Pages

22 April 2012

Membantu Sesama untuk Menjadi lebih Baik


Apa yang akan Anda lakukan ketika seorang yang sangat dekat dengan Anda membuat hati Anda kesal? Anda menyingkirkannya? Atau Anda membantunya untuk memperbaiki dirinya menjadi lebih baik?

Ada seorang ibu yang kesal luar biasa. Pasalnya, anaknya telah menipu dirinya. Uang SPP yang seharusnya dibayarkan ke sekolah, digunakan sang anak untuk beli jajan. Anaknya mentraktir teman-temannya makan di restoran. Akibatnya, tagihan untuk SPP sang anak membengkak.

Padahal ibu itu bukan seorang yang kaya. Ia seorang perempuan biasa yang hidup dari jualan makanan di pinggir jalan. Ia mesti bangun pagi-pagi untuk menyiapkan jualannya. Tidak ada orang yang membantunya, karena sudah lama suaminya meninggal dunia. Ia mesti menanggung hidup tiga orang anaknya.

Karena itu, ibu itu merasa sangat kesal begitu mendengar sang anak telah menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Ibu itu menunjukkan kekesalan hatinya dengan menghukum sang anak. Untuk sementara, ia tidak memberi uang jajan untuk sang anak. Sang anak harus menyatakan penyesalan atas kebodohan yang telah dilakukannya. Sang ibu juga memaksa anaknya untuk menjaga warung selama beberapa bulan sepulang dari sekolah.

“Ini sebagai pelajaran bagi kamu. Kamu harus sadar bahwa kita ini orang miskin. Kita harus hemat dalam hidup ini,” kata ibu itu.

Sahabat, kekesalan boleh saja hadir dalam diri seseorang. Tentu saja ketika kekesalan itu sungguh-sungguh didasari oleh suatu alasan yang jelas dan kuat. Suatu kekesalan yang tidak didasari oleh alasan yang kuat hanyalah membuat hati orang sakit. Orang menjadi sulit untuk bertumbuh dalam iman akan Tuhan.

Bila kita jatuh dalam kegagalan atau dosa, kita mesti memeriksa kehidupan kasih kita. Yang mesti kita lakukan adalah duduk bersama Tuhan. Kita minta kepadaNya untuk menunjukkan kepada kita apakah kita sedang berselisih dengan seseorang atau kita merasa kesal. Jika kita merasa kesal, kita harus hati-hati, karena iblis dapat masuk dan membuat kita tersandung.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa sang ibu punya alasan yang kuat untuk mengungkapkan kekesalannya. Namun dalam kekesalan itu, ia juga berusaha untuk mendidik sang anak. Ia ingin agar sang anak menjadi orang yang baik. Ia ingin agar sang anak menemukan jalan yang benar dalam hidupnya. Dengan demikian, sang anak tidak tersandung dalam dosa.

Orang yang percaya senantiasa mendidik sesamanya untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar. Orang beriman senantiasa mengutamakan hidup yang baik bagi sesamanya. Karena itu, setiap tindakannya menjadi kesempatan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik. Tentu saja dasar dari semua itu adalah kasih terhadap sesama. “Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang dan di dalam dia tidak ada penyesatan” (1Yoh 2:10). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


891

17 April 2012

Menerima Kehadiran Sesama dalam Cinta Kasih


Apa yang akan Anda lakukan kalau di hadapan Anda ada seorang yang siap untuk membunuh Anda? Anda takut? Atau Anda berusaha untuk meyakinkannya bahwa membunuh hanya memperpanjang persoalan hidup?

Ada seorang pemimpin geng paling kejam pada masanya. Ia tidak segan-segan membunuh orang-orang yang melawan perbuatan jahatnya. Ia tidak peduli terhadap siapa pun. Ia tidak takut terhadap penguasa mana pun di dunia. Orang yang masih ia hormati hanyalah sang ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya.

Ia menaruh hormat terhadap ibunya, karena sang ibu selalu menerima kehadirannya. Sang ibu tidak pernah menolak kehadiran dirinya. Setiap kali ia pulang ke rumah, sang ibu selalu memberinya makanan kesukaannya. Ia bahagia saat bersama sang ibu. Ia merasa ada orang yang mampu melindungi dan memberinya ketenangan batin.

Namun suatu ketika ada seorang saleh yang berdiri di hadapannya untuk memberikan penerangan tentang kehadiran Tuhan, pemimpin geng itu tunduk. Ia tidak sanggup untuk melukai orang saleh itu. Padahal beberapa kali ia mengancam orang saleh itu dengan pisau tajam.

“Kamu dapat memotongku sampai seribu irisan. Setiap irisan dagingku akan berkata kepadamu, ‘aku mengasihimu dan Tuhan mengasihimu,” kata orang saleh itu.

Sahabat dalam kehidupan sehari-hari kita berhadapan dengan berbagai tantangan. Kadang-kadang kita tidak berdaya menghadapi tantangan-tantangan itu. Namun kita mesti menghadapinya, karena kita mesti melakukan hal-hal yang baik bagi diri dan sesama.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa hidup bersama Tuhan kita akan mengalami damai. Sedangkan orang yang menjauhkan diri dari Tuhan akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Tuhan yang memberi kehidupan kepada manusia. Tuhan yang menjadi penuntun dalam hidup manusia.

Dalam suatu pengajaranNya, Yesus mengatakan bahwa orang mesti mengasihi musuhnya dan berdoa bagi mereka yang menganiaya dirinya. Orang saleh dalam kisah di atas menaruh kasih kepada pemimpin geng terkenal itu. Ia tidak menolak kehadirannya. Bahkan ia menaruh sayang kepadanya.

Hal itu menumbuhkan kesadaran baru untuk menemukan Tuhan dalam hidup. Mengapa? Karena Tuhan itu kasih. Tuhan mengasihi manusia. Tuhan tidak menolak kehadiran manusia di hadapannya. Tuhan menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik. Tuhan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Untuk itu, orang beriman mesti senantiasa mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Orang beriman mesti menyerahkan hidup kepada kuasa Tuhan. Dengan cara demikian, manusia mengalami damai dalam hidupnya. Manusia boleh mengekspresikan hidupnya dengan bebas kepada Tuhan. Manusia tidak perlu merasa takut atau cemas dalam hidupnya. Hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk dibaktikan kepada Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


890

15 April 2012

Menghadapi Rintangan dengan penuh Iman

Apa yang akan Anda lakukan, ketika Anda menghadapi rintangan dalam hidup ini? Anda takut atau Anda memberanikan diri untuk menghadapinya?

Wilma Rudolph lahir dari keluarga yg sangat miskin pada 23 Juni 1940 di Tennesee, USA. Ia adalah anak ke-20 dari 22 bersaudara. Ayahnya hanya seorang kuli angkut barang. Ibunya hanya tukang masak dan cuci baju tetangga. Hidup mereka benar-benar miskin.

Saat berusia empat tahun, ia menderita radang paru-paru dan demam tinggi yang menyebabkan kakinya lumpuh. Orgtuanya tidak mampu membeli obat, karena waktu itu di Amerika masih ada rasialisme yang membuat orang-orang kulit hitam mendapatkan perlakuan buruk dalam hal kesehatan dan pendidikan.

Akhirnya, Wilma harus menggunakan penyangga. Dokter menyatakan bahwa kakinya akan lumpuh selamanya. Tetapi ibunya terus berdoa kepada Tuhan dan memberi keyakinan pada Wilma bahwa ia pasti normal kembali. Di-saat yang buruk, kakinya yang lumpuh semakin mengecil. Kakinya hanya terjuntai ke bawah tak bereaksi apa pun.

“Aku akan menjadi wanita tercepat di dunia di lintasan lari,” kata Wilma, berangan-angan.

Konsekuensinya, ia terus mencoba berdiri, walau sudah ribuan kali ia mencoba dan jatuh. Ia tak menyerah. Pada usia 9 tahun, ia nekat melanggar nasehat dokter. Ia membuang tongkatnya dan melakukan langkah pertama yang menurut dokter-dokter takkan pernah dapat dilakukannya. Selama 3 tahun ia terus mencoba melangkah, berjalan dan berlari.

Pada usia 13 tahun, ia mengikuti lomba lari pertama kalinya. Ia menjadi satu-satunya peserta dengan kaki tak sempurna. Ia kalah. Tapi Wilma terus melaju. Ia terus bertanding di ratusan lomba dan mengalami ratusan kekalahan. Hingga suatu hari ia berhasil menang lomba lari dalam satu kejuaraan Provinsi. Untuk itu, ia berhasil meraih beasiswa di Tennesee State University. Hal itu mempertemukan Wilma dengan seorang pelatih atletik bernama Ed Temple.

“Saya ingin menjadi wanita tercepat di lintasan atletik dunia,” kata Wilma kepada Ed.

Di bawah bimbingan Ed, Wilma terus berlatih siang malam, mengatasi berbagai rintangan, bertanding dalam ratusan lomba dan terus melaju. Akhirnya sejarah mencatat dirinya pada Olimpiade tahun 1960, Wilma Glodean Rudolph, seorang wanita kulit hitam pertama yang pernah menderita polio dan lumpuh, akhirnya menjadi juara Olimpiade. Ia memenangkan 3 medali emas di lintasan lari 100 meter, 200 meter dan estafet 400 meter. Ia menjadi wanita tercepat di dunia di lintasan lari.

Sahabat, apa yang membuat Anda masih bertahan hidup dalam dunia yang tidak menentu ini? Tentu saja Anda punya tekad. Anda punya kemauan untuk maju dalam hidup ini. Karena itu, berbagai rintangan dan halangan Anda abaikan. Yang penting Anda dapat maju dalam hidup Anda. Yang penting Anda dapat meneruskan perjalanan hidup Anda.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa ketika ada tekad dan kemauan keras, orang akan mampu menembus berbagai rintangan. Orang akan berani menatap kehidupan ini dengan hati yang tenang. Orang akan berusaha sekuat tenaga untuk meraih sukses dalam hidupnya.

Rintangan atau tantangan dihadapi sebagai semangat yang mengobarkan hatinya untuk maju dalam hidup ini. Orang seperti ini adalah orang yang beriman. Orang yang berani menyerahkan seluruh hidupnya kepada penyelenggaraan Tuhan. Kita hidup dalam dunia yang senantiasa memberikan kita tantangan. Pertanyaannya, apakah kita berani menghadapi rintangan-rintangan itu? Atau kita terpuruk tak berdaya?

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk terus berusaha menghadapi berbagai rintangan yang ada. Dengan demikian, kita boleh mengalami damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

889

12 April 2012

Tuhan Hadir dalam Setiap Peristiwa Hidup

Setiap manusia pernah mengalami persoalan. Soalnya adalah bagaimana Anda menyikapi persoalan yang Anda hadapi?

Bernie Ecclestone, bos F1, mengalami peristiwa naas yaitu perampokan dan pemukulan. Arloji merek Hublot yang dikenakannya dirampok. Padahal arloji tersebut berharga 200 ribu poundsterling (lebih dari 2 milyar rupiah). Mukanya babak belur karena dipukul oleh perampok tersebut.

Apa yang dilakukan keesokan harinya? Ecclestone tampil dalam iklan jam Hublot (jam tangan resmi F1) dengan tulisan unik, "Lihat apa yang orang akan lakukan demi sebuah Hublot." Iklan yang unik tersebut jelas mengundang perhatian publik.

Peristiwa yang menimpa Ecclestone itu membawa berkat bagi arloji bermerek Hublot itu. Ecclestone mesti berkorban demi suatu produk. Dia mesti berkorban demi cinta yang lebih besar bagi kehidupan.

Sahabat, banyak orang mengalami kesulitan dalam memaknai suatu peristiwa kehidupan yang mengganggu hidup mereka. Mereka merasa bahwa peristiwa yang tidak menyenangkan itu suatu kutuk. Karena itu, peristiwa-peristiwa seperti itu mesti dijauhkan dari hidup mereka. Orang menjadi malu mengalami peristiwa yang tidak baik menimpa diri mereka.

Kisah Ecclestone tadi menjadi suatu pelajaran yang sangat berharga bagi hidup kita. Peristiwa perampokan itu mengganggu hidup Ecclestone. Tetapi ia tidak menyerah pada keadaan seperti itu. Ia tidak mengeluh. Ia tidak menggerutu atau protes. Justru ia gunakan peristiwa itu untuk mempromosikan jam tangan yang berharga mahal tersebut. Tampak Ecclestone mengangkat peristiwa yang menyakitkan itu menjadi suatu peristiwa yang menyenangkan bagi banyak orang.

Setiap peristwa hidup punya maknanya. Ini yang mesti selalu disadari oleh setiap orang. Bagaimana manusia yang beriman memaknai setiap peristiwa hidupnya? Manusia beriman mesti berani menimba setiap peristiwa hidup sebagai suatu rahmat. Tentu saja hal ini bisa terjadi, kalau manusia menjalani hari-hari hidupnya dengan penuh syukur. Mengapa mesti bersyukur? Karena Tuhan senantiasa mengawal setiap perjalanan hidup manusia. Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia berjuang sendirian. Justru Tuhan menyertai perjalanan hidup manusia dalam setiap peristiwa hidup itu.

Sikap syukur itu mesti dibarengi dengan sikap menyerah kepada penyelenggaraan Tuhan. Orang yang menyerahkan hidup kepada Tuhan itu biasanya orang yang senantiasa menanggapi peristiwa hidup sebagai suatu anugerah. Anugerah itu kemudian ditumbuhkembangkan dalam hidup dengan tidak mengeluh atau menggerutu. Manusia berani menemukan bahwa dalam setiap peristiwa hidup Tuhan hadir untuk menguatkan dirinya. Persoalan hidup ditanggapi sebagai suatu kesempatan untuk mengalami kasih karunia Tuhan.

Mari kita menanggapi peristiwa-peristiwa hidup sebagai suatu anugerah yang berharga bagi hidup kita. Dengan demikian, kita mengalami damai dan sukacita dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

888

10 April 2012

Membangun Cinta Sejati dalam Hidup


Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda mengalami hidup ini berjalan biasa-biasa saja? Apa Anda akan ikut saja terbawa oleh arus zaman ini? Atau Anda mau mengubah pola tingkah laku Anda untuk membangun hidup yang lebih bergairah?

Maria kecil yang berusia sepuluh tahun tinggal di sebuah desa pinggiran kota di Chili tengah. Ketika ibunya menginggal, Maria menjadi ibu rumah tangga, merawat ayahnya yang bekerja giliran malam di sebuah pertambangan lokal. Maria memasak, membersihkan rumah dan memastikan bahwa makanan ayahnya sudah siap saat ia meninggalkan rumah untuk bekerja setiap malam.

Maria mengasihi ayahnya. Ia kuatir melihat betapa ayahnya menjadi begitu sedih sejak kematian ibunya. Suatu malam, Maria menyiapkan makanan untuk ayahnya. Lantas ia menyaksikan kepergian ayahnya ke tambang sambil menenteng sebuah rantang. Ia berdoa demi keselamatan ayahnya.

Rupanya, itulah malam terakhir baginya untuk berjumpa dengan ayahnya. Pada pukul 01.00 pagi Maria tiba-tiba terbangun, karena suara yang mengerikan. Peluit darurat di pertambangan itu meraung-raung dalam kegelapan, memanggil para penduduk kota untuk segera datang dengan cangkul dan tangan yang siap untuk membantu menggali para penambang yang terjebak di gua bawah tanah.

Maria berlari ke tambang untuk mencari ayahnya. Beberapa orang dengan panik menggali reruntuhan terowongan yang ambruk dan mengurung delapan orang. Salah satunya adalah ayah Maria.

Para petugas penyelamat itu menemukan delapan orang itu meninggal dalam posisi duduk membentuk lingkaran. Para petugas menemukan sebuah surat buat Maria dari sang ayah.

“Maria yang terkasih, saat kau baca pesan ini, Ayah sudah berada bersama ibumu di surga. Harapan kami akan hidup ini memudar, tetapi tidak demikian dengan hidup yang akan datang. Ayah sangat menyayangimu, Maria. Suatu hari kelak, kita semua akan bersama-sama di surga.”

Sahabat, dalam kegalauan ternyata masih ada cinta bagi orang sangat dikasihi. Cinta yang sejati tak pernah luntur. Cinta yang sejati tak pernah berakhir. Cinta yang sejati tetap mempesona. Mengapa? Karena cinta yang sejati tidak hancur oleh hancurnya raga.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa cinta yang sejati memberi semangat hidup. Cinta yang sejati itu tetap hidup. Api dari cinta yang sejati itu tetap menyala-nyala. Tidak pernah memudar. Hal ini hanya bisa terjadi ketika orang punya iman yang besar kepada Tuhan. Orang yang punya iman itu orang yang berani menyerahkan seluruh hidup kepada penyelenggaraan Tuhan.

Pertanyaan bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini adalah apakah kita masih memiliki cinta yang sejati? Apakah cinta kita tetap bersemi, meski berbagai rintangan dan tantangan menghadang kita?

Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Mengapa? Karena kita hidup di zaman yang penuh dengan godaan. Kita sering tergoda untuk meninggalkan komitmen yang telah kita buat. Kita tergoda untuk tidak peduli terhadap cinta dan kasih sesama terhadap kita.

Karena itu, kita mesti terus-menerus belajar untuk memiliki cinta yang sejati. Dengan demikian, kita dapat mengalami hidup yang damai bersama Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


887

01 April 2012

Melepaskan Dosa demi Hidup yang Tenteram

Kalau Anda melakukan dosa dan kesalahan, apa yang akan Anda lakukan? Anda biarkan saja dosa itu di dalam diri Anda? Atau Anda berusaha untuk melepaskan dosa itu untuk hidup yang lebih baik?

Suatu hari dua orang pendosa mendatangi seorang bijaksana untuk meminta nasehatnya. Mereka ingin agar dosa-dosa mereka diampuni. Mereka juga berjanji untuk tidak melakukan lagi dosa-dosa.

Kata mereka kepada orang bijaksana itu, “Kami telah melakukan suatu dosa. Akibatnya, suara hati kami terganggu. Apa yang harus kami lakukan?”

Sambil memandang wajah mereka, orang bijaksana itu berkata, ”Katakanlah kepadaku, perbuatan-perbuatan salah mana yang telah kamu lakukan?”

Pria yang pertama berkata, ”Saya melakukan suatu dosa yang berat dan mematikan.”

Pria yang kedua berkata, ”Saya telah melakukan beberapa dosa ringan, yang tidak perlu dicemaskan."

Orang bijaksana itu berkata, "Baik. Pergilah dan bawalah kepadaku sebuah batu untuk setiap dosa yang telah kamu lakukan.”

Mereka pun pergi dengan senang hati. Pria yang pertama kembali dengan memikul sebuah batu yang sangat besar. Pria yang kedua dengan senang membawa satu tas berisi batu-batu kecil.

Sambil tersenyum, orang bijaksana itu berkata, ”Sekarang, pergilah dan kembalikan semua batu itu tepat di mana kamu telah menemukannya.”

Pria yang pertama mengangkat batu besar itu dan memikulnya kembali ke tempat di mana ia telah mengambilnya. Pria kedua tidak dapat mengingat lagi tempat dari setengah jumlah batu yang telah diambilnya. Ia menyerah saja dan membiarkan batu-batu itu berada di dalam tasnya. Ia berkata, ”Itu pekerjaan yang sulit.”

Sahabat, dosa itu membebani hidup manusia. Dosa membuat hidup mengalami gangguan. Dosa bagai batu yang mengganjal hidup seseorang. Dosa membuat manusia loyo dalam hidupnya. Manusia tidak berdaya, karena banyaknya dosa dalam hidup seseorang. Karena itu, orang mesti melepaskan dosa itu, agar tidak membebani hidup manusia.

Kisah di atas mengatakan kepada kita bahwa orang mesti berani melepaskan dosa-dosanya untuk mengalami hidup yang lebih baik. Orang mesti menyesal atas dosa-dosanya itu. Namun tidak hanya menyesal. Orang juga mesti melakukan gerakan untuk melepaskan dosa-dosa itu.

Pemuda yang pertama berani melepaskan batu besar atau dosa besarnya itu. Ia tidak peduli betapa sakitnya menghilangkan dosa besarnya itu. Sedangkan pemuda yang kedua tidak berhasil melepaskan semua dosanya, meskipun dosa-dosa itu tampak ringan. Justru ia membawa dosa-dosanya itu ke mana-mana. Akibatnya, dosa-dosa itu mengganggu seluruh proses hidupnya.

Karena itu, kita diajak untuk melepaskan semua dosa yang ada dalam diri kita. Hanya dengan melepaskan semua dosa itu, kita dapat hidup dengan damai dan tenteram. Kita tidak perlu memikul beban dosa kita ke mana pun kita pergi. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih ringan dan damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

886

Tinggal Sesaat Saja

 Minggu, 01 April 2012
Hari Minggu Palma - Mengenangkan Sengsara Tuhan

"Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula kamu akan melihat Aku" (Yoh. 16:16).

Sangat sering Yesus berbicara mengenai SAAT. Ketika ibunda-Nya Maria meminta anggur kepadanya waktu pesta perkawinan di Kana, dengan tegas Ia mengatakan bahwa saatnya belum tiba (bdk.Yoh-2:4; 8:20). Yesus juga berbicara mengenai akan tiba saatnya (Yoh.4:21). Yesus pun tidak segan-segan mengatakan bahwa saatnya sudah tiba (Yoh.12:23). Dan dalam ayat di atas Yesus menegaskan bahwa tinggal sesaat saja.

Gaya bahasa saat yang digunakan Yohanes dalam Injil-Nya menunjuk pada peristiwa penderitaan Yesus. Penderitaan yang tinggal sesaat saja itu merupakan suatu puncak pemuliaan oleh Allah. Allah yang berkenan kepada Yesus tidak membiarkan Yesus masuk dalam suatu penderitaan di luar kehendak-Nya. Yesus tetap berada dalam lingkup Bapa-Nya, sehingga peristiwa penderitaan itu menjadi karya penyelamatan Allah.

Pernyataan Yesus mengenai tinggal sesaat saja itu menimbulkan salah paham di antara para murid. Bagi mereka Yesus akan tetap tinggal bersama mereka. Ia akan mendirikan suatu kerajaan seperti yang dicita-citakan oleh orang Israel. Suatu kerajaan yang bebas dari belenggu penindasan dari penjajah Romawi. Dalam Kerajaan itu mereka akan memperoleh jabatan di sekitar Yesus (bdk. Mat. 4:21-22).

Yesus menjadi tumpuan hidup mereka. Ke mana saja Yesus pergi mereka siap mengikuti. Mereka ingin tetap terlibat dalam karya pewartaan Yesus di dunia ini. Mereka siap memberikan nyawa bagi Yesus (bdk. Yoh. 13:37).

Karena itu, sangat aneh kalau Yesus mengatakan bahwa tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi. Yesus mau ke mana? Apa maksudnya “Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku?” (Yoh. 13:36). Bukankah selama ini Yesus selalu pergi bersama mereka?

Dalam pembicaraan tentang tinggal sesaat saja Yesus mengarahkan para murid kepada suatu situasi yang mencekam. Suatu peristiwa yang membuat mereka merasa takut dan seorang diri. Persaudaraan yang selama ini mereka jalin seolah-olah tidak bernilai sama sekali. Benang-benang persahabatan akan berubah menjadi kusam dan kusut. Mereka bagai layang-layang putus yang tercerai-berai kehilangan arah. Mereka terombang-ambing dihempas angin dan gelombang badai yang menerjang terjang. Mengapa? Karena orang yang mengendalikan mereka telah tiada.

Dalam situasi seperti itu mereka akan ditantang untuk benar-benar percaya bahwa Yesus sang guru itu masih tetap berada bersama mereka. “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Jadi sabda Yesus di atas seolah-olah suatu ancaman atas kemapanan kelompok Yesus yang sudah begitu mantap bersama Yesus.

Namun Yesus juga menginagtkan bahwa ketidakpastian yang dialami para murid itu hanya bersifat sementara saja. Karena ternyata habis gelap terbitlah terang. Setelah saat yang mencekam itu muncul suatu saat yang membahagiakan. Mereka tidak perlu lama-lama tinggal dalam dukacita yang menakutkan. Ucapan belasungkawa segera diikuti dengan proficiat atas terang benderang yang datang.

Jadi dengan mengungkapkan sabda-sabda di atas, Yesus mengungkapkan dua segi yang saling berkaitan. Di satu segi sebagai murid-murid Yesus, Yesus menghendaki agar mereka selalu siap untuk memberi kesaksian tentang Yesus dan Kerajaan Allah yang dibawaNya. Artinya, siap untuk memasuki saat yang mencekam seperti ditolak, dicemooh, ditindas oleh orang-orang yang menentang kehadiran Yesus. Tetapi di sisi lain Yesus memberikan harapan akan datangnya saat yang membahagiakan bagi mereka yang tetap bertahan dalam namaNya. Jadi ada saat di mana orang masuk dalam solidaritas dengan penderitaan Yesus, tetapi ada saat orang ikut serta dalam kemuliaan kebangkitan Yesus.


Dewasa Ini: Saat Itu Masih Ada


Akhir-akhir ini dunia semakin panas dan ganas. Ribuan bahkan jutaan manusia bergelimang darah terbujur kaku dalam kematian yang mengerikan. Mereka tidak lebih berharga daripada seekor anjung. Mereka bagai nyamuk-nyamuk yang sekali tepuk langsung mati terkulai tak ada yang mempersoalkan. Harkat dan martabat mereka sungguh-sungguh dilucuti moncong-moncong senjata pembasmi kehidupan.

Tibalah saatnya bagi mereka memasuki suatu situasi kegelapan yang paling gelap. Kalau saja masih ada belaskasihan dari sesama, barangkali masih ada air mata yang mengucur deras meratapi kegelapan mereka. Mereka sungguh-sungguh sendirian melintasi jalan penuh gelap gulita. Tiada teman yang dapat melipur lara jiwa mereka yang haus akan uluran kasih. Mereka tertatih-tatih di jalan panjang tak berujung. Sementara itu sorak-sorai, pekik tawa menambah luka-luka batin mereka. Banyak orang memalingkan wajah kepada mereka, tetapi hanya sekilas, karena kehadiran mereka hanyalah pengganggu keamanan dan ketenteraman yang sudah lama tercipta dari percikan darah-darah yang tertumpah di jalan-jalan.

Keadilan dan damai yang didambakan hanyalah sebuah ilusi yang sebentar saja menyejukkan hati yang dahaga. Saat yang datang menjemput mereka adalah saat yang sangat mencekam. Kalau begitu masih adakah harapan akan masa depan yang terang benderang bagi jiwa yang tetap menaruh harapan kepada Kristus?

“Tinggal sesaat saja pula kamu akan melihat Aku,” kata Yesus. Yesus tidak membiarkan manusia yang menaruh harapan padaNya mati konyol dan musna ditelan ketidakpastian. Bagi orang-orang yang demikian, penderitaan memiliki makna yang lebih dalam. Penderitaan bukanlah akhir dari segala-galanya. Justru bagi orang beriman penderitaan merupakan awal dari kebahagiaan yang gilang-gemilang bersama Yesus. Manusia yang menderita itu ikut memanggul salib bersama Yesus menapaki jalan-jalan berbatu menuju puncak kemenangan.

Di dunia ini kecemasan masih saja menggayut di wahaj-wajah manusia modern. Berbagai problem hidup yang dihadapi semakin menambah beban-beban kehidupan. Manusia akut akan masa depannya. Harta kekayaan dikumpulkan agar kenyamanan hidup di hari tua itu sungguh-sungguh terjamin. Maka tidak perlu heran kalau terjadi banyak penyelewengan demi egoisme, korupsi, manipulasi dan nepotisme. Hasilnya adalah penderitaan demi penderitaan baru bagi manusia lain.

Kecemasan dan ketakutan itu justru membawa manusia ke dalam jurang kegelapan. Manusia terjebak dalam terowongan hitam pekat tak berujung yang dibuatnya sendiri.

Dalam situasi seperti ini satu-satunya tindakan adalah pertobatan. Manusia mesti rela meninggalkan kegelapan yang memberikan kebahagiaan semu. Ia mesti berbalik ke jalan yang menar menjadi satu-satunya jawaban bagi suatu harapan untuk ikut serta dalam kemuliaan Kristus. Mengapa perlu bertobat? Karena hidup dalam kemuliaan Kristus menuntut hati yang murni. **



Frans de Sales, SCJ

(2)
Baca juga renungan dari Pastor Antonius Purwono, SCJ (klik disini)