Pages

25 Maret 2015

Petrus menyangkal Yesus

"Bukankah engkau juga seorang muridnya? Ia menyangkalnya, katanya, "Bukan!" (Yoh.18:25-26).

Penyangkalan Petrus terhadap Yesus merupakan suatu realisasi definitif atas peringatan Yesus dalam perjamuan malam terakhir. Ketika itu, antusiasme Petrus yang besar yang mau memberikan nyawanya bagi Yesus disepelekan oleh Yesus.
  
"Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya, Aku berkata kepadamu: sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali." Petrus masih tidak percaya akan kata-kata Yesus itu. Ia tetap yakin bahwa ia akan tetap mengakui Yesus dalam situasi apa pun dalam hidupnya. Karena itu, ia bertindak seolah-olah tidak gentar menghadapi musuh-musuh Yesus di Taman Getsemani. Ia menghunus pedangnya dan memotong telinga Malkhus sebagai tanda pembelaan atas diri Yesus.
   
Aneh memang. Yesus, yang mengertibetul sifat-sifat Petrus yang mudah goyah, mengingatkan kembali Petrus akankata-katanya dalam perjamuan terakhir. "Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali."
   
Saat ayam berkokok itu memang masih lama. Yesus masih harus dibawa ke para penguasa waktu itu. Disanalah Petrus berhadapan dengan suatu kenyataan yang sangat menyakitkan hatinya: ia menyangkal Sang Guru sampai tiga kali. Genap sudah sabda Yesus.
    
Kesadaran Petrus mengenai hal itu memang datang. Tetapi sudah terlambat. Kembali sifat Petrus yang mudah goyah justru menjerumuskan dia ke dalam suatu situasi yang sangat menyedihkan. Di saat-saat Yesus membutuhkan dukungan pembelaan, justru orang yang paling dekat dengan-Nya memberikan kesaksian palsu alias menyangkal-Nya.
  
Semestinya Petrus menghunuskan lagi pedangnya. Atau paling tidak ia mengaku dengan jujur bahwa dia pernah mengenal Yesus. Padahal dalam wejangan perjamuan malam terakhir, Yesus sungguh-sungguh menekankan aspek iman akan Bapa dan diri-Nya.

 Mengimani Bapa dan Yesus berarti tinggal di dalam Bapa dan Putra.

"Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa." Petrus semestinya sudah tinggal di dalam Bapa dan Putra, karena ia dipilih secara khusus. Namun kenyataan justru berbicara sebaliknya. Ia belum sungguh-sungguh menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam tangan Yesus. Petrus malah menyangkal Sang Guru kehidupan itu.
   
Petrus semestinya membela Yesus dan ajaran-ajaran yang telah ia terima itu. Namun Petrus justru tak berdaya menghadapi seorang wanita penjaga pintu. Petrus yang ganas di taman, dengan memotong telinga Malkhus, berubah menjadi seorang pengecut justru di saat-saat Yesus sangat membutuhkan dukungan.
   
Malam sebelumnya ketika makan bersama Yesus, Petrus dengan bangga dan penuh kesombongan menyatakan kesanggupannya untuk membela Yesus sampai titik darah penghabisan. Ia mau menunjukkan kepada teman-temannya yang lain betapa cintanya ia kepada Yesus. Tetapi di pagi yang dingin Petrus pun menggigil ketakutan. Santo Lukas melukiskan penyangkalan Petrus ini dengan sangat bagus. Setiap kali dituding sebagai salahseorang dari pengikut Yesus, Petrus selalu menjawab dengan tegas. "Bukan, aku tidak kenal Dia!" Atau "Bukan, aku tidak tahu apa yang kaukatakan!" Sungguh, Petrus seolah-olah hilang ingatan bahwa sudah tiga tahun lamanya ia hidup bersama Yesus. Ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kelompok dua belas rasul itu.
  
Karena itu, ketika ayam berkokok, Petrus pun sadar. Ia menangis begitu melihat wajah Sang Guru yang kepalanya telah dililit mahkota berduri. Darah yang mengalir membasahi wajah Yesus menyentuh sanubari terdalam dari Petrus. Ia menyesal telah berani sombong dihadapan Yesus dan para rasul yang lain. Kini ia kena batunya! Ia tidak berkutik lagi. Jiwanya tersentak begitu mendengar kokok ayam jago yang mengiringi tibanya sang fajar. Hatinya terluka oleh ulahnya menyangkal Sang Guru yang kini berlumuran darah. Sebagai seorang yang menggebu-gebu, Petrus mengakui kesalahannya. Ia tidak mengikuti jejak Yudas Iskariot yang membiarkan tubuhnya dimakan burung-burung pemangsa bangkai. Petrus justru berbalik dari titik penyangkalan ke titik penyerahan yang lebih mendalam kepada Sang Guru yang bermahkotakan duri itu.

Dewasa Ini: Yesus masih Disangkal

Sore itu tiba-tiba saja hujan turun dengan lebat. Terpaksa saya mesti minggirkan motor berteduh di bawah gerbang masuk Dempo yang terletak di salah satu sudut Lapangan Hatta, Palembang. Setelah menyandarkan motor, saya mencari tempat yang aman. Beberapas aat kemudian berteduh pula penjual Es Putar. Ia memarkirkan gerobak dorongnyalalu mengikuti saya yang sudah berada di tempat yang kering.
  
"Wah, kalau hujan begini es putarnya kurang laku, pak," kata saya.
  
"Idak jugo. Kadang-kadang tidak laku justru pada hari lagi panas," jawab penjual es putar itu sambil menebarkan senyumnya.
  
"Akh, yang benar ... "
  
"Ini sudah resiko orang bedagang. Adokalonyo kito dapat banyak untung. Tetapi ado kalonyo kito idak dapatapo-apo," tuturnya dengan logat Palembang yang kental.
 
Percakapan yang akrab terus berlanjut, sementara bumi semakin deras diguyur hujan senja itu. Obrolan menjadi simpang siur bersama lalu lalang kendaraan-kendaraan roda empat dijalanan.
  
"Apakah Anda termasuk kelompok yang menerima subsidi BBM?" saya bertanya ingin tahu.
  
"Di RT kami ado 21 keluargo temasuk aku. Soalnyo, cumo satu kali aku dapat subsidi BBM sebanyak Rp 30.000. Sudah itu kate (tidak) lagi," katanya dengan jujur.
 
"Kenapa bisa begitu?"
 
"Aku idak tahu. Yang aku tahu, subsidi itu untuk jangka waktu yang lamo. Ngapo disetop?" dia malah balik bertanya.
 
Saya hanya menggelengkan kepala pertanda tidak tahu.
 
"Ini gara-gara ado dukun sunat. Subsidi BBM itu sudah disunat oleh mereka yang menyalurkan. Dari pemerintah pusat itu tujuannyo baik nian. Tapi yang di bawah ini maunyo makan dhewek. Kito rakyat kecik ini jadi susah," katanya.
 
Saya terkagum-kagum mendengar pernyataannya yang sangat berani itu. Matanya berkaca-kaca seolah ingin meminta keadilan dari saya.
 
"Kito rakyat kecik sering dijual. Wong-wong di atas sering menjual namo kito untuk mencari proyek. Setelah dapat, sesen pun kito idak dapat,” lanjutnya dengan nada gemas.
 
Hasil jualan es putar itu ia hidupi empat orang anak dan seorang istrinya. Ia mengaku lebih suka berusaha sendiri daripada mendapat bantuan modal dari orang lain. Ia juga tidak  dipinjami oleh bank atau pemerintah. Mengapa? Baginya, pinjaman itu hanyaakan menjadi bumerang. Karena itu, ia lebih suka pakai modal sendiri meski hasilnya hanya untuk mempertahankan kepul asap dapurnya.
      
Kisah penjual es putar ini menunjukkan bahwa hingga kini masih ada orang yang disangkal eksistensinya oleh sesama yang memiliki kekuasaan. Kaum kecil sering menjadi korban, persis seperti Yesus yang ditolak kehadiran-Nya dalam masyarakat Yahudi. Yesus disangkal oleh bangsa-Nya sendiri sebagai utusan Allah. Bahkan dalam saat-saat Ia sangat membutuhkan bantuan, sang murid malah menyangkal Dia.
    
Kisah-kisah penyangkalan masih akan tetap ada selama manusia terlalu mementingkan diri sendiri. Ketika manusia berusaha untuk mencari selamat sendiri, di situlah manusia melupakan sesamanya.Karena itu, manusia mesti dihentak dengan ‘kokok ayam’ yang membangunkannya dari tidur panjang egoismenya. Manusia mesti melepaskan kenikmatan semu dan sesaat yang diraih untuk menggapai kesetiaan selama hayat dikandung badan.
     
Arogansi mesti dilepaskan untukmengenakan suatu sikap kerendahan hati seperti Petrus yang berbalik arah membela Yesus di hadapan Mahkamah Agama. “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh,” kata Petrus dan rasul-rasul kepada Imam Besar (Kis. 5:29-30).
    
Jelas, Petrus telah kembali mengakui Yesus setelah menatap wajah Yesus yang berlumuran darah. Ia berbalik kepada Yesus, karena pengalaman akan kasih Allah yang telah ia peroleh selama hidup bersama Yesus.
   
Nah, manusia kini pun dapat kembali kepada Tuhan Yesus, kalau menyadari kehadiran sesama dalam hidup mereka. Yesus hadir dalam diri setiap manusia. Karena itu, menyangkal eksistensi sesama berarti menyangkal kehadiran Yesus. **

Frans de Sales SCJ

23 Maret 2015

Biji Gandum yang Mati

Minggu, 22 Maret 2015
Hari Minggu Prapaskah V

  
Yer. 31:31-34; Mzm. 51:3-4,12-13,14-15; Ibr. 5:7-9; Yoh. 12:20-33  
   
"Aku berkata kepadamu: sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Yoh. 12:24).

Peristiwa kematian Yesus yang tragis bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan terjadidalam suasana emosional penuh antipati terhadap Yesus. Kematian Yesus telahdiberitakan oleh Sang Guru yang telah mondar-mandir dari Galilea ke Yerusalem memberitakan kehadiran Kerajaan Allah. Bahkan peristiwa itu sudah diramalkan jauh-jauh hari sebelumnya oleh Nabi Yesaya dalam pasal terkenal mengenai Hamba Allah yang Menderita.
     
Ketika Filipus dan Andreas datang menghadap Yesus untuk menyampaikan keinginan orang-orang Yunani untuk bertemu dengan Yesus, Sang Guru cinta kasih itu memberikan jawaban yang lain. Sebuah jawaban yang berkenaan dengan eksistensi dirinya di duniaini. “Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan," katanya. Kemuliaan yang diperoleh Yesus berkat relasi istimewa dengan Bapa-Nya.
   
Dalam relasi itu, Yesus menyerahkan diri kepada Bapa secara total dan Bapa-Nya menerimanya secara utuh pula. Relasi itu pula memampukan Yesusmengejawantahkan penyerahan dirinya dalam pola yang sangat manusiawi. Iamengalami kegelapan maut sama seperti manusia lainnya. “Sesungguhnya jikalaubiji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Yesus, sang biji gandum itu, merelakan dirinya membusuk di dalam tanah tempat berpijaknya manusia demi kehidupan bagi banyak orang. Dia gugur di tangan bangsanya sendiri yang ironisnya sedang menantikan kedatangan sang Mesias.

Perjalananpanjang yang dilalui Yesus sejak masa kanak-kanak-Nya yang bahagia di Nazareth seolah-olah sirna ditelan sebuah kesia-siaan. Yesus seolah-olah mengalami jalan buntu di puncak tengkorak nan ngeri. Ia terjerembab tak berdaya menghadapi serbuan tinju dan hempasan pecut dari para algojo.

Penyerahan diri Yesus sampai titik darah terakhir di kayu salib mengisyaratkan terpenuhinya sabda-Nya di atas. Penyerahan itu bukan pertama-tama berdasarkan atas pamrihnya terhadap Bapa, tetapi lebih-lebih sebagai wujud nyata kasih setia-Nya kepada Allah dan manusia. "Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?" kata Yesus kepada Petrus yang membabi buta memotong telinga salah seorangserdadu di taman Getsemani (Yoh. 18:11). Suatu pernyataan yang mencerminkan keradikalan Yesus menanggapi kehendak Allah. Meminum cawan yang diberikan Bapaadalah komitmen Yesus yang tidak dapat dihalangi oleh manusia yang takut dan ingin mencari keselamatannya sendiri.
      
Nubuat biji gandum yang mati membawa konsekuensi bagi Yesus untuk menyerahkan diri dalam kesetiaan yang penuh melayani sesama manusia. Yesus masuk dalam solidaritas dengan penderitaan manusia yang tertatih-tatih di bumi fana ini - karena penindasan, pemerkosaan hak-hak hidup, korupsi, manipulasi dan intimidasi dari sesama manusia yang memiliki kuasa - menuju terang yang sejati. Solidaritas yang bersumber dari Bapa itu memampukan Yesus memanggul salib melintasi  tajam-tajam menuju puncak kemenangan yang gilang-gemilang. Dia Tuhan yang mati di salib justru menghidupkan dan memberikan harapan kepada dunia akan suatu damai sejahtera yang langgeng dan yang tak lekang retas oleh karatnya zaman. Manusia boleh menikmati suatu damai dari Allah sendiri yang tetap bertahan hingga akhir zaman.
  
Dewasa ini: Masih Adakah Biji Gandum yang Mau Mati?

Tak dapat disangkal dalam dunia kita dewasa ini banyak orang berupaya mengejar kehidupan yang lebih baik. Berbagai macam usaha, dari yang kecil hingga yang besar, dari yang halal hingga yang tidak halal, ditumbuhsuburkan. Orang menyadari betapa pentingnya makna dan nilai kehidupan bagi manusia, sehingga orang pun rela bersaing untuk suatu cita-cita yang mulia.
   
Kehidupan yang aman tenteram lahir batin telah memacu manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai kehidupan. Manusia berlomba-lomba merebut posisi yang baik dalam masyarakat. Manusia ingin memperoleh kesejahteraan dan kehormatan yang dapat mempengaruhi sesamanya.
 
Namun tidak jarang pula kita temukan bahwa kemapanan dan kesejahteraan di dunia telah memacu orang untuk saling menjegal, bahkan di antara sesama saudara sendiri. Individualisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan semangat Injil bertumbuh subur bagai cendawan di musim hujan sebagai pengejawantahan sikap ingin menciptakan kesejahteraan bagi diri sendiri. Mereka terlelap dalam aruscinta diri berlebihan. Orang kurang mempedulikan sesamanya yang jatuh terjerembab dalam kemiskinan dan kenistaan karena kalah bersaing.
  
Pertanyaan selanjutnya kepada dunia kita dewasa ini adalah masih adakah biji gandum yang mau mati untuk menghasilkan banyak buah? Masih adakah manusia yang tanpa pamrih memperjuangkan hak-hak hidup sesama manusia yang hancur karena penindasan, represi dan tindakan sewenang-wenang?
  
Sikap mau melayani sesama manusia mesti diiringi dengan sikap pengorbanan diri bagi kepentingan sesama. Artinya, orang merelakan sebagian dari dirinya untuk hidup sesama. Orang mau berjuang sampai titik darah penghabisan bagi kembalinya martabat manusia yang diinjak-injak oleh semangat egoisme berlebihan.
 
Yesus, sang bijigandum sejati, telah menunjukkan pengorbanan Diri-Nya yang total bagi kepentingan manusia. Biji gandum itu mati di tanah manusia yang penuh dengan penindasan untuk mengembalikan martabat manusia kepada Allah yang hilang akibat pembangkangan manusia. Sikap tidak setia manusia dibalas dengan kesetiaan Yesus kepada kehendak Bapa. Dengan kesetiaan Yesus itu manusia diselamatkan. Manusia masuk dalam arus karya keselamatan yang dibawa oleh Yesus. “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikianpula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar,” kata St. Paulus tentang kesetiaan Yesus (Rom 5:19).
   
Hal yang sangat mendesak bagi kita sekarang adalah mengembangkan penyerahan diri kepada Allah sebagai pernyataan kesetiaan kita kepada Allah. Tantangan dunia modern semakin gencar menghadang kita, yaitu agar kita meninggalkan iman akan Kristus, hendaknya membuka mata hati kitauntuk tetap menatap Yesus yang tergantung di salib. Di sana, di atas kayu salib itu kita dapat menimba buah dari biji gandung yang jatuh ke tanah dan mati itu. “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Fil. 1:29). Pengorbanan diri kita sungguh-sungguh didasari oleh semangat penyerahan diri Yesus kepada Bapa dan manusia. **

Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO Palembang