Pages

25 September 2012

Membangun Sikap yang Baik dalam Hidup

Pernahkah Anda meragukan kebaikan sesama Anda? Apa sikap Anda terhadap kebaikan sesama Anda?

Ada seorang bapak punya dua orang anak. Kedua anaknya itu sangat ia sayangi. Mereka menjadi andalan masa depannya. Mereka menjadi penerus generasinya di masa yang akan datang. Karena itu, ia mendidik mereka dengan disiplin yang tinggi. Ia ingin kedua anaknya itu mengikuti jejaknya dalam melakukan hal-hal yang baik dalam hidup.

Suatu hari, bapak itu meminta anaknya yang sulung untuk membawa uang ke bank. Uang itu akan ditabung untuk masa depan anak sulung itu. Bapak itu ingin agar uang itu menjadi modal bagi anak sulungnya kelak di kemudian hari. Sayang, anak itu menolak permintaan anak sulungnya. Bapak itu sangat kecewa. Ia melakukan sesuatu yang sangat baik bagi anaknya, namun ia punya sikap yang bertolak belakang.

Namun bapak itu tidak marah. Ia tidak tersinggung akan sikap anak sulungnya itu. Lantas ia mendatangi anak bungsunya. Ia meminta hal yang sama. Ia memberikan pengertian kepada anaknya itu bahwa ia lakukan hal itu demi anaknya sendiri. Bukan demi dirinya sendiri. Ia ingin sang anak memiliki masa depan yang cerah. Sayang, anak bungsu itu juga punya sikap yang sama dengan sang kakak. Ia tidak mau diganggu. Ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Meski ia mendapatkan sikap seperti itu, bapak itu tidak putus asa. Ia masih punya harapan bahwa ketika mereka tidak sibuk lagi dengan pekerjaan mereka, mereka akan melakukan apa yang dimintanya itu. Toh ia lakukan itu bukan demi dirinya sendiri. Ia lakukan itu untuk kebahagiaan kedua anaknya.

Selang beberapa jam kemudian, si bungsu datang kepada ayahnya. Ia menawarkan bantuannya. Ia membawa uang itu ke bank. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga milik sang kakak. Ia menyesal telah membuat hati sang ayah tertusuk oleh sikapnya.

Sahabat, dua orang punya dua sikap yang berbeda. Kiranya hal ini juga berlaku bagi diri kita sendiri. Dalam hidup ini kita mesti membuat keputusan-keputusan. Kita mesti berani mengambil langkah yang baik demi masa depan kita. Namun sering manusia melakukan hal-hal yang kurang bijaksana bagi hidup mereka.

Kisah di atas memberi inspirasi bagi kita bahwa sesuatu yang baik bagi hidup kita mesti senantiasa kita perjuangkan. Sang ayah tidak peduli terhadap sikap anak-anaknya. Ia masih punya pengharapan bahwa mereka akan berpikir baik-baik tentang masa depan mereka. Benar! Pengharapan bapak itu terpenuhi. Sang anak bungsu kemudian melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri.

Yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah bukti kesetiaan. Orang tidak hanya berjanji atau bermimpi tentang membangun masa depan yang lebih baik. Yang lebih penting adalah bagaimana membuktikan janji atau mimpi itu. Sering banyak orang cemas akan masa depannya. Banyak orang tidak yakin akan memiliki masa depan yang lebih baik. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak berani menghadapi resiko-resiko bagi hidup mereka. Mereka lebih memilih aman saja.

Tentu saja ini bukan sikap orang beriman. Orang beriman berani menjalani hidup ini dengan berbagai resiko. Orang beriman mesti terus-menerus berjuang apa pun yang akan terjadi atas hidup mereka. Orang beriman berpegang teguh pada kasih setia Tuhan. Mereka yakin bahwa Tuhan senantiasa membimbing hidup mereka. Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka berjuang sendirian di dunia ini. Tuhan senantiasa hadir dalam hidup mereka. Mari kita serahkan hidup ke dalam kuasa Tuhan. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan untuk mewujudnyatakan iman kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT

21 September 2012

Memberi dengan Motivasi yang Tulus

Pernahkah Anda memberi sesuatu kepada sesama Anda? Saya kira, kita semua pernah memberi sesuatu kepada sesama kita. Pertanyaannya, bagaimana sikap kita dalam memberi? Apakah kita memberi dengan hati yang tulus atau kita memberi untuk mendapatkan pujian dari orang lain?

Ada dua orang yang terpikat oleh ajakan suatu kelompok beriman. Mereka diajak untuk peduli terhadap orang-orang miskin di sekitar mereka. Kedua orang ini termasuk orang-orang yang kaya. Apa yang mereka lakukan adalah mereka menyumbangkan hal-hal yang berharga yang mereka miliki. Caranya adalah mereka menjual barang-barang berharga itu lalu uang hasil penjualan mereka serahkan kepada kelompok itu.

Yang menjadi persoalan adalah dua orang itu kemudian menyombongkan diri mereka telah memberi perhatian kepada sesamanya yang miskin. Ke mana-mana mereka mencari pujian. Mereka tidak lakukan hal itu dengan hati yang tulus. Akibatnya, mereka ditegur oleh pemimpin kelompok itu. Mereka telah menyalahgunakan maksud kehadiran kelompok itu untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Namun kedua orang itu tidak peduli. Mereka terus-menerus mencari perhatian dari banyak orang untuk diri mereka sendiri. Mereka ingin dipuji karena telah melakukan hal-hal yang baik bagi sesama. Akhirnya, kelompok itu mengambil tindakan untuk menghentikan kedua orang itu. Caranya adalah dengan mengeluarkan mereka dari kelompok itu.

Pemimpin kelompok itu berkata, “Kami sudah beri kesempatan bagi mereka untuk menyadari kekeliruan mereka. Namun mereka tidak peduli. Kami harus ambil tindakan tegas. Kami tidak mau ada anggota kami yang memberi dengan tidak tulus hati. Orang yang mencari kebanggaan diri sendiri tidak punya tempat di kelompok kami.”

Sonora, memberi dengan hati yang tulus mesti menjadi andalan hidup orang beriman. Seorang bijaksana mengatakan bahwa orang memberi tangan kanan tidak boleh diketahui oleh tangan kirinya. Artinya, orang tidak boleh mencari keuntungan bagi dirinya sendiri ketika memberi sesuatu kepada sesamanya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kita mesti memberi dengan hati yang tulus. Ketidaktulusan membuat orang hidup hanya untuk kesenangan dirinya sendiri. Orang yang melakukan sesuatu untuk mencari pujian akan menemukan kesulitan dalam hidupnya. Ketika pujian tidak lagi tertuju kepada dirinya, orang seperti ini akan mengalami kelesuan dalam hidupnya. Ia tidak punya semangat lagi untuk hidup. Ia tidak punya gairah lagi untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Padahal hidup manusia mesti terus-menerus berlangsung. Hidup manusia tidak tergantung dari pujian orang lain terhadap diri kita.

Karena itu, kita mesti hati-hati terhadap pujian. Kita mesti tulus dalam memberi sesuatu kepada sesama yang membutuhkan. Janganlah kita gunakan sesama kita yang miskin untuk menaikkan popularitas diri kita. Kalau popularitas yang menjadi tujuan hidup kita, cepat atau lambat kita akan mengalami duka dan derita. Popularitas tidak akan bertahan lama dengan cara seperti ini.

Mari kita memberi dengan hati yang tulus. Dengan demikian, kita menjadi orang-orang yang memiliki hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan bagi sesama kita yang menderita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

KOMSOS KAPal

19 September 2012

Pusatkan Perhatian pada Yang Baik

Apakah anda merasa ada yang kurang beres dalam diri anda? Apa yang menyebabakan hal-hal yang kurang beres itu? Anda merasa ditinggalkan oleh sesama Anda? Atau pikiran Anda yang negatif membuat Anda kurang fokus pada hal-hal yang baik dan benar?

Motivator terkenal asal Amerika Serikat, Zig Ziglar dalam bukunya ‘Breaking To The Next Level” mengatakan bahwa bila kita terus terfokus pada kegagalan-kegagalan di masa lalu, masalah-masalah yang kita hadapi pada hari ini dan kecemasan akan apa yang akan terjadi di esok hari, maka kita akan bersikap negatif. Menurutnya, pendekatan kehidupan seperti ini akan memperpendek umur kita dan membuat waktu terasa seakan lama berputar.

Zig Ziglar memberikan solusi, agar seseorang tidak bersikap negatif. Ia berkata, “Mulailah dengan fakta bahwa Anda masih hidup sekarang ini. Kemudian, konsentrasikan pikiran pada pengalaman-pengalaman Anda yang positif dan menyenangkan”.

Menurutnya, dengan pergantian fokus ini, kita akan mendapat manfaat yang sangat mengagumkan.

Sahabat, banyak orang sering kurang fokus pada apa yang sedang mereka lakukan. Akibatnya, mereka berpindah-pindah tugas. Atau mereka cepat bosan dengan apa yang sedang mereka lakukan. Mereka kurang punya ketekunan terhadap suatu pekerjaan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bisa terjadi karena orang kurang fokus dalam hidup. Orang kurang tekun dalam mengolah hidupnya. Orang merasa bahwa apa yang mereka lakukan kurang bermakna dalam hidup ini. Akibatnya, mereka mudah meninggalkan apa yang sedang mereka lakukan.

Zig Ziglar menasihati setiap kita untuk memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang positif. Ketika kita fokuskan diri pada hal-hal positif, kita akan mengalami bahwa hidup ini menjadi sungguh indah. Hidup ini menjadi saat yang bermanfaat untuk mengungkapkan hidup kita kepada sesama.

Kita percaya bahwa Tuhan senantiasa memberikan kita hal-hal positif. Tuhan menganugerahi kita hal-hal yang baik untuk menumbuhkembangkan hidup ini. Tentu saja hal ini menjadi sulit ketika kita kurang menanggapinya dengan baik. Kita lebih suka memilih untuk memenuhi kehendak kita. Karena itu, kita sering mengalami kesulitan dalam hidup kita. Kita mudah meninggalkan apa yang kita kerjakan. Kita berusaha untuk mencari dan menemukan hal-hal yang lebih menyenangkan hati kita.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mengarahkan perhatian kita pada hal-hal positif. Dengan demikian, hidup kita menjadi suatu kesempatan untuk menumbuhkembangkan hal-hal baik yang ada dalam diri kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Majalah FIAT
920

17 September 2012

Waspadai Uang dan Harta dalam Hidup


Seorang bijak berkata, ”Akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari imannya.” Bagaimana sikap Anda terhadap uang yang Anda miliki?

Suatu hari seorang pemuda merasa gelisah hatinya. Ia sudah berusaha untuk hidup ugahari, namun uangnya cepat berkurang. Ia mengaku, ia sering berbelanja. Ia tidak bisa mengendalikan keinginan dirinya. Padahal ia sudah punya program untuk hidup ugahari. Ia ingin menjadi orang yang kaya harta.

Ia sibuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Ia tidak hanya punya satu usaha. Ia membangun berbagai usaha untuk segera meraih impiannya, yaitu menjadi orang kaya. Ia menabung banyak uang di sejumlah bank dari berbagai usaha yang ia punyai. Banyak kali ia mesti menyibukkan diri dalam mengurus berbagai usahanya itu. Ia merasa tidak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri.

Karena itu, ia merasa resah ketika ia gagal dalam upayanya untuk hidup ugahari. Ia mudah tergoda untuk menggunakan kekayaannya demi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya, ia selalu membeli sofa kesukaannya. Berbagai bentuk dan macam sofa ia beli. Sebenarnya, ia tidak pakai sofa-sofa itu. Ia hanya pakai satu untuk di ruang kerjanya. Sedangkan sofa-sofa yang lain hanya dipajang atau disimpan di gudang.

Akhirnya pemuda itu merefleksi diri. Ia tidak lagi memboroskan uangnya untuk memenuhi keinginan hatinya. Ia menggunakan uangnya untuk membantu orang-orang miskin. Menurutnya, dengan cara ini, ia dapat membantu banyak orang untuk hidup lebih baik. Ia tidak merasa kekurangan dalam hidupnya, meski ia melepaskan uangnya untuk orang lain.

Sahabat, banyak orang di zaman sekarang mencari dan mengejar kekayaan. Mereka mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka merasa bahwa uang mampu memberi kebahagiaan dan ketenangan bagi mereka dalam hidup ini. Mereka mengorbankan begitu banyak waktu dan tenaga untuk mencari dan mengumpulkan uang. Tetapi apakah mereka semakin bahagia dalam hidup ini?

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa harta kekayaan bukan ukuran untuk meraih kebahagiaan dalam hidup. Harta kekayaan sering mengganggu hidup manusia. Manusia menjadi bingung dan resah oleh banyaknya harta kekayaan itu. Manusia merasa terganggu oleh harta kekayaan itu.

Faktanya, uang tidak pernah membuat manusia kaya. Mereka yang sudah kaya masih saja tetap merasa kurang. Mereka mencari dan mengejar uang yang lebih banyak lagi. Filsuf Lucius Annaeus Seneca berkata, “Uang belum pernah membuat orang menjadi kaya.” Sebaliknya uang justru membuat kita selalu merasa miskin, merasa kurang dan tamak, bahkan tidak peduli sebanyak apa pun uang yang telah kita miliki.

Karena itu, orang beriman mesti selalu waspada saat berhadapan dengan uang. Uang bisa membawa bahagia bagi hidup. Tetapi uang juga bisa membawa bencana bagi hidup. Orang mesti memiliki sikap batin yang baik berhadapan dengan uang dan harta kekayaan. Dengan demikian, orang menggunakan harta kekayaan bagi kesejahteraan hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

Tabloid KOMUNIO

919

15 September 2012

Gunakan Kekuatan Pikiran untuk Kesejahteraan


Seorang bijak berkata, “Semuanya itu jelas bagi yang cerdas, lurus bagi yang berpengetahuan.” Dalam konteks ini, kita diajak untuk merefleksikan potensi-potensi yang ada dalam diri kita.

“Ada cukup energi atom dalam pikiran manusia untuk meledakkan kota New York,” kata Dr Norman Vincent Peale.

Menurut penulis buku laris The Power of Positive Thinking ini, pikiran manusia memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan pikiran itu mampu membuat manusia menguasai dunia. Kalau kekuatan pikiran manusia ini sepenuhnya digunakan oleh manusia, hal-hal yang luar biasa akan terjadi. Sampai saat ini, setiap orang hanya mampu menggunakan kekuatan pikirannya sebanyak 10 persen. Lalu ke mana 90 persen kekuatan pikiran manusia yang lain?

Ternyata manusia belum menggunakan kekuatan pikirannya seratus persen. Ada berbagai sebab. Namun satu hal yang pasti adalah manusia tidak menggunakan pikirannya untuk berpikir secara positif. Banyak orang menggunakan pikirannya untuk hal-hal negatif. Akibatnya, pikirannya terkungkung oleh hal-hal negatif yang tidak menumbuhkan dirinya. Hal-hal negatif itu justru mengerdilkan dirinya.

Ada data yang menarik, yaitu si jenius teori relativitas, Albert Einstein menggunakan hanya 15 persen potensi pikirannya. Pikiran manusia memiliki kuasa yang super dahsyat, namun manusia menyia-nyiakan 90 persen dari daya ini. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sahabat, manusia diciptakan Tuhan dengan potensi-potensi. Tuhan tidak menciptakan manusia dalam keadaan kosong. Tuhan tidak menciptakan manusia seperti kertas putih. Di dalam diri manusia yang masih lemah gemulai yang lahir dari seorang perempuan itu sudah tertera potensi-potensi dirinya. Hal ini termasuk potensi yang ada dalam pikirannya.

Sayang, potensi-potensi itu sering ditelantarkan oleh manusia. Manusia yang hidup dalam kungkungan budaya yang ketat akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan dirinya secara kreatif. Orang seperti ini cenderung merasa enggan untuk mengembangkan dirinya. Orang seperti ini lebih curiga terhadap kemajuan-kemajuan zaman. Orang seperti ini tidak percaya pada kreativitas dalam hidup. Prinsipnya adalah hidup biasa-biasa saja sudah cukup, kok mau bersusah-susah.

Sebaliknya, orang yang memiliki kesempatan untuk menumbuhkan potensi dirinya akan berusaha semaksimal mungkin menggunakan pikiran dan tenaganya untuk membangun hidup. Orang seperti ini akan kreatif dalam hidupnya. Ia terus-menerus melakukan invoasi-inovasi baru untuk meraih sukses dalam hidupnya. Orang seperti berusaha menggunakan pikirannya untuk hal-hal yang baik. Ia berusaha berpikir positif dalam hidupnya.

Bagi orang beriman, menggunakan kekuatan pikiran untuk kesejahteraan manusia menjadi suatu ungkapan syukur atas kebaikan Tuhan. Tuhan telah memberikan potensi diri itu dengan cuma-cuma. Karena itu, manusia mesti menggunakannya dengan baik untuk kebahagiaan manusia. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ

KOMSOS KAPal

918