Pages

11 Juli 2012

Menjauhkan Diri dari Kesombongan

Apa yang terjadi kalau Anda menyepelekan sesama Anda? Tentu sesama Anda merasa kurang dihargai.

Suatu hari seorang teman mengatakan bahwa saya sombong. Saya bingung mengapa dia mengatakan saya sombong. Pasalnya, selama ini dia selalu saya sapa. Saya selalu peduli terhadap dirinya. Saya tidak melecehkan dirinya. Saya tetap setia dalam berteman dengan dirinya.

Saya penasaran terhadap pandangannya yang berubah tentang diri saya. Lantas dia menjelaskan, ”Sombong artinya tidak mau peduli lagi dengan penderitaan temannya. Padahal saya tahu, kalau kamu bisa dan punya waktu. Apalah artinya bisa dan punya waktu, kalau tidak punya hati seperti Tuhan?”

Saya pun mengerti apa yang dimaksudkannya. Ternyata teman saya itu butuh perhatian yang lebih. Tidak seperti biasanya. Dia sedang menderita. Tentu bukan penderitaan fisik, karena dia segar bugar. Rupanya batinya sedang bersedih. Karena itu, dia butuh perhatian dari sesamanya. Dia butuh hiburan yang meringankan beban batinnya. Dia butuh dukungan untuk dapat keluar dari derita batinnya itu.

Sahabat, ketika kita bertemu dengan orang yang kita kenal dan kita pura-pura tidak kenal, maka kita dianggapnya sombong. Ketika ada orang yang suka berbicara besar serta memamerkan keberhasilan-keberhasilan yang diraihnya, maka kita menyebut orang itu sombong. Orang kaya yang tidak mau bergaul dengan orang miskin juga biasanya disebut sebagai orang yang sombong.

Kesombongan-kesombongan seperti ini memang sangat mudah kita deteksi. Namun ada juga kesombongan yang bersembunyi jauh di dalam hati. Keseombongan seperti ini sulit kita deteksi. Soalnya adalah mengapa orang merasa diri sombong atau orang disebut sombong?

Orang yang sombong itu selalu merasa diri lebih baik dari orang lain. Hal ini ditampakkan melalui tindakan yang tidak bisa memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Kita beranggapan bahwa mereka tidak akan bisa melakukan sesempurna apa yang kita lakukan.

Tentu saja hal ini berbahaya bagi kehidupan. Mengapa? Karena orang merasa diri paling kuat. Padahal manusia itu makhluk yang lemah yang mudah jatuh ke dalam dosa. Manusia bukanlah supermen yang tidak punya cacat cela. Setiap orang punya kelemahan-kelemahan diri. Kalau orang merasa diri tidak punya cacat, orang itu akan merasa sangat sakit dan terpuruk, ketika mengalami kejatuhan.

Karena itu, orang beriman mesti menjauhkan diri dari kebiasaan sombong. Orang beriman mesti selalu mendahulukan sikap rendah hati. Dengan sikap rendah hati, orang mampu menerima kehadiran semua orang dalam hidupnya. “Kesombongan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (Amsal 16:18). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ


917

10 Juli 2012

Memberi dengan Sepenuh Hati

Apa yang akan Anda lakukan ketika sesama Anda mengalami kekurangan dalam hidupnya? Anda biarkan begitu saja, karena Anda merasa kalau Anda memberi Anda akan kehilangan? Atau Anda berani memberi, karena Anda yakin bahwa rahmat demi rahmat akan Anda peroleh dalam hidup ini?

Konon Elang dan Kalkun adalah burung yang menjadi teman yang baik. Di manapun mereka berada, kedua teman selalu pergi bersama-sama. Tidak aneh bagi manusia untuk melihat Elang dan Kalkun terbang bersebelahan melintasi udara bebas. Suatu hari ketika mereka terbang, Kalkun berkata kepada Elang, "Mari kita turun dan mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Perut saya sudah keroncongan nih!"

Elang menjawab, "Kedengarannya ide yang bagus".

Lantas keduanya turun ke bumi. Mereka melihat beberapa binatang lain sedang makan dan memutuskan bergabung dengan mereka. Mereka mendarat dekat dengan seekor Sapi. Sapi ini tengah sibuk makan jagung. Namun sewaktu memperhatikan bahwa ada Elang dan Kalkun sedang berdiri dekatnya, Sapi berkata, "Selamat datang, silakan cicipi jagung manis ini".

Ajakan ini membuat kedua burung ini terkejut. Mereka tidak biasa jika ada binatang lain berbagi soal makanan mereka dengan mudahnya. Elang bertanya, "Mengapa kamu bersedia membagikan jagung milikmu bagi kami?"

Sapi menjawab, "Oh, kami punya banyak makanan di sini. Tuan Petani memberi kami apapun yang kami inginkan."

Dengan undangan itu, Elang dan Kalkun menjadi terkejut dan menelan ludah. Sebelum selesai, Kalkun menanyakan lebih jauh tentang Tuan Petani. Sapi menjawab, "Yah, dia menumbuhkan sendiri semua makanan kami. Kami sama sekali tidak perlu bekerja untuk makanan."

Kalkun tambah bingung, "Maksud kamu, Tuan Petani itu memberikan padamu semua yang ingin kamu makan?"

Sapi menjawab, "Tepat sekali!. Tidak hanya itu, dia juga memberikan pada kami tempat untuk tinggal."

Elang dan Kalkun menjadi syok berat! Mereka belum pernah mendengar hal seperti ini. Mereka selalu harus mencari makanan dan bekerja untuk mencari naungan.

Ketika datang waktunya untuk meninggalkan tempat itu, Kalkun dan Elang mulai berdiskusi lagi tentang situasi ini.

Sahabat, kebaikan itu mesti dibagikan kepada sesama yang membutuhkan. Banyak orang hanya mau menikmati kebaikan itu untuk diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka menjadi egois. Mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli terhadap sesamanya.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa ada begitu banyak rahmat yang Tuhan berikan kepada kita. Itulah rahmat kebaikan. Rahmat kebaikan itu bukan hanya untuk diri sendiri. Rahmat kebaikan itu mesti disalurkan bagi sesama yang membutuhkan. Tentu saja hal ini tidak segampang yang dipikirkan. Mengapa? Karena sering orang merasa bahwa kebaikan yang diberikan kepada sesamanya itu hilang begitu saja. Menjadi milik orang lain. Bukan lagi menjadi milik mereka.

Tentu saja pikiran seperti ini kurang pas, karena semakin orang memberi kepada sesamanya, semakin banyak rahmat yang diperolehnya. Apalagi kalau orang memberi dengan penuh kasih. Tuhan akan mendukung dengan rahmatNya orang yang rela memberikan apa yang dimilikinya bagi sesamanya.

Karena itu, orang beriman mesti berani memberi apa yang dimiliki bagi sesamanya yang membutuhkan. Yakinlah, apa yang kita berikan itu tidak hilang, tetapi akan membuahkan rahmat berlimpah bagi hidup kita. Mari kita berani memberi apa yang kita miliki bagi sesama kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih damai dan sukacita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales SCJ


916