. Namun, tampaknya usaha tersebut akan berakhir sia-sia. Akhirnya muncul gagasan ulama itu untuk mempertemukan keduanya.

Tetangga itu pun datang. Tidak malu atau merasa gengsi, ia mengulurkan tangannya. Dengan penuh kerendahan hati, ia berkata, "Maafkan saya, Pak, mari berdamai. Lupakan apa yang telah berlalu.”

Malu dengan ulama dan tetangga serta istrinya sendiri, bapak itu dengan tangan dingin mengulurkan tangan. Semua menjadi lega. Permusuhan itu telah berakhir dengan suatu perdamaian.

Ketika ulama dan tetangga itu minta pamit hendak pergi seraya melangkah keluar pintu, bapak itu bangkit dari ketidakberdayaannya. Ia duduk di pembaringan, mengacungkan kepalan tinju. Ia berteriak, “Ingat, perdamaian ini berlaku hanya kalau aku jadi meninggal.”

Luka batin ternyata tidak begitu mudah untuk diobati. Bahkan dengan sebuah perdamaian dan permohonan maaf dari hati yang dalam. Kisah di atas menunjukkan hal ini. Orang mau mengampuni, tetapi dengan syarat yang berat. Bukankah ini yang mesti dihindari oleh orang beriman? Bukankah orang beriman itu mesti memaafkan dan mengampuni sesama dengan segenap hati?

Suatu hari seorang murid Yesus bertanya kepada Yesus, sampai berapa kali ia mesti memaafkan saudaranya yang berbuat salah. Yesus menjawab, “Sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Murid itu terkejut. Baginya, tidak mungkin ia sabar sedemikian lama. Ia memiliki hati manusia. Ia merasa sulit untuk membiarkan saudaranya terus-menerus melakukan kesalahan. Ternyata pengampunan yang ditawarkan oleh Tuhan itu suatu pengampunan yang tuntas, yang tak terbatas. Tanpa syarat.

Sebagai orang beriman, kita ingin berusaha agar kita dapat mengampuni sesama tanpa batas. Kita tidak mau memberi macam-macam syarat dalam pengampunan itu. Kita juga ingin mengampuni sesama itu dengan hati yang tulus. Tidak ada benci atau dendam yang kita simpan di dalam hati kita. Kita ingin dengan segenap hati mengampuni sesama kita. Dengan demikian, hati kita menjadi aman dan tenteram. Hidup kita menjadi damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

1182

01 Maret 2016

Kesombongan Membawa Malapetaka


Apa yang terjadi, ketika Anda mengandalkan kesombongan dalam menjalani hidup ini? Saya yakin, Anda tidak akan mengalami kebebasan dalam hidup ini.

Seekor burung gagak merasa dirinya yang paling baik di antara burung-burung di hutan belantara. Ia juga tidak mau disaingi oleh burung-burung yang lain. Padahal bulunya yang hitam sering menakutkan burung-burung yang lain. Lagi pula suaranya yang parau jelek sering mengganggu ketenangan para penghuni hutan.

Suatu hari, seekor burung kutilang mendatangi burung gagak yang sedang sedih. Burung kutilang itu berkata, “Hai gagak, mengapa kamu sedang sedih? Apakah kamu sedang ketakutan sama burung pipit?”

Burung gagak tersenyum. Ia mulai menunjukkan kehebatannya. Ia tidak mau direndahkan oleh seekor burung kutilang. Ia mengibas-ngibaskan sayap-sayapnya.

Lantas ia berkata, “Di hutan ini saya yang paling berkuasa. Tidak mungkin saya takut sama burung sekecil itu. Kamu saja saya bisa telan hidup-hidup, apalagi burung pipit sekecil itu. Atau kamu mau sekarang juga saya menyergapmu?”

Burung kutilang langsung menyingkir pergi. Ia tidak mau membuat burung gagak semakin emosi.

Suatu hari lain, ada seorang pemburu datang ke hutan. Gagak menghasutnya untuk memanah si kutilang dengan menawarkan bulunya sebagai anak panah. Namun, si pemburu berulang-ulang gagal memanah kutilang hingga bulu burung gagak itu habis. Karena kesal tidak mendapatkan hasil buruan, sebagai gantinya pemburu menangkap gagak yang kini tidak dapat terbang. Bulunya sudah habis.

Sombong = Malapetaka

Keangkuhan sering menjerumuskan orang ke dalam jurang kebinasaan. Kesombongan hanya mau menutupi kelemahan dan kekurangan dalam diri. Akibatnya, kebinasaan justru yang mengancam kehidupan manusia. Orang yang sombong akan segera terbuka kekurangan dan kelemahannya.

Kisah imajinatif di atas memberi kita inspirasi untuk senantiasa menghargai sesama manusia. Mengapa? Karena setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Yang ada adalah manusia berdosa yang sedang berziarah menuju kesempurnaan.

Untuk itu, yang kita butuhkan adalah kerendahan hati untuk menjalani hidup ini dengan normal. Mengapa? Karena orang yang sombong menjalani hidup ini lebih banyak dengan pura-pura. Akibatnya, hidup bersama sering berjalan tidak dengan harmonis. Sering terjadi benturan-benturan dalam hidup bersama.

Orang beriman mesti menyingkirkan kepura-puraan dalam hidupnya. Orang mesti menjalani hidup ini dengan jujur dan benar. Orang tidak mengandalkan kesombongan dirinya. Orang yang menutup kelemahan dan kekurangannya dengan kesombongan biasanya hidup dalam ketakutan. Orang seperti ini selalu takut kedoknya akan terbongkar. Akibatnya, orang seperti ini tidak merasa bebas dalam hidupnya.

Mari kita terus-menerus hidup dalam kebenaran, agar kita selalu bebas mengekspresikan diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk membangun keharmonisan dan damai bersama Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO Palembang