Pages

31 Maret 2011

Membangun Rasa Cinta terhadap Pekerjaan


Ada seorang karyawan yang selalu mengeluh tentang pekerjaannya. Berbagai alasan ia lontarkan terhadap pekerjaan itu. Ia tidak peduli terhadap waktu yang telah ditentukan oleh pimpinannya untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Akibatnya, penyelesaiaan pekerjaannya itu selalu tertunda-tunda. Ia selalu mengelak dengan berbagai alasan tentang tertundanya pekerjaannya itu.

Pimpinannya menjadi tidak senang terhadap karyawan tersebut. Ia memberinya peringatan keras terhadapnya. Menyadari peringatan itu, karyawan tersebut mencari teman yang dapat ia ajak untuk menyelesaikan persoalannya. Temannya itu memintanya untuk bertanya diri, apakah sesungguhnya ia mencintai pekerjaannya.

Setelah beberapa waktu merefleksikan pertanyaan itu, karyawan itu memutuskan untuk berhenti bekerja. Alasannya adalah ia tidak menyukai pekerjaan itu. Ia merasa terpaksa dalam melaksanakan pekerjaannya itu. Karena itu, lebih baik ia berhenti bekerja daripada tidak menemukan kebahagiaan di dalam pekerjaan itu. Beberapa waktu kemudian ia menemukan pekerjaan yang ia sukai. Ia mengalami sukacita dan bahagia melaksanakan pekerjaan itu. Melalui pekerjaan itu, ia dapat menemukan jati dirinya yang sesungguhnya.

Sahabat, suatu pekerjaan itu bukan saja asal dikerjakan. Orang membutuhkan suatu cinta yang mendalam terhadap pekerjaan itu. Orang yang tidak memiliki cinta yang mendalam terhadap pekerjaan itu akan selalu menggerutu ketika mengerjakan sesuatu. Orang akan merasa bahwa apa yang sedang dikerjakan bukanlah panggilan hidupnya. Karena itu, orang ingin segera meninggalkan pekerjaannya dengan berbagai alasan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa seorang karyawan tidak asal menyelesaikan tugasnya. Ia mesti sungguh-sungguh mengerjakan pekerjaannya. Karyawan itu berhasil keluar dari pekerjaan yang tidak dicintainya itu karena ia mampu merefleksikan kembali makna kerja bagi hidupnya. Setelah ia menemukan pekerjaan yang sungguh-sungguh ia cintai barulah ia dapat sungguh-sungguh menemukan jati dirinya.

Yang sering dilupakan orang dalam mengerjakan suatu pekerjaan adalah semangat yang mesti menjadi bagian dari hidupnya. Semangat untuk belajar terus-menerus menjadi suatu dasar bagi seseorang untuk semakin mencintai pekerjaannya. Untuk itu, orang mesti membangun semangat itu dari dalam dirinya sendiri. Orang mesti mampu berefleksi atas pilihan pekerjaannya. Dengan demikian, orang dapat memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap pekerjaannya.

Di dalam pekerjaan orang dapat menemukan Tuhan yang baik yang senantiasa membimbing seseorang untuk mencintai pekerjaannya. Karena itu, orang mesti sadar bahwa apa yang dilakukannya bukan sekedar melakukan suatu pekerjaan. Orang mesti memiliki rasa cinta yang mendalam terhadap pekerjaannya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

645

30 Maret 2011

Menukik ke dalam Batin untuk Pecahkan Persoalan

Seorang suami punya masalah dengan istrinya. Ia merasa bahwa istrinyalah sumber segala masalah. Karena itu, ia pergi berkonsultasi kepada seorang konsultan spiritual. Ia tidak ingin kehilangan istrinya. Ia sangat mencintainya. Ia tidak mau keluarganya berantakan. Ia mau agar keluarganya tetap harmonis seperti keluarga-keluarga lain di tetangganya.

Kepada penasihat spiritual itu, lelaki itu bertanya, “Apa yang harus saya lakukan untuk menjaga keutuhan keluarga saya?”

Konsultan spiritual itu menasihatinya agar ia lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Menurutnya, suami itu hidup seperti orang yang tidak beriman. Ia tidak pernah berdoa dan menjalankan kewajibannya sebagai orang beriman.

Lantas konsultan spiritual itu berkata, ”Bicaralah masalah yang Anda hadapi dengan istri Anda. Mungkin dia mau membuka dirinya. Mungkin dia mau menceritakan persoalan yang dihadapinya.”

Suami itu pulang ke rumahnya. Ia melakukan apa yang disarankan oleh konsultan spiritual itu. Ia banyak merenung dan berdoa. Ia berusaha mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Situasi itu membuat suasana hidupnya berubah. Ia menjadi seorang suami yang lebih pengertian. Ia berusaha untuk lebih lembut terhadap istrinya.

Melihat perubahan situasi itu, istrinya penasaran. Ia berusaha untuk mengimbangi suasana batin suaminya. Hasilnya, keluarga itu kembali harmonis. Kebahagiaan semakin tumbuh di dalam keluarga itu.

Sahabat, dalam hidup ini persoalan-persoalan selalu saja terjadi. Banyak orang lalu menyalahkan orang lain atas persoalan yang dihadapi. Atau menyalahkan situasi-situasi di luar dirinya. Padahal belum tentu orang lain yang salah. Belum tentu yang menyebabkan persoalan atas dirinya itu situasi di luar dirinya.

Kisah tadi mengatakan kepada kita bahwa situasi pribadi seseorang dapat menyebabkan orang itu punya masalah. Ternyata masalah itu ada di dalam diri orang itu. Bukan di luar dirinya. Baru setelah ia mampu berefleksi diri, persoalan-persoalan itu bisa diatasi.

Mengubah diri menjadi hal utama dalam memecahkan persoalan yang terjadi. Orang mesti mampu memiliki suatu kepekaan terhadap situasi pribadinya. Kepekaan itu dapat membantu seseorang mengubah sikap hidupnya yang membahagiakan bagi semua orang yang hidup di sekitarnya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani menukik ke dalam batin kita untuk menemukan persoalan yang sesungguhnya. Mempersalahkan orang lain atas persoalan yang kita hadapi hanya membuang-buang energi. Menyalahkan situasi di luar diri kita hanyalah suatu usaha mengalihkan persoalan. Hasilnya tidak akan membantu kita untuk memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi.

Mari kita berusaha untuk merefleksikan diri kita, ketika suatu persoalan melanda hidup kita. Dengan demikian, kita akan menemukan sukacita dan bahagia bagi diri sendiri dan orang lain. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

644

29 Maret 2011

Hati yang Tergerak oleh Penderitaan Sesama


Gempa bumi di Haiti dengan korban puluhan ribu orang menggugah hati petenis putra nomor satu dunia, Roger Federer. Pria berusia 28 tahun yang tampil dalam turnamen Australia Terbuka di Melbourne itu berinisiatif mengadakan pertandingan amal untuk mengumpulkan dana.

Tentang ide mengumulkan dana bagi para korban gempa ini, Roger berkata, ”Saya punya ide bahwa kami harus berbuat sesuatu untuk membantu korban di Haiti. Lalu saya berbicara kepada beberapa petenis top dan mereka setuju bahwa kita harus berbuat sesuatu.”

Ide Federer ini diwujudkan dalam pertandingan ganda campuran yang diselenggarakan Minggu, tanggal 17 Januari 2010 lalu di lapangan utama Melbourne Park, Rod Laver Arena. Penonton dewasa dipungut biaya 10 dolar Australia (sekitar Rp 85.000), sementara anak-anak berusia di bawah 12 tahun bisa menonton gratis. Uang inilah yang kemudian disumbangkan ke Haiti.

Beberapa atlet yang bersedia untuk ikut serta dalam acara amal itu adalah Novak Djokovic, Andy Roddick, Serena Williams, Kim Clijsters dan Samantha Stosur.

Roger yang telah tiga kali juara Australia Terbuka ini berkata, ”Saya pikir, ini seperti acara tenis untuk keluarga. Mereka bisa nonton penampilan petenis-petenis top.”

Sahabat, kepedulian terhadap sesama yang menderita semestinya menjadi bagian dari hidup kita. Apalagi penderitaan yang dialami itu bukan karena ulah mereka sendiri. Bencana alam yang menelan korban tewas sekitar 50 ribu jiwa di Haiti itu memang semestinya mendapatkan perhatian dari dunia. Bangsa kita telah mengirim 75 tenaga sukarela untuk membantu korban bencana alam itu. Suatu bentuk solidaritas yang sudah semestinya dilakukan dengan hati yang tulus.

Korban bencana di mana pun selalu menggugah kepedulian kita. Solidaritas kita terhadap mereka yang menderita itu ditantang untuk direalisasikan. Tidak hanya melalui kata-kata yang diucapkan di bibir saja. Solidaritas itu menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu mengatasi segala-galanya. Kehidupan mesti senantiasa diperjuangkan dan dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia.

Karena itu, ketergerakkan hati Roger dan teman-temannya pemain tenis top dunia menjadi contoh bagi kita semua. Dengan kemampuan yang mereka miliki mereka dapat melakukan sesuatu untuk membantu sesamanya yang sedang menderita. Mereka membantu dengan cara yang mereka miliki yang ternyata memberikan banyak sekali manfaat bagi para korban.

Sebagai orang beriman, ketergerakkan hati kita terhadap penderitaan sesama mesti selalu dipupuk dalam hidup ini. Inilah caranya kita menyatakan kasih sayang kita kepada sesama yang menderita. Inilah bentuk kita mengungkapkan kepedulian kita terhadap kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan. Mari kita terus-menerus memupuk sikap solider dengan sesama yang sedang menderita. Dengan demikian, mereka mengalami kegembiraan batin karena diperhatikan sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

KOMSOS Keuskupan Agung Palembang

643

27 Maret 2011

Membangun Cinta yang Universal



Suatu hari seorang gadis merasa kesepian. Pasalnya, ia baru saja putus cinta dengan seorang pemuda. Ia merasa lemas. Sekujur tubuhnya yang dulu kuat, kini menjadi lemas. Tidak ada tenaga. Tidak ada kekuatan sama sekali. Kekuatan cinta yang dulu begitu menggebu-gebu, kini lunglai. Bagai bunga di musim kering yang tak disirami air. Tidak ada gairah untuk hidup lagi.

Namun gadis itu tidak ingin mengakhiri hidupnya. Ia membiarkan semua peristiwa pahit itu berlalu dari hatinya. Ia berusaha untuk membangun kembali kekuatan cintanya dari puing-puing cintanya yang tersisa. Dalam hati ia berkata, “Saya mesti kuat. Saya masih punya kemampuan. Saya masih punya kekuatan meski sedikit. Saya akan bangun kembali cinta saya yang hilang itu.”

Benar. Tidak terlalu lama tenggelam dalam kepedihan, gadis itu merangkai kembali kekuatan cintanya. Kali ini ia ingin miliki sendiri dulu cinta itu. Ia tidak mau memberikannya kepada orang lain dulu. Ia ingin memberi dasar-dasar yang kokoh bagi cintanya. Apalagi ia membangun cinta itu dari puing-puing cinta yang ia rangkai kembali bagai mengurai benang kusut.

Gadis itu sadar, semua itu tidak ia lakukan sendirian. Ada orang-orang lain yang ikut membantunya membangun kembali cintanya. Ada teman-teman yang memberinya semangat untuk tidak tenggelam dalam derita karena cinta yang hilang. Ia juga sadar bahwa dalam usaha-usahanya ia selalu mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Ia pasrahkan seluruh jiwa raganya kepada Tuhan yang memberi jaminan bagi hidupnya. Karena itu, ia berhasil. Ia menemukan kembali cintanya bagi dirinya dan sesama di sekitarnya.

Sahabat, cinta yang berkobar-kobar sulit untuk dipadamkan. Ia menyala bagai api. Namun cinta yang suci biasanya tidak membakar sampai hangus. Cinta yang kudus itu menjilat-jilat, namun menumbuhkan kehidupan. Cinta yang sejati biasanya tidak merusak tatanan kehidupan. Hanya cinta yang egois yang mampu menghancurkan kehidupan bersama.

Kisah gadis kehilangan cinta tadi memberi inspirasi bagi kita tentang bagaimana kita mesti menghidupi cinta yang kudus dalam hidup ini. Ada kalanya orang mengalami kehilangan cinta. Ada kalanya orang terpuruk karena cinta. Tentu saja situasi seperti ini biasanya disebabkan oleh cinta yang egois yang mau menang sendiri. Cinta yang tidak mampu dibagikan kepada orang lain. Cinta seperti ini cinta yang hanya diperuntukan bagi keuntungan diri sendiri, bukan bagi kepentingan bersama.

Orang beriman mesti memiliki cinta yang universal. Suatu cinta yang mampu membangun persaudaraan dalam hidup bersama. Suatu cinta yang sehat yang tidak meminggirkan orang lain.

Mampukah orang beriman memiliki cinta yang demikian? Tentu saja orang beriman mampu memiliki cinta yang demikian. Mengapa? Karena orang beriman hidup bukan bagi dirinya sendiri. Orang beriman dilahirkan untuk sesama. Dalam kebersamaan hidup itu orang beriman menemukan hidup begitu baik dan indah. Hidup ini memiliki makna yang mendalam. Mari kita membangun cinta universal. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin damai dan baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


642

24 Maret 2011

Berani Mencintai, Berani Berkorban

Ada seorang ibu yang mengalami stress. Soalnya adalah suaminya menceraikannya secara sepihak. Suaminya hidup dengan perempuan lain. Ia ditinggalkan sendirian dengan bayi yang masih dalam kandungannya. Hal yang semakin memilukan hatinya adalah anak-anaknya diambil oleh suaminya. Ia dilarang untuk menjenguk anak-anaknya. Sementara janin yang masih berada di dalam kandungannya itu pun diancam untuk diambil begitu dilahirkan.

Ibu itu seolah-olah tidak punya siapa-siapa lagi. Namun ia tetap mencintai anak yang masih ada di dalam kandungannya. Ia berusaha untuk menyelamatkan anak itu. Tidak ada pikiran sama sekali untuk menggugurkan anak itu. Ia bertekad untuk mengandung dan melahirkannya dengan selamat.

Beberapa hari setelah melahirkan anaknya, sang mantan suami datang. Ia meminta agar anak itu ia bawa pulang ke rumahnya. Ia mau mengasuhnya bersama tiga anaknya yang lain. Ibu itu mati-matian tidak mau memberikannya. Ia menuntut suaminya untuk membiarkan anak yang masih kecil itu berada dalam pelukannya. Ia ingin merawatnya dengan baik. Namun sang mantan suami tidak mau menggubris. Ia tetap memaksa untuk membawa pergi bayi itu. Ibu itu tidak berdaya. Ia terpaksa kehilangan bayi yang sangat dicintainya itu.

Hidup sebatang kara ternyata membuat dirinya semakin stress. Ia rindu untuk melihat anak-anaknya. Ia rindu untuk menimang bayi yang dilahirkannya. Namun ia tidak mendapatkan ijin dari sang mantan suami. Akhirnya yang terjadi adalah suatu peristiwa yang mengenaskan. Ia meninggal dalam kesepian dan kerinduannya. Cintanya yang begitu besar menyebabkan hidupnya berakhir secara tragis.

Sahabat, mungkinkah cinta yang begitu mendalam dapat membuat seseorang mati? Bisa saja terjadi! Orang yang punya cinta yang begitu besar berani mengorbankan hidupnya bagi sesamanya. Seorang ibu yang melahirkan anaknya mengorbankan hidupnya demi hidup anaknya. Ia tidak memikirkan keselamatan nyawanya sendiri. Yang ia pikirkan adalah keselamatan anak yang hendak dilahirkannya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa cinta yang begitu besar dapat menyebabkan hidup seseorang berakhir dengan tragis. Ibu itu sangat mencintai anak-anaknya. Bahkan ia berani mengorbankan hidupnya demi anak-anaknya itu. Ia membiarkan dirinya layu dan lusuh hanya demi kehidupan dan keselamatan anak-anaknya. Ia mencintai anak-anaknya sampai membiarkan hidupnya berakhir. Cintanya sampai habis untuk anak-anaknya.

Bagaimana dengan orang beriman? Apakah orang beriman berani berkorban demi cinta yang besar bagi sesama? Tentu saja orang beriman mesti berani mencintai sesama sampai sehabis-habisnya. Orang beriman mesti berusaha untuk terus-menerus mencintai apa pun korban yang akan dihadapi. Mengapa? Karena tiada cinta yang dilakukan tanpa korban. Orang yang mencintai sesamanya itu pasti memiliki korban yang besar. Bukan lagi dirinya yang menjadi pusat perhatiannya, tetapi sesama yang dicintainya itu.

Mari kita berusaha untuk mencintai sesama dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian hidup kita berguna bagi Tuhan dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

23 Maret 2011

Berusaha Mengendalikan Keinginan Diri


Aksi yang dilakukan pria paruh baya ini benar-benar sudah di luar batas akal sehat. Betapa tidak, ia melakukan bunuh diri sesaat setelah menembak ibu mertuanya dan dua orang lainnya dengan senapan di sebuah bar di barat Jepang, Selasa, tanggal 12 Januari 2010 lalu.

Penembakan terjadi sekitar pukul 8:00 waktu setempat di Hibikino City, di luar Osaka. Seorang pejabat kota mengatakan, “Tersangka menembakkan senapan di dalam bar dan kemudian menembak dirinya sendiri di sebuah jalan di lua.”

Penembak itu kemudian diidentifikasi sebagai pegawai pemerintah kota Osaka, bernama Yasuhisa Sugiura.

Kantor Berita Kyodo melaporkan, ketiga korban tewas adalah ibu mertuanya bernama Yoshiko Tanaka dan karyawan bar bernama Tatsuya Fukui. Pemilik bar bernama Hiroto Uehara (49), dalam kondisi kritis karena terluka dalam serangan itu. Namun tidak berapa lama, ia kemudian meninggal.

Saat itu Sugiura dan ibu mertuanya berada di bar untuk berbicara tentang perceraiannya. Dia tampak gembira dan mendadak meninggalkan diskusi. Ia lalu kembali dengan membawa senapan. Kejahatan dengan senjata jarang terjadi di Jepang, karena mereka yang terbukti membawa senjata api ilegal akan diganjar hukuman 10 tahun penjara.

Sahabat, kesadisan sering kali terjadi dalam hidup manusia. Tidak hanya di Jepang seperti dalam kisah di atas. Persoalannya adalah mengapa terjadi kesadisan dalam hidup manusia? Hal ini terjadi karena manusia merasa diri yang paling hebat. Manusia tidak mau menerima kelemahan dirinya. Manusia berusaha menutup kelemahan-kelemahan dirinya dengan melakukan kesadisan demi kesadisan.

Dalam situasi kekerasan dan kesadisan yang terjadi adalah manusia dikuasai oleh egoismenya. Manusia hanya menuruti kehendak dirinya sendiri. Tidak memperhitungkan akibat dari yang dilakukan sesuai kehendak pribadi itu. Kisah tadi mau mengingatkan kita, agar kita mampu mengatasi setiap bentuk egoisme kita. Semestinya manusia mampu mengendalikan emosinya. Semestinya manusia memperhitungkan secara matang apa yang hendak dilakukannya. Tidak asal melakukannya secara membabi buta.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk senantiasa mendahulukan kepentingan umum yang lebih luas. Kepentingan pribadi mesti ditempatkan pada nomor ke sekian. Egosime mesti dibuang jauh-jauh, agar dunia ini menjadi suatu dunia yang lebih baik bagi semua orang.

Orang beriman mesti selalu memperhitungkan akibat-akibat dari apa yang dilakukannya. Orang beriman tidak bisa bertindak sewenang-wenang atas kehendak dirinya sendiri. Tidak membabi buta dalam melakukan sesuatu.

Mari kita berusaha menghidupi semangat peduli terhadap sesama di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan sukacita dan kedamaian dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

Tabloid KOMUNIO dan Majalah FIAT

22 Maret 2011

Berusaha Menciptakan Semangat Berjuang

Kehormatan sebagai pengeliling dunia pertama tunggal dianugerahkan kepada Francis Chichester. Ia hidup dari tahun 1902 hingga 1972. Di tahun 1966, Chichester yang berusia 64 tahun berlayar menggunakan Gipsy Moth IV dengan panjangnya 16 meter dari Inggris.

Sial baginya. Sistim kemudi Gipsy rusak saat berada 3700 kilometer dari Australia. Tapi ia berhasil mencapai Australia. Segera setelah meninggalkan Sydney, Gyspy terbalik. Namun ia berhasil memperbaiki keadaannya. Di sekitar Tanjung Tanduk, Chichester menghadapi gelombang setinggi 15 meter. Dia berhasil mengendalikan Gyspynya. Chichester bukan tipe orang yang cepat menyerah.

Tahun 1960 dia adalah pemenang lomba melintasi atlantik dengan hanya menggunakan satu tangan. Dia juga orang pertama yang melakukan penerbangan tunggal jarak jauh dengan menggunakan pesawat terbang air dari Inggris ke Australia. Pada tanggal 28 Mei 1967, setelah 226 hari berlayar di laut lepas, dia disambut oleh setengah juta orang di Plymouth, Inggris.

Sahabat, suatu kerja keras tanpa menyerah akan membuahkan hasil yang berlimpah bagi kehidupan. Namun suatu kerja keras tanpa konsistensi belum tentu menghasilkan buah yang baik. Konsistensi itu semangat yang memotivasi kerja keras manusia. Konsistensi itu bagai mesin penggerak yang menggerakkan kendaraan untuk dapat berlari.

Karena itu, orang tidak hanya sekedar bekerja keras. Orang mesti menemukan semangat hidup yang memberi konsistensi dalam kerja kerasnya itu. Orang beriman akan menemukan semangat itu di dalam Tuhan. Mengapa? Karena bagi orang beriman, Tuhanlah sumber inspirasi hidup. Tuhan memberi kekuatan kepada manusia untuk memiliki semangat dalam mengerjakan sesuatu.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa sang pengembara itu memiliki semangat hidup yang tinggi. Ia tidak menyerah begitu ada tantangan yang besar yang menghadang hidupnya. Ia terus-menerus berusaha. Ketika kapal yang dikendalikannya dihempas gelombang yang tinggi, ia tetap berusaha untuk mengatasinya. Ia tidak putus asa. Berkat kerja kerasnya itu, ia mengalami kegembiraan. Tentu saja Chichester memiliki konsistensi dalam perjuangannya mengarungi lautan luas.

Sebagai orang beriman, kita diajak untuk memiliki konsistensi dalam hidup beriman. Konsistensi itu bisa dalam bentuk kesetiaan atau kejujuran. Orang yang bertahan dalam kesetiaan akan menemukan semangat untuk tetap berjuang. Tidak ada keputusasaan dalam dirinya. Orang terus berusaha, karena memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya itu akan menghasilkan buah-buah kebaikan bagi hidup manusia.

Mari kita berusaha untuk memiliki semangat yang memberi kita kekuatan untuk tetap bertahan dalam iman kita. Kita juga mohon bantuan dari Tuhan, agar kita tetap setia pada iman kita masing-masing. Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih berguna bagi diri kita dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

KOMSOS Keuskupan Agung Palembang

638

21 Maret 2011

Berusaha Melepaskan Luka Batin


Maraknya kasus pembunuhan tahun 2010 lalu, terutama yang menelan korban para remaja di kota-kota besar khususnya Jakarta sungguh membuat hati ini miris. Para korban biasanya “dihabisi” dengan sadis. Selain dengan benturan benda tumpul, akibat nyawa korban melayang adalah dengan sejumlah tusukan benda tajam.

Tentu saja akibat kejadian ini, para orangtua yang ditinggalkan anak tercintanya banyak yang merasa hancur dan remuk hatinya.

Kamis, 27 April 2006 lalu adalah hari yang tidak bisa dilupakan bagi keluarga Hotmana Hutagalung. Hari itu, ia kehilangan putra tercintanya bernama Naek L Gonggom. Walau kejadian yang sangat menyakitkan itu sudah berlangsung hampir empat tahun, namun bagi Hotmana, sang ibunda, masih menyisakan rasa perih di hatinya.

Ia berkata, “Sampai sekarang saya selalu teringat anak saya. Air mata ini rasanya sudah habis.”

Ia mengatakan, jika ia mengeluarkan kesedihan itu dengan menangis, tidak demikian halnya dengan suaminya. Ia berkata, “Suami saya tidak bisa menangis. Tapi dia menahan kesedihan yang sangat mendalam. Akibatnya ia jatuh sakit.”

Namun dalam kondisi seperti itu, ia masih memiliki hati yang pengampun. Ia telah mengampuni komplotan pembunuh anaknya, yaitu paman dan ibu Lidya Pratiwi, yang masih teman anaknya. Menurutnya, dengan mengampuni mereka, ia tidak ingin jatuh sakit akibat beban yang selalu dipikirkannya.

Sahabat, mampukah Anda mengampuni orang yang melakukan kejahatan yang sangat besar terhadap Anda? Mungkin banyak dari Anda yang sulit mengampuni orang yang jelas-jelas telah menyakiti hati Anda. Apalagi sakit hati yang dialami itu demikian dalam. Anda mengalami luka batin yang demikian pedih. Karena itu, rasanya Anda tidak akan dengan mudah mengampuni orang yang telah melukai hati Anda itu.

Atau Anda mungkin memilih waktu untuk menenangkan diri. Anda menyusun strategi yang terbaik untuk mengambil langkah yang tepat. Mudah-mudahan langkah tepat yang akan Anda ambil adalah mengampuni orang yang telah menyakiti hati Anda. Mengapa? Karena hanya dengan cara seperti itu Anda akan lepas dari rasa sakit hati itu. Luka batin yang Anda alami itu akan segera sembuh. Anda tidak perlu lagi punya beban yang mesti Anda pikul terus-menerus.

Kisah Ibu Hotmana tadi dapat menjadi inspirasi bagi kita. Ia rela mengampuni orang yang telah melenyapkan nyawa anaknya. Dengan mengampuni itu, ia tidak perlu menanggung beban yang berat di dalam hatinya. Ia terbebas dari luka batin dan rasa sakit yang terus-menerus menghantui dirinya.

Orang yang berani mengampuni sesamanya yang melakukan dosa terhadapnya akan menemukan sukacita dalam hidupnya. Ia mengalami kelepasan dari setiap bentuk luka batin yang menyayat hatinya. Ia tidak perlu lagi mengingat-ingat dosa sesamanya terhadap dirinya. Masih ada banyak hal lain yang mesti ia lakukan untuk menempuh peziarahan hidup ini. Dengan demikian, ia memiliki sukacita dan damai dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora Palembang pada pukul 21.00 bagi yang tinggal di Palembang dan sekitarnya. Atau bisa dibaca di http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


637

20 Maret 2011

Meningkatkan Kejujuran dan Kesetiakawanan

Soe Hok-gie adalah sosok pemberani. Namun ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Di era Soekarno dan Suharto berkuasa, ia berani mengkritik kebijakan kedua mantan presiden itu. Kebijakan yang tidak pro rakyat, ia kritik melalui tulisan-tulisannya di media massa.

Namun ia juga seorang demonstran yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa. Pria yang meninggal di usia 27 ini adalah seorang mahasiswa Universitas Indonesia. Ia meninggal karena menghirup gas beracun ketika mendaki Gunung Semeru bersama teman-teman mahasiswa lainnya.

Kisah heroik Soe Hok-gie adalah ketika ia menghadang panser yang keluar dari istana presiden. Caranya adalah ia tidur telentang di tengah jalan yang hendak dilalui panser tersebut. Peristiwa itu menjadi berita heboh bagi masyarakat. Semua itu ia lakukan untuk menarik perhatian pihak pemerintah terhadap kepentingan rakyat.

Keberanian Soe Hok-gie itu tumbuh atas dasar kejujuran dan kesetiakawanan terhadap rakyat yang sering ditindas. Ia yakin, kesejahteraan akan tumbuh dan berkembang dalam hidup berbangsa dan bernegara. Soalnya adalah kejujuran dan kesetiakawanan sering diabaikan oleh banyak orang.

Sahabat, beberapa waktu lalu berita menghebohkan kita baca dan dengar dari berita-berita, yaitu fasilitas mewah bagi narapidana tertentu di penjara. Dalam sidaknya ke penjara Pondok Bambu, Satgas anti makelar hukum menemukan fasilitas mewah tersebut. Mereka pun kaget luar biasa bahwa ada narapidana tertentu yang diberi fasilitas tersebut.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja para narapidana tersebut menikmati kemewahan di penjara itu bukan dalam suasana gratis. Mereka mesti mengeluarkan sejumlah uang sebagai ongkos. Soalnya adalah siapa yang mendapatkan uang sewa tersebut?

Semestinya pihak institusi yang mengelola lembaga pemasyarakatan atau penjara tersebut. Kalau ini yang terjadi, tentu saja penjara tidak perlu kekurangan dana untuk membiayai kebutuhan para narapidana. Istilahnya ada subsidi silang dari narapidana yang menikmati fasilitas mewah itu untuk para narapidana yang bersesak-sesakan di satu sel.

Soalnya menjadi lain, kalau uang sewa itu digunakan oleh oknum tertentu untuk kepentingan dirinya sendiri. Ini namanya ketidakjujuran. Ini yang namanya uang sogok. Bukan uang sewa fasilitas mewah di penjara. Yang namanya uang sogok itu melanggar hukum. Tidak mengindahkan kesetiakawanan terhadap mereka yang menderita.

Kisah tadi memang kontras dengan temuan satgas anti makelar hukum itu. Kisah tadi mengungkap kejujuran dan kesetiakawanan seorang Soe Hok-gie yang berani mati bagi sesamanya. Sedangkan kisah kemewahan fasilitas penjara bagi narapidana tertentu mengabaikan kejujuran dan kesetiakawanan.

Karena itu, mari kita berusaha untuk hidup jujur dan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, kita memiliki kesetiakawanan dengan sesama yang menderita. Tuhan memberkati.**



Frans de Sales, SCJ


636

19 Maret 2011

Menyerahkan Kehendak Diri kepada Tuhan



Ada seorang perempuan yang sudah lama menikah. Ia sangat berbahagia hidup dengan suaminya. Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi suaminya. Ia tetap mengandalkan cinta dan kesetiaannya kepada suaminya. Baginya, sebuah perkawinan mesti selalu dilandasi oleh kasih dan kesetiaan.

Ia semakin berbahagia ketika menyaksikan suaminya pun tetap setia dan mencintainya. Soal yang muncul dalam dirinya adalah sudah sekian lama mereka menikah, namun ia belum memberikan keturunan bagi suaminya. Padahal kasih dan kesetiaan mereka tidak kurang-kurang. Usaha-usaha untuk mendapatkan anak pun telah mereka lakukan sebaik-baiknya.

Karena itu, suatu hari ia berdoa kepada Tuhan. Ia memohon agar diberi seorang anak yang menjadi buah cinta dirinya dengan suaminya. Ia berkata, ”Tuhan, berikanlah kami seorang anak yang dapat membuat perkawinan kami semakin bahagia. Biarlah anak itu akan menjadi buah cinta sejati kami. Aku menyerahkan seluruh hidupku kepadaMu.”

Rupanya Tuhan mendengarkan doa yang penuh harap itu. Enam bulan kemudian ia hamil. Ia sangat bergembira. Ia berusaha untuk terus-menerus memupuk suasana gembira dalam dirinya dan keluarganya. Suaminya pun ikut bergembira mendengar peristiwa kehamilan istrinya. Ia pun berusaha untuk semakin menyayanginya. Ia berusaha untuk menggembirakannya.

Sahabat, doa orang yang beriman yang penuh harapan dipanjatkan kepada Tuhan ternyata didengarkan. Tuhan masih hidup. Tuhan masih mendengarkan keluh kesah milik kepunyaannya. Tuhan tidak melupakan umatNya yang berdoa kepadaNya. Harapan seseorang yang merindukan kebahagiaan dikabulkan oleh Tuhan.

Pernahkah kita berdoa dengan penuh iman dan harapan kepada Tuhan? Atau kita terlalu memaksakan kehendak kita kepada Tuhan dalam doa-doa kita? Mungkin hal kedua ini yang sering kita lakukan. Ketika kita mengalami duka nestapa dalam hidup ini, kita sering memaksa Tuhan untuk menyingkirkan duka nestapa itu. Padahal mungkin duka nestapa itu memiliki hikmah bagi hidup kita. Mungkin duka nestapa itu menjadi suatu kesempatan bagi kita untuk belajar menyerahkan hidup kita dengan lebih sungguh-sungguh kepada Tuhan.

Kisah ibu tadi mau mengatakan kepada kita bahwa doa yang dikabulkan adalah doa yang penuh iman menyerahkan seluruh keinginan kepada Tuhan. Biar Tuhan saja yang mengabulkan doa-doanya. Ia tidak memaksakan kehendaknya agar Tuhan mengabulkan doanya. Ia menyerahkan seluruh kehendak dirinya itu kepada Tuhan. Soal dikabulkan atau tidak doanya itu, itu bukan urusannya. Itu urusan Tuhan.

Karena itu, mari kita menyerahkan doa-doa kita kepada Tuhan. Kita biarkan Tuhan sendiri yang mengabulkan doa-doa kita. Kita tidak perlu memaksa Tuhan. Dengan demikian, hidup kita berkenan kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


635

18 Maret 2011

Mengandalkan Cinta Kasih dalam Hidup

Siapa tidak kenal Aktris Halle Berry yang kini berusia 43? Tampilannya di film Cat Woman sungguh mempesona. Ia menarik perhatian banyak penonton saat bermain dalam salah satu serial film James Bond atau 007. Namun meskipun ia menjadi salah seorang bintang film tenar, ia masih prihatin terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang dialami seseorang.

Kini ia masuk jajaran artis yang ikut menyuarakan kampanye antikekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Baginya, kekerasan dalam rumah tangga tak hanya membuat korban terluka. Tetapi juga membuat orang yang menyaksikannya, biasanya anak-anak, menjadi trauma.

Tentang kekerasan, ia berkata, ”Ketika seorang anak melihat ibunya dipukul, ditendang, dan dipukul wajahnya oleh ayahnya, kejadian itu tak hanya membuat anak itu merasa ketakutan. Tetapi ia juga merasa seolah dirinya tak berguna.”

Rupanya kata-kata Berry itu merupakan pengalaman nyata dalam hidup bintang X-Men: The Last Stand tahun 2006 ini. Ia berkata, ”Ayah saya sangat kejam dan kecanduan alkohol. Dia meninggalkan kenangan mengerikan dalam hidup saya.”

Waktu itu, ia mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah ini. Menurutnya, setiap anak yang hidup dalam situasi seperti ini akan mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya. Mereka cenderung tertutup.

Berry mengaku beruntung, karena ia memiliki seorang guru yang mengenali karakternya. Ia berkata, ”Guru saya melihat kalau saya membutuhkan perhatian. Dia menguatkan saya dengan kasih sayang. Saya merasakan kembali bisa berguna.”

Sahabat, mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya gampang, yaitu kurang cinta kasih. Semestinya cinta kasih menjadi andalan utama dalam hidup manusia. Namun cinta kasih itu menjadi suram dalam kehidupan rumah tangga. Alasannya adalah masing-masing anggota keluarga hanya mementingkan diri sendiri.

Pelaku kekerasan dalam rumah tangga hanya mengutamakan pemenuhan keinginannya. Ketika keinginan egoismenya tidak terpenuhi, anggota keluarga yang lain menjadi sasaran. Bisa saja kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi terhadap istri, suami atau anak-anak.

Persoalan yang mesti digarap dalam hidup rumah tangga adalah mengapa kurang adanya cinta kasih dalam keluarga itu. Bisa saja terjadi sejak proses terbentuknya sebuah keluarga. Suami istri tidak sungguh-sungguh saling mengenal. Bisa saja yang dikenal ketika masa-masa pacaran adalah hal-hal yang baik saja. Namun sisi-sisi gelap dari kedua orang itu tidak sungguh-sungguh dikenali atau ditemukan. Mungkin mereka saling menyembunyikan sisi-sisi gelap mereka.

Karena itu, sebuah perkawinan yang sehat adalah perkawinan yang sungguh-sungguh dilandasi oleh cinta kasih yang mendalam. Bukan hanya sekedar suka sama suka. Tetapi orang yang menikah itu sungguh-sungguh mengandalkan cinta kasih dalam hidup perkawinan mereka.

Orang yang hidup dalam cinta kasih yang mendalam pasti akan rela menerima kekurangan pasangannya. Tentu saja hal itu terjadi karena ada pengampunan terhadap pasangan yang melakukan dosa dan kesalahan. Mari kita andalkan cinta kasih dalam hidup ini. Dengan demikian, hidup ini semakin damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

634

16 Maret 2011

Hidup Ini Butuh Perencanaan



Banyak dari Anda pasti tahu dan kenal dengan Jennifer Aniston. Perempuan berusia 40 tahun ini adalah seorang bintang film serial friends yang populer di dunia. Di tahun 2010 lalu ia punya rencana besar. Aktris yang bermain dalam film He’s Just Not That Into You dan The Break-Up ini kabarnya berencana membuka sebuah restoran.

Ia ingin membuka sebuah restoran Meksiko di kota New York, Amerika Serikat. Sebenarnya keinginannya itu berasal dari harapannya untuk bisa mewujudkan kecintaannya pada makanan pedas. Kita tahu bahwa banyak orang Amerika tidak bisa makan makanan pedas. Mereka akan menghindari makanan dengan cabe yang kental. Kalau mereka sampai makan makanan pedas, mulut mereka akan terasa seperti sedang terbakar.

Menurut Aniston, saat itu dia sudah sampai pada tahap negosiasi untuk segera merealisasikan rencana itu. Aniston, yang juga main dalam film The Object of My Affection dan Along Came Polly, berkata, ”Bila semua berjalan lancar, aku berharap bisa membuka restoran Meksiko di New York tahun 2010 ini. Aku sangat menyukai makanan Meksiko. Aku akan berbaur dengan para pelanggan dan akan dengan senang hati menjadi pelayan bagi mereka.”

Sahabat, hidup ini membutuhkan perencanaan. Orang tidak hanya hidup seperti angin yang bertiup, tidak tahu dari mana datangnya dan ke mana perginya. Orang yang tidak punya rencana dalam hidup ini bagai tubuh tanpa roh. Akan cepat aus dimakan zaman. Tidak akan bertahan, ketika ada tantangan dan godaan datang menghadang.

Sebaliknya, orang yang punya rencana hidup memiliki kepastian hidup. Ia tidak hanya sekedar hidup. Ia punya arah yang jelas. Ia dapat mengelola hidupnya dengan baik dan benar. Segala sesuatu dipikirkannya masak-masak. Ia tidak melakukan sesuatu asal jadi, tetapi dengan perhitungan yang mendalam.

Kisah Jeniffer Aniston di atas mau mengatakan kepada kita bahwa untuk memiliki hidup yang lebih bermakna orang mesti punya rencana. Ia merencanakan untuk membuka sebuah restoran Meksiko. Tentu saja ia tidak hanya munculkan rencananya itu dalam sekejap saja. Ia telah memikirkannya baik-baik. Ia ingin menjadi pelayan bagi sesamanya. Tentu saja hal itu membutuhkan banyak waktu.

Karena itu, mengawali tahun 2011 ini kita semua semestinya telah memiliki rencana-rencana besar untuk hidup kita. Kita tidak bisa hanya mau hidup dibawa oleh angin ke mana ia mau.

Kita ingin mengendalikan setiap kecenderungan kita dengan membuat rencana hidup itu. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin bermakna. Kita dapat menimba semakin banyak hal baik dari hidup kita. Hidup ini dapat lebih berguna bagi sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


633

15 Maret 2011

Mengerjakan Tugas-tugas dengan Sukacita Rata Penuh


Ada seorang anak yang selalu mengeluh di kala mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya. Ia selalu merasa sulit. Akibat lanjutnya adalah ia enggan untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan gurunya. Ia mengaku tidak bisa menyelesaikan soal-soal itu. Baginya, soal-soal itu hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang yang brilian.

Ibunya yang menyaksikan sikap anaknya itu menjadi gelisah. Ia tidak yakin anaknya tidak bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh gurunya. Karena itu, sang ibu berusaha meyakinkan anaknya.

Ia berkata, “Nak, kamu pasti bisa mengerjakan soal-soal itu. Kan tidak ada yang sulit.”

Anak itu tidak mau menggubris. Ia sama sekali tidak mau membuka buku pekerjaan rumahnya. Ia merasa yakin bahwa ia tidak mungkin mengerjakan soal-soal itu. Namun ibunya tidak mau menyerah. Ia sangat yakin, anaknya dapat mengerjakan soal-soal yang ditugaskan kepadanya itu.

Ia berkata, “Nak, coba kamu buka buku pekerjaan rumahmu. Ibu yakin, setelah kamu membacanya pasti kamu menyukainya. Kamu pasti bisa mengerjakan soal-soal itu.”

Anak itu pun mulai membuka buku pekerjaan rumahnya. Satu demi satu ia perhatikan soal-soal itu. Tiba-tiba ia berteriak, “Ibu, ini soal-soal yang mudah. Aku pasti dapat mengerjakannya....”

Sahabat, banyak orang menganggap tugas-tugas yang diberikan kepada mereka itu sesuatu yang sulit untuk dikerjakan. Soalnya adalah orang tidak teliti. Orang sudah memiliki prasangka yang bukan-bukan. Akibatnya, orang tidak berani menggerakkan tangan dan kakinya untuk mulai mengerjakan tugas-tugas itu. Tanpa kreativitas, orang tidak akan berhasil mengerjakan suatu tugas pun. Hasilnya akan sangat mengecewakan.

Karena itu, yang mesti dilakukan adalah orang mulai mengerjakan tugas-tugas itu. Tidak perlu terlalu banyak memikirkannya. Mulai saja dan orang akan menemukan bahwa betapa pun beratnya suatu tugas akan dapat diselesaikan dengan baik. Tidak peduli tugas apa yang dikerjakan. Orang mesti memberi perhatian penuh dan yang terbaik. Orang tidak bisa setengah-setengah dalam menyelesaikan tugas itu.

Untuk itu, orang tidak perlu mencari kenyamanan dulu. Orang mesti menciptakan suasana kenyamanan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mengapa? Karena kenyamanan yang diciptakan sendiri itu akan bertahan lama. Tidak lekang oleh waktu. Orang akan menemukan betapa indahnya kenyamanan itu bagi hidupnya.

Orang beriman mesti melakukan pekerjaan-pekerjaannya dengan penuh iman, pengharapan dan kasih. Mengapa? Karena hanya dengan penyerahan diri yang total kepada Tuhan, orang beriman akan berhasil dalam tugas-tugasnya. Ia tidak bekerja sendirian. Ia bekerja bersama Tuhan yang terlibat dalam proses hidupnya. Ia senantiasa menyertakan Tuhan dalam tugas-tugasnya. Dengan demikian, tugas-tugas itu dikerjakan dengan penuh sukacita dalam kasih yang membara. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


632

14 Maret 2011

Memperjuangkan Kebaikan bagi Sesama



Saat terjadi krisis ekonomi global pada Perang Dunia II, Konosuke Matsushita ikut terkena dampaknya. Ia baru saja merampungkan pabrik dan kantor untuk memproduksi peralatan listirk bermerek National dan Panasonic. Modal usaha ia pinjam dari Bank Sumitomo. Belum sempat berproduksi secara maksimal, krisis sudah datang.

Kondisi badan Matshusita adalah sering sakit-sakitan akibat gizi kurang di masa kanak-kanak. Tambahan lagi, ia harus bekerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu selama 12 tahun merintis usahanya. Hanya semangat hiduplah yang membuatnya masih bisa bernafas.

Dengan punggung bersandr ke tembok rumah, Matsushita mendengarkan laporan tentang kondisi perekonomian yang terus memburuk, ketika managemennya datang menjenguk. Bagaimana tanggapan Matsushita terhadap laporan itu? Ia berkata, “Kurang produksi separonya. Tetapi jangan mem-PHK karyawan. Kita akan mengurangi produksi bukan dengan merumahkan pekerja, tetapi dengan meminta mereka untuk bekerja di pabrik hanya setengah hari.”

Pihak managemen agak kaget mengdengar tanggapan Matsushita. Lantas Matsushita melanjutkan kata-katanya, “Kita akan terus membayar upah seperti yang mereka terima sekarang. Tetapi kita akan menghapus semua hari libur. Kita akan meminta semua karyawan untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha menjual semua barang yang ada di gudang.”

Kebijakannya itu ia petik enam belas tahun kemudian. Waktu itu, Jepang sudah menyerah kalah. Jendral MacArthur menangkap semua pengusaha Jepang yang membantu pemerintah Jepang memprodukusi senjata dan logistik militer lainnya. Matsushita termasuk salah seorang pengusaha yang ditangkap. Namun berkat petisi sebanyak 15.000 pekerja bersama keluarganya untuk membela Matsushita, ia pun dibebaskan. Ia tidak jadi ditangkap dan diadili.

Sahabat, setiap perbuatan baik akan menghasilkan buah-buah yang baik pula bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak haus akan kekuasaan dan uang akan menuai kebaikan demi kebaikan dalam hidupnya. Apalagi kalau orang itu memperjuangkan kehidupan banyak orang. Ia pun akan diperjuangkan, ketika ia mengalami kesulitan dalam hidupnya.

Kisah Matsushita tadi memberi inspirasi bagi kita untuk senantisa melakukan hal-hal yang baik dan benar bagi kehidupan orang lain. Artinya, dengan melakukan hal-hal yang baik dan benar itu, orang akan menemukan hidup ini semakin memiliki makna. Orang tidak perlu mencari-cari makna hidup dalam benda-benda atau uang. Orang cukup melakukan perbuatan baik dengan mengorbankan hidupnya bagi sesama.

Sebagai orang beriman, kita diundang untuk senantiasa menemukan cara-cara untuk berbuat baik bagi sesama. Ada begitu banyak cara yang bisa kita temukan dalam hidup ini. Cara-cara itu akan memberikan peluang bagi kita untuk membahagiakan sesama kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi sesuatu yang berguna bagi banyak orang yang kita jumpai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

632

13 Maret 2011

Mewujudkan Iman dengan Berbuat Baik


Lindsay Lohan (23) adalah seorang bintang film yang sedang menanjak di Amerika Serikat. Awal Desember 2009 lalu ia berada di India untuk pengambilan gambar sebuah film dokumenter tentang perdagangan manusia. Ia bekerja bersama BBC. Kesibukannya yang luar biasa itu tidak membuat Lindsay buta matanya terhadap sesamanya. Bintang film Means Girls ini merencanakan perjalanan amal ke Guatemala setelah kembali dari India.

Tentang kunjungannya ke India, ia berkata, ”Sejauh ini sudah 40 anak yang berhasil diselamatkan. Inilah hidup sesungguhnya. Melakukan semua ini membuat hidup lebih berarti.”

Rupanya kerja amal itu tidak hanya membantu orang lain. Menurut Ibunya, Dina Lohan, kerja amal yang dilakukan Lindsay Lohan telah mengubah dirinya yang temperamental menjadi lebih rendah hati dan sensitif. Karena itu, setelah kunjungannya ke India, Lindsay akan berkunjung ke Guatemala untuk kembali melakukan kerja amal bersama stasiun televisi milik Oprah Winfrey.

Ibunya berkata, ”Lindsay akan kembali memberi. Kami sedang merencanakan perjalanan untuk membantu anak-anak di Guatemala yang akan difilmkan oleh jaringan TV milik Oprah.”

Sahabat, hidup itu semakin bermakna ketika orang berani melakukan sesuatu yang baik bagi sesamanya. Ketika berbuat sesuatu yang baik bagi sesamanya, sebenarnya orang melakukan hal yang indah bagi hidupnya sendiri. Lindsay Lohan telah membuktikannya. Pribadinya berubah menjadi lebih positif, karena kegiatan amal yang dilakukannya untuk sesamanya.

Melakukan sesuatu yang baik bagi sesama kita adalah panggilan kita sebagai orang beriman. Mengapa? Karena pada hakekatnya, orang beriman itu mesti melakukan yang baik bagi sesamanya. Itulah perwujudan iman orang beriman.

Orang beriman yang enggan melakukan perbuatan baik bagi sesamanya kehilangan jati dirinya sebagai orang beriman. Ia menjadi lemah dalam hidupnya, karena tidak mempraktekkan ajaran imannya. Ia menjadi orang yang seperti tong kosong nyaring bunyinya. Imannya tidak membuahkan hasil yang baik dan berguna bagi hidup manusia.

Karena itu, orang beriman mesti berani melakukan sesuatu yang baik bagi sesamanya. Orang beriman mesti berani keluar dari egoismenya untuk melakukan sesuatu yang lebih luas. Dengan demikian, orang tidak terkungkung dalam cinta diri yang berlebihan. Mari kita berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik dan berguna bagi sesama kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


631

09 Maret 2011

Membuka Diri untuk Bekerja Sama


Suatu hari seekor kelinci sedang duduk santai di tepi pantai. Tiba-tiba datang seekor rubah jantan besar yang hendak memangsa kelinci itu. Menyadari dirinya akan menjadi mangsa, kelinci berkata, ”Kalau memang kamu berani, ayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci. Yang kalah akan jadi santapan yang menang. Saya yakin, saya akan menang.”

Rubah jantan itu merasa tertantang. Lantas ia berkata, ”Di mana pun jadi. Masak kamu bisa menang melawan aku?”

Mereka pun masuk ke dalam sarang kelinci. Sepuluh menit kemudian, kelinci keluar sambil menggigit setangkai paha rubah. Ia melahapnya dengan nikmat. Kelinci itu kembali bersantai. Sambil memakai kaca mata hitam dan topi pantai, tiba-tiba ia disergap oleh seekor serigala yang besar. Namun ia dapat menghindar.

Lalu ia berkata, ”Kalau memang kamu berani, ayo kita berkelahi di dalam lubang kelinci. Yang kalah akan jadi santapan yang menang. Saya yakin, saya akan menang.”

Serigala besar itu merasa tertantang. Ia menerima tawaran kelinci. Serigala itu berkata, “Kamu pasti kalah. Kamu tidak terlatih untuk berkelahi dengan binatang buas seperti kami.”

Mereka pun melangkahkan kaki ke dalam sarang kelinci. Lima belas menit kemudian kelinci keluar sambil menggenggam setangkai paha serigala. Ia melahapnya dengan nikmat.

Senja hari pun tiba. Kelinci itu kemudian melongok ke dalam lubangnya. Sambil melambai, ia berkata, ”Hai keluar. Sudah sore. Besok kita teruskan.”

Dari dalam lubang itu keluarlah seekor harimau yang sangat besar badannya. Sambil menguap, harimau itu berkata, ”Kerja sama yang sukses hari ini. Kita makan kenyang. Saya tidak perlu berlari kencang untuk memangsa makanan.”

Sahabat, seorang pemenang selalu berpikir tentang cara-cara kerja sama yang baik untuk suatu pekerjaan. Kalau orang mau berhasil dalam usaha, orang tidak bisa bekerja sendirian. Orang mesti mau bekerja sama dengan sesamanya. Dengan demkian, hasil yang diperoleh menjadi maksimal. Orang akan mencari strategi-strategi yang baik untuk meraih sukses.

Sebaliknya, seseorang yang kalah biasanya berusaha sendiri. Kerja sama akan ia abaikan. Ia tidak peduli terhadap kebaikan orang lain. Yang ia inginkan adalah ia berjuang untuk meraih kesuksesan bagi kejayaan dirinya sendiri. Ia tidak bisa bekerja sebagai sebuah tim. Baginya, kerja sama hanyalah sebuah penghalang dalam meraih kejayaan itu. Namun sesungguhnya yang terjadi kemudian adalah kerja seorang pecundang itu selalu tidak maksimal. Hasil yang diraih hanyalah sebuah kenikmatan semu saja. Ia hanya memuaskan keinginannya sesaat saja.

Karena itu, yang mesti kita lakukan adalah kita berani membuka diri kita untuk mau bekerja sama dengan semua orang. Untuk itu, dibutuhkan kerendahan hati dalam diri kita. Orang yang sombong akan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Orang seperti ini sering menjadi pecundang. Sedangkan orang yang rendah hati akan sukses dalam hidupnya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

08 Maret 2011

Istirahat untuk Menemukan Semangat Baru


Kurang tidur bisa berakibat fatal, jika dibiarkan jadi kebiasaan. Remaja yang jumlah jam tidurnya sangat sedikit cenderung depresi bahkan punya pikiran ingin bunuh diri. Inilah hasil analisa terhadap 15.000 partisipan dan orang tua di Amerika Serikat.

Peneliti menemukan setengah remaja atau orang dewasa tidur di atas jam 10 malam. Bahkan tiga perempatnya dibiarkan tidur di atas tengah malam. Dalam Journal Sleep disebutkan bahwa hampir 24 persen remaja yang kurang tidur mengalami depresi dan seperlimanya punya pikiran untuk bunuh diri.

James Gangwisch dari Columbia University berkata, ”Hasil studi ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa kurang tidur merupakan faktor pemicu depresi. Padahal kualitas tidur yang cukup bisa mencegah dari berbagai penyakit.”

Menurut Gangwisch, kecukupan tidur akan mempengaruhi bagaimana otak merespons sesuatu dan menangani stress. Kurang tidur juga akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan tingkat konsentrasi. Studi yang dirilis oleh American Academy of Sleep Medicine menyarankan, agar remaja tidur sebanyak 8 jam setiap malamnya.

Gangwisch berkata, ”Masalahnya adalah lingkungan saat ini sudah berubah. Remaja sekarang lebih banyak terpapar lampu terang, play station, TV dan komputer yang membuat produksi hormon melatonin (hormon ngantuk yang muncul saat gelap) terhenti dan akibatnya seseorang akan lebih susah tidur. Belum lagi dengan aktivitas menelepon dan SMS-an yang sering dilakukan remaja sampai larut malam.”

Sahabat, sudah cukupkah tidur Anda? Tidur merupakan bagian yang tidak boleh dpisahkan dari hidup manusia. Sekuat-kuatnya seseorang, orang tetap membutuhkan saat untuk beristirahat. Orang mesti berani mengambil waktu untuk mengistirahatkan raganya yang capek. Orang tidak boleh membiarkan tubuhnya yang capek itu terus larut dalam kelelahan. Itu namanya penyiksaan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang yang menyepelekan tidur. Tujuannya adalah agar orang dapat meraih hasil kerja yang maksimal. Orang berani mengorbankan waktu istirahatnya untuk tujuan ini. Tentu saja hal ini berbahaya bagi hidup seseorang. Akibatnya akan fatal bagi kelanjutan hidup. Mengapa? Karena tubuh yang lemas menyebabkan orang tidak bisa terus-menerus bertahan dalam kegiatan-kegiatan hariannya. Kondisi tubuh yang lemah juga memudahkan berbagai penyakit datang bersarang di dalam tubuh seseorang.

Hasil penelitian tadi merupakan salah satu efek dari kurangnya waktu istirahat bagi tubuh kita. Karena itu, orang mesti menyadari sungguh-sungguh bahwa tubuh manusia membutuhkan waktu untuk istirahat. Istirahat berarti orang mau menimba kekuatan baru bagi hidupnya. Orang menemukan kembali semangat yang hilang oleh kegiatan-kegiatannya sepanjang hari.

Mari kita mengambil waktu untuk istirahat untuk memulihkan kembali jiwa dan raga kita. Dengan demikian, kita memiliki semangat dan kekuatan baru untuk memulai hari yang baru. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


627

06 Maret 2011

Cinta Yang Sejati Itu Memberi Hidup

Sudah bertahun-tahun seorang gadis jatuh hati terhadap seorang pemuda di kampungnya. Namun tampaknya ia hanya bertepuk sebelah tangan. Pemuda itu tidak menanggapi cinta gadis itu. Hal itu membuat gadis itu patah semangat.

Setiap kali ada pemuda lain yang mendekatinya, ia selalu menolak. Ia berkata kepada mereka, “Saya sudah ada yang punya.”

Padahal ia masih tetap menaruh hati pada pemuda yang tidak mencintainya itu. Ia masih tetap mencintai pemuda itu bahkan pemuda itu telah menikahi seorang gadis dari kampung yang lain. Tentang hal ini ia berkata, “Saya memiliki cinta yang sejati yang tidak akan padam. Cinta yang sejati tidak akan berhenti saat menghadapi rintangan demi rintangan.”

Namun suatu hari gadis itu pun sadar bahwa ia tidak bisa mencintai orang yang tidak mencintainya. Cinta yang ia miliki itu hanyalah cinta semu. Sebuah cinta yang tidak berbuah apa-apa, karena orang yang dia cintai itu sama sekali tidak mencintainya. Kesadaran itu membuat ia membuka hatinya untuk cinta seorang pemuda dari kampung tetangganya. Cinta mereka saling bersahut-sahutan. Mereka merajut cinta itu. Ternyata itulah cinta sejati yang dia miliki.

Ia pun mengalami sukacita dan damai dalam hidupnya. Ia pun boleh mengekspresikan daya cinta yang dimilikinya untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia. Anak-anak yang lahir dari perkawinannya itu merupakan buah dari cinta yang sejati itu.

Sahabat, banyak orang merasa bahwa mereka memiliki cinta yang sejati dalam hidup ini. Banyak orang bertindak seolah-olah cinta yang mereka berikan itu cinta yang tulus dan murni. Namun kalau orang sungguh-sungguh menukik ke dalam batinnya, orang akan menemukan bahwa sebenarnya cinta mereka hanyalah semu. Cinta yang tidak berbuah, karena lengketnya egoisme dalam cinta itu.

Orang mencintai sesamanya untuk memilikinya. Bukan demi kebahagiaan orang yang dicintainya itu. Atau ada orang yang merasa putus asa dalam hidupnya, karena cintanya tidak bergema. Ia berkata, “Saya tidak menemukan cinta dalam hidup ini. Untuk apa saya hidup, kalau tidak ada cinta?”

Karena itu, orang yang memiliki cinta yang sejati itu tidak mengunci cinta dalam hidupnya. Cara tercepat untuk mendapatkan cinta adalah dengan memberinya. Sebaliknya, cara tercepat untuk kehilangan cinta adalah dengan menggenggamnya seerat-eratnya untuk diri sendiri. Orang yang mencintai itu orang yang berani berkorban bagi sesamanya. Orang yang berani membuka hidupnya untuk sesamanya.

Sebagai orang beriman, kita mesti berani membuka hati kita untuk sesama kita. Artinya, kita mau memberikan hidup kita untuk digunakan oleh orang lain. Kita tidak ingin hidup ini menjadi milik kita sendiri. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk bersukacita, karena kita memiliki cinta yang sejati. Hidup ini memiliki makna yang mendalam bagi sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


626



Juga dapat dibaca di:

http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/

http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=85079&page=100

http://www.facebook.com/katolik.webgaul.net

05 Maret 2011

Senantiasa Berharap pada Penyelenggaraan Tuhan


Suatu hari seorang anak menangis tersedu-sedu di hadapan ibunya. Pasalanya, setelah menerima rapor kenaikan kelas, nilainya pas-pasan. Padahal ia sudah berjuang mati-matian. Selama sebulan penuh ia menyiapkan diri untuk menghadapi ulangan kenaikan kelas. Ia sudah mengorbankan begitu banyak waktu hanya untuk ulangan itu. Namun nilai-nilai yang diperolehnya tidak memuaskan dirinya. Sedangkan seorang temannya yang dianggap malas belajar ternyata naik kelas dengan nilai-nilai yang lebih baik. Ia marah terhadap dirinya sendiri. Ia tidak menerima keadaan dirinya.

Sang ibu memandang anaknya dengan seutas senyum pengharapan. Ia tidak ingin anaknya terpuruk dalam keputusasaan. Ia ingin agar anaknya bangkit. Ia berkata, ”Nak, janganlah kamu kecewa. Masih ada hal-hal indah yang bisa kita gunakan untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Yang penting kamu lulus. Tidak usah terlalu kecewa. Tahun ajaran yang baru, kamu harus lebih baik lagi.”

Anak itu menjadi sadar bahwa hidup ini mesti terus berjalan. Hidup ini belum berakhir. Besok masih ada kesempatan untuk memperbaiki hidup. Karena itu, ia berjanji kepada ibunya untuk terus berjuang. Ia ingin sukses dalam hidupnya. Ia ingin membahagiakan dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Karena itu, sejak awal tahun pelajaran ia sudah menyusun kiat-kiat lengkap dengan strategi untuk meraih keberhasilan. Ia berusaha untuk sabar dan tekun belajar. Ia tidak ingin diganggu oleh berbagai hal yang tidak mendukung keinginan dirinya. Di akhir semester, ia meraih nilai-nilai tertinggi di kelasnya. Ia menjadi juara satu. Suatu usaha yang luar biasa telah ia torehkan dalam hidupnya.

Sahabat, kadang-kadang manusia itu mudah putus asa. Sedikit saja tantangan yang menghampirinya orang sudah menyerah. Orang tidak mau mencari cara-cara atau jalan-jalan untuk mengatasi tantangan-tantangan itu. Tentu saja sikap seperti ini bukan sikap orang beriman yang sejati. Orang yang percaya kepada Tuhan itu orang yang yakin bahwa masih ada cara-cara untuk mengatasi kesulitan hidup.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa meski hidup ini penuh dengan tantangan, orang tidak boleh menyerah. Menyerah kalah sebelum berperang menunjukkan sikap kecut hati. Orang yang besar itu orang yang berani melintasi tantangan-tantangan hidup. Orang yang tidak takut terhadap setiap bentuk tantangan yang akan menghadangnya.

Untuk itu, orang mesti memiliki iman yang besar kepada Tuhan. Orang mesti percaya bahwa di ujung jalan yang gelap itu masih ada Tuhan yang menanti kedatangannya. Di atas jalan yang licin dan berbatu-batu itu masih ada Tuhan yang akan membimbing orang untuk sampai pada tujuan hidupnya. Di atas titian jembatan yang goncang dan rapuh itu masih ada Tuhan yang senantiasa memberi semangat untuk terus maju dan berjuang.

Orang beriman itu orang yang senantiasa mempercayakan dirinya pada kasih karunia Tuhan. Mari kita membiarkan diri kita dikuasai oleh kasih karunia Tuhan. Dengan demikian, kita dapat senantiasa bangkit dari keterpurukan kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ
Rata Penuh

Juga dapat dibaca di:
http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com/
http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=85079&page=99
http://www.facebook.com/katolik.webgaul.net

03 Maret 2011

Menebar Kebaikan bagi Sesama

Pada akhir tahun 2009 lalu pasangan Hollywood, Angelina Jolie (34) dan Brad Pitt (46), atau dikenal sebagai Brangelina, terus membuktikan diri untuk bisa memberikan yang terbaik bagi sesama. Untuk merayakan Natal waktu itu, mereka bukan membuat pesta besar-besaran. Tetapi mereka menebar kebaikan dengan memberikan sumbangan untuk anak-anak.

Sumbangan yang mereka berikan itu bukan main-main. Mereka memberi sumbangan sebesar 100.000 dollar AS. Dengan ini, Jolie dan Pitt menutup tahun 2009 sebagai tahun memberi. Mereka secara internasional memang dikenal sebagai pasangan yang rajin menyumbang untuk anak-anak yatim piatu. Kegiatan mereka menjadi inspirasi pasangan lain untuk turut memberikan donasi.

Sumbangan itu diberikan kepada organisasi nonpemerintah internasional bernama SOS Children’s Villages untuk program di dua tempat, yaitu Florida dan Illinois, AS. Dana itu diharapkan mampu membuat anak-anak tidak merasa terabaikan dan tetap menjaga keutuhan keluarga masing-masing.

Angelina Jolie berkata, ”Di liburan panjang ini banyak di antara kita yang sejak dari lahir sudah dipenuhi dengan cinta dari anggota keluarga. Namun, kondisi yang buruk masih menimpa orang-orang tak beruntung, ini memberikan indikasi bahwa kita harus masih berbuat banyak untuk membantu mereka.”

Sahabat, tentu saja apa yang dibuat oleh dua bintang film itu bukan hanya pamer kekayaan. Mereka ingin sungguh-sungguh peduli terhadap sesamanya yang berkekuraangan. Mereka ingin agar anak-anak yang terlantar dapat mengalami sukacita dan damai karena perhatian dari sesamanya.

Tentu saja menebar kebaikan seperti yang dilakukan oleh Angelina dan Bret Pitt ini dapat dilakukan oleh semua orang. Kita tidak butuh banyak uang dulu baru bisa menebar kebaikan kepada sesama kita. Kita bisa mulai dari apa yang ada pada diri kita. Mungkin kita tidak punya kekayaan untuk berbuat baik kepada sesama kita. Kita bisa gunakan keterlibatan kita pada organisasi-organisasi sosial yang memberikan bantuan bagi sesama. Kita bisa bantu tenaga kita untuk memperlancar kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga sosial tersebut.

Dengan cara ini, kita pun tetap menebar kebaikan kepada sesama di sekitar kita. Ada begitu banyak orang yang belum beruntung di sekitar kita. Mereka butuh sapaan dari kita. Mereka butuh ketenteraman hati dalam hidup. Ini menjadi tugas kita semua yang mengaku sebagai orang beriman.

Orang beriman itu mau peduli terhadap sesamanya yang malang. Mari kita singsingkan lengan baju kita membantu sesama yang masih berkekurangan. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ


624