Pages

23 Desember 2011

Menumbuhkan Kesabaran dan Kegigihan


Apa modal Anda untuk sukses dalam hidup ini? Harta yang melimpah? Kepandaian otak yang Anda miliki?

Ada seorang yang cacat. Tangan kanannya tidak bisa ia gerakan sejak ia lahir. Kaki kanannya pun pincang. Namun pria ini sangat aktif dengan menggunakan tangan kirinya. Ia belajar bersama anak-anak normal di sekolah. Segala pekerjaan ia lakukan dengan tangan kirinya. Ia tidak minder. Ia melakukan semua pekerjaan rumah dengan baik dan benar. Di sekolah, ia bukan anak yang bodoh. Otaknya encer. Ia sering menduduki rangking pertama dalam kelasnya.

Setelah menyelesaikan semua pendidikan dasar, ia meneruskan ke perguruan tinggi. Di sana ia juga tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Ia lulus dengan pujian. Bukan hanya soal teori. Tetapi ia juga pandai dalam mempraktekkan ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah.

Dengan modal sarjana, ia melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang menjual sabun terkenal. Ia melamar menjadi salesman. Namun kemampuannya diragukan oleh pimpinan perusahaan itu. Awalnya ia diberi pekerjaan di bagian administrasi. Namun lama-kelamaan ia merasa jenuh. Ia merasa bahwa kemampuannya menjadi lebih baik, kalau ia menekuni bagian penjualan.

Setelah mengajukan diri untuk menjadi salesman, ia diterima. Ia mulai berjuang dari rumah ke rumah untuk menjual produk dari perusahaan sabun itu. Dengan kakinya yang timpang dan tangan kanan yang tidak bisa digerakkan, ia berhasil membujuk para pembeli. Ia berhasil. Dua kata yang selalu ia pegang teguh dari sang ibu adalah kesabaran dan kegigihan. Tahun itu, ia menjadi penjual terbaik yang memasarkan produk sabun. Ia mendapat hadiah dari perusahaan.

Sahabat, sering orang lupa bahwa dalam hidup ini orang membutuhkan kesabaran dan kegigihan. Orang mudah meninggalkan pekerjaannya, ketika ada tantangan dan rintangan. Orang merasa dirinya tidak mampu menghadapi rintangan itu. Orang lebih mudah mencari hal-hal yang gampang untuk dikerjakan. Apalagi kalau hal itu mendatangkan banyak uang.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dalam hidup ini yang kita butuhkan adalah kesabaran dan kegigihan. Meski tubuhnya tidak normal seperti umumnya orang-orang, namun pria itu yakin ia bisa menjalani hidup ini dengan baik. Karena itu, ia mengembangkan kesabaran dan kegigihan. Ia yakin, dua kata ini mampu memberi motivasi bagi dirinya untuk sukses.

Orang beriman mesti memiliki kesabaran dan kegigihan dalam hidupnya. Hanya dengan cara ini, orang mampu menjalani hidup ini dengan baik dan benar. Berbagai godaan sering menjerumuskan manusia pada sikap gegabah dalam hidupnya. Orang tergoda untuk tidak sabar. Orang tergoda untuk cepat-cepat meraih sukses dalam waktu singkat. Akibatnya, banyak hal negatif yang mereka alami dalam hidup ini.

Mari kita tumbuhkan kesabaran dalam hidup kita. Kita bercermin dari Tuhan yang sabar terhadap kita. Kalau kita melihat diri kita yang penuh dengan kelemahan dan dosa ini, kita mesti sadar bahwa Tuhan begitu sabar menantikan kita untuk bertobat. Tuhan ingin kita kembali ke jalan yang benar dengan mengembangkan semangat sabar dan gigih. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



848

22 Desember 2011

Kesabaran dalam menyelesaikan masalah



Anda punya masalah dalam hidup Anda? Mengapa Anda dikuasai oleh masalah-masalah? Tentu saja banyak hal yang menyebabkan Anda dikuasai oleh masalah-masalah. Anda tidak ingin membiarkan masalah-masalah itu hadir dalam diri Anda.

Seorang mantan pengguna narkoba bercerita bahwa awalnya ia menggunakan narkoba, karena mengalami sulit tidur. Ia sudah berusaha untuk tidur, tetapi rupanya matanya sulit sekali diajak untuk menutup. Berbagai cara sudah ia coba untuk dapat membantu dirinya dapat memejamkan mata.

Awalnya, ia membaca buku-buku dari yang ringan sampai yang berat. Namun ia gagal. Ia tetap saja tidak bisa tertidur pulas. Lantas ia minum obat tidur setiap kali mau tidur. Namun cara ini pun tidak membantunya untuk menikmati tidur yang nyenyak. Hari-hari ia lalui dengan kepenatan. Kadang-kadang ia frustrasi. Ia sulit menjalani hidup dengan normal.

Akhirnya, seorang temannya menawarinya menggunakan narkoba. Merasa baik untuk dirinya, ia pun mulai mencoba sedikit demi sedikit. Awalnya, ia merasa enak dan menyenangkan. Ia dapat tidur dengan nyenyak. Ia pun meneruskan cara ini untuk mengatasi kesulitan tidurnya.

Namun lama-kelamaan ia ketagihan. Ia tidak bisa melepaskan diri dari narkoba lagi. Setiap kali mau tidur, ia gunakan narkoba. Ketergantungannya semakin besar, sementara kesehatan tubuhnya semakin menurun. Memorinya mulai berkurang. Akibatnya, ia menjadi orang yang linglung. Syukurlah, suatu hari ia bisa melepaskan diri dari cengkeraman narkoba. Ia meninggalkan diri dari narkoba. Ia menjalani masa rehabilitasi dari ketergantungan narkoba. Kini ia bisa tidur nyenyak tanpa narkoba.

Sahabat, begitu banyak orang kurang sabar menghadapi persoalan hidup mereka. Mereka ingin cepat lepas dari persoalan-persoalan hidup. Karena itu, mereka ambil jalan pintas. Mereka tidak peduli jalan pintas itu justru memerosokkan diri mereka ke dalam kegelapan hidup.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa butuh waktu untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup kita. Jalan pintas merupakan suatu usaha yang merugikan diri kita sendiri. Jalan pintas yang diambil biasanya tanpa melalui suatu pemikiran yang matang. Akibatnya, kita mesti membayarnya dengan lebih mahal.

Orang beriman mesti memiliki pemikiran yang luas dan dalam saat menghadapi suatu persoalan dalam hidupnya. Artinya, ada berbagai pertimbangan yang mesti dibuat. Ada berbagai dimensi yang mesti didekati, agar kita tidak terjerumus pada hal-hal yang berakibat buruk bagi hidup kita.

Dosa atau kekeliruan yang kita buat sering menimbulkan akibat negatif bagi hidup kita. Karena itu, orang beriman mesti merumuskan tujuan hidupnya dengan baik dan benar. Orang mesti berpegang teguh pada rumusan tujuan hidup itu. Konsistensi sangat diperlukan dalam hal ini. Suatu sikap yang konsisten akan membantu manusia dalam meraih kebaikan dalam hidupnya. Orang tidak perlu dikejar-kejar oleh hal-hal negatif yang menguasai dirinya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



847

20 Desember 2011

Mengambil Waktu untuk Hening

Apa yang Anda lakukan saat Anda mengalami bahwa hidup ini begitu bising? Ada berbagai hal yang mengganggu pikiran Anda. Tentu saja ada banyak cara yang akan Anda lakukan. Salah satunya adalah menenangkan diri untuk mendengarkan sabda Tuhan.

Ada seorang gadis yang sulit sekali diam. Ia selalu punya kegiatan yang membuat ia tenggelam dalam kesibukan-kesibukan. Ia merasa dengan cara menyibukkan diri, ia dapat berbuat baik sebanyak-banyaknya bagi diri dan sesama. Akibatnya, ia sering tidak fokus pada apa yang dilakukannya. Berbagai kegiatan itu membuat ia bekerja serabutan.
Rata Penuh
Suatu hari, gadis itu merasa bosan dengan apa yang ia lakukan. Ia mengambil waktu luang beberapa hari untuk merefleksikan apa yang telah diperbuatnya. Ia pergi ke tempat yang sunyi. Di sana ia mampu menemukan kembali makna hidupnya. ia merasa bersyukur atas kesempatan itu.

Pulang ke rumahnya, ia mulai memilah-milah semua yang dikerjakan selama ini. Ia mulai membatasi diri. Hasilnya, ia dapat fokus pada hal-hal utama yang menjadi pekerjaannya. Ia menjadi orang yang semakin dewasa dalam hidup hariannya. Semakin banyak hal baik justru dapat ia buat bagi diri dan sesamanya.

“Andaikan saya hanya sibuk dengan berbagai pekerjaan, saya tidak akan bertumbuh menjadi lebih baik. Saya bersyukur, saya punya waktu untuk merefleksikan diri saya dan apa yang saya lakukan. Ternyata hidup ini indah, kalau kita bisa fokus pada apa yang kita buat. Saya dapat mempunyai kesempatan untuk memperhatikan orang-orang di sekitar saya,” kata gadis itu.

Sahabat, sering banyak orang resah ketika tidak punya banyak pekerjaan. Mereka merasa bahwa hidup ini semakin menjadi bermakna, ketika mereka bisa buat banyak hal untuk diri dan orang lain. Karena itu, mereka belum puas kalau belum melakukan hal-hal yang bermakna dalam hidupnya.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa ada begitu banyak kesempatan yang bisa kita buat untuk hidup kita. Namun kita tidak boleh membombardir diri kita dengan berbagai kegiatan. Kita mesti memilah-milah, mana hal-hal yang sungguh-sungguh urgen untuk kebaikan diri kita. Memilah berarti kita mau fokus pada apa yang sedang kita lakukan. Kita tidak mudah meninggalkan pekerjaan itu.

Namun kita juga mesti menyadari bahwa kita butuh waktu untuk merefleksikan apa yang telah dan sedang kita lakukan. Dengan berefleksi, kita mampu menimba kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan itu. Atau kesempatan refleksi membantu kita untuk semakin sungguh-sungguh melakukan sesuatu bagi hidup kita dan sesama.

Banyak orang merasa sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan mereka. Mereka lupa bahwa salah satu kekuatan dalam meraih kesuksesan hidup adalah refleksi. Untuk itu, orang mesti mengambil saat hening untuk berefleksi, sehingga menemukan kembali makna hidupnya. Dengan demikian, hidup ini tidak hanya berjalan begitu saja seperti air yang mengalir. Hidup ini tidak membosankan. Hidup ini memiliki arah dan tujuan yang jelas. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ


846

Kita Butuh Orang Lain

Anda ingin hidup Anda lebih baik dan bermanfaat bagi sesama? Tentu saja Anda mesti terbuka terhadap sesama yang ada di sekitar Anda. Anda bukanlah makhluk super yang bisa melakukan apa saja tanpa bantuan sesama Anda. Anda butuh bantuan orang lain.

Ada seorang pemuda yang merasa dirinya sudah mampu melakukan apa saja. Orang-orang yang ada di sekitarnya dianggapnya sebagai pengganggu kehidupan dan pekerjaannya. Karena itu, ia marah kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang keahlian yang dimilikinya. Ia tidak mau mereka meniru apa yang dibuatnya.

Suatu hari pemuda ini memutuskan untuk mengisolasi diri. Di depan kamarnya ia menulis dengan tulisan yang sangat jelas, “Dilarang masuk, ada anjing galak.” Ia merasa dengan cara itu, ia dapat menemukan ketenangan hidup. Dengan cara itu, ia dapat melakukan pekerjaan-pekerjaannya dengan baik dan benar.

Berbulan-bulan pemuda ini mengisolasi dirinya. Bahkan kedua orangtuanya pun dilarang untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia merasa sukses melakukan pekerjaannya itu. Namun setelah membuka pintu kamarnya, ternyata pemuda itu salah. Isolasi itu bukannya menguntungkan dirinya, melainkan merugikan dirinya. Apa yang dia lakukan tidak sehebat orang lain lakukan. Mengapa? Karena ia tidak bisa belajar dari orang lain. Di saat ia mengalami kesulitan, tidak ada orang yang mampu membantunya. Ia menjadi stress. Ia tidak berhasil dengan cita-citanya meraih sukses yang gemilang.

Sahabat Sonora, kita hidup bersama orang lain. Kita tidak hidup sendirian. Kita selalu bersentuhan dengan sesama di sekitar kita. Sering hal ini kurang kita sadari dalam perjalanan hidup ini. Kita merasa kalau kita berjuang sendirian, kita akan berhasil dengan gilang-gemilang. Padahal kita mesti juga belajar dari sesama yang ada di sekitar kita.

Kisah di atas menjadi salah satu contoh betapa kesendirian tidak mampu membawa kesuksesan dalam hidup kita. Kesendirian lebih banyak mendatangkan kerugian bagi diri kita sendiri. Kesendirian hanya mendatangkan malapetaka bagi diri kita. Kita menjadi orang yang kerdil dalam pengetahuan dan pergaulan kita.

Yang mesti disadari oleh orang beriman adalah kita manusia sosial. Kita bisa hidup dengan damai dan tenang berkat relasi yang kita bangun dengan sesama kita. Kita dapat belajar banyak hal dari orang-orang di sekitar kita. Keterbatasan kita dapat diperkaya oleh sesama kita. Keterbatasan kita menjadi kesempatan untuk membuka hati kita kepada bantuan sesama.

Kesadaran yang lebih besar mesti ditumbuhkan adalah kita adalah bagian dari masyarakat. Kita ikut terlibat dalam kesulitan, masalah dan pengharapan yang dialami oleh masyarakat di mana kita hidup. Untuk itu, kepedulian terhadap sesama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kita. Kita peduli terhadap dukacita sesama kita. Kita berani mengulurkan tangan kita untuk sesama kita.

Memang, dosa sering mempengaruhi hidup kita untuk menutup diri terhadap sesama. Dosa menumbuhkan egoisme dan cinta diri yang berlebihan. Karena itu, yang mesti kita tumbuhkan adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dosa itu. Mengapa? Karena dosa sering menjerumuskan hidup kita ke lembah kekelaman. Dosa membuat kita sombong dan merasa hanya diri kita sendiri yang dapat melakukan segala hal. Orang lain tidak bisa melakukan seperti yang kita lakukan.

Mari kita lepaskan diri dari kecenderungan untuk mengisolasi diri. Kita bangun kebersamaan dalam hidup. Dengan demikian, kita dapat berbagi kehidupan kita dengan sesama. Kasih dan kerendahan hati menjadi hal-hal yang kita dahulukan dalam perjalanan hidup kita. Tuhan memberkati.**



Frans de Sales, SCJ


845

17 Desember 2011

Belajar dari Kegagalan untuk Meraih Sukses

Anda pernah gagal dalam hidup ini? Rasanya kita semua pernah gagal dalam hidup ini. Soalnya, bagaimana Anda menyikapi kegagalan itu? Apakah Anda terpuruk dan jatuh? Atau justru kegagalan itu menjadi alat pemacu untuk meraih kesuksesan dalam hidup?

Penyelenggaraan Piala Dunia 2010 lalu berakhir dengan gemilang. Spanyol menjadi kampiun alias juara dunia. Trofi piala dunia pun menjadi milik tim matador itu. Mereka akan mempertahankannya dua tahun mendatang di Brasil. Banyak hal yang dapat diambil hikmahnya dari ajang sepakbola sejagat itu.

Salah satu hal yang dapat diambil hikmahnya adalah kegagalan dari tim tuan rumah, Afrika Selatan. Sebagai tuan rumah, Afrika Selatan diharapkan berkiprah hingga babak final. Sayang, tim berjuluk Bafana Bafana ini hanya sampai di babak 16 besar. Mimpi mereka untuk mengangkat trofi kemenangan digagalkan oleh tim yang lebih kuat.

Meski pada pertandingan terakhir tim Afrika Selatan mengalahkan mantan juara dunia, yaitu Prancis, mereka kalah selisih gol dari tim Mexico. Untuk hal ini, sang pelatih yaitu Carlos Alberto Pareira merasa timnya tidak gagal. Justru ia melihat hal ini sebagai suatu kemajuan besar sepakbola Afrika.

“Kami kecewa karena tidak lolos, tapi saya tidak melihatnya sebagai sebuah kegagalan. Apalagi kami telah mengalahkan mantan juara dunia dan juara Eropa,” kata Carlos A Pareira.

Sahabat, dalam hidup ini kita memiliki banyak target pribadi. Kita telah punya bidikan-bidikan yang mau kita raih. Namun kadang-kadang bidakan kita itu meleset. Ada banyak hal menyebabkannya. Misalnya, kita lengah dalam menjaga sasaran bidik kita. Semestinya kita bidik dengan fokus yang tepat. Namun karena berbagai persoalan yang kita hadapi lalu bidikan kita nyasar.

Kita tentu punya rasa percaya diri yang tinggi untuk meraih target-target yang telah kita buat. Namun tidak selamanya kita berhasil. Ada yang kemudian merasa kegagalan dirinya sebagai sesuatu yang membawa kegelapan dalam hidupnya. Orang seperti ini kemudian meratapi dirinya. Orang seperti ini tidak mau menerima kenyataan dirinya. Lantas putus asa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dirinya.

Kisah kegagalan tim sepakbola Afrika Selatan tadi memberi inspirasi bagi kita untuk melihat kegagalan sebagai suatu kesempatann untuk belajar. Kita belajar membuat strategi-strategi baru untuk mengatasi kesalahan dan kekeliruan yang telah kita buat. Kita merintis kembali hal-hal yang baru untuk meraih kesuksesan dalam hidup.

Kata orang, kegagalan adalah guru yang paling baik. Soalnya adalah sering orang memandang kegagalan sebagai batu sandungan dalam hidupnya. Orang tidak mau belajar dari kegagalan itu. Kegagalan menjadi kesempatan untuk mengintrospeksi diri. Kita belajar bersyukur atas segala kebaikan yang sudah kita terima dari Tuhan.

Karena itu, orang beriman mesti memiliki kesabaran dalam hidupnya. Dengan kesabaran itu, orang beriman akan menemukan bahwa hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk melakukan hal-hal baik bagi Tuhan dan sesama.

Orang yang berhasil itu bukan orang yang targetnya tidak pernah meleset. Namun orang yang berhasil itu orang yang tidak pernah putus asa dalam menghadapi berbagai rintangan dalam hidupnya. “Tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali” (Amsal 24:16). Artinya, orang seperti ini tidak pernah putus harapan. Ia akan terus menjalani hidupnya meski banyak tantangan dan rintangan. Mari kita berusaha melihat kegagalan dalam hidup kita sebagai kesempatan untuk melakukan hal-hal spektakuler dalam hidup. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


844

15 Desember 2011

Membesarkan Hal-hal Baik dalam Diri Kita


Apa yang membuat Anda sakit hati? Apa yang membuat batin Anda terluka? Tentu saja ada banyak hal yang menyebabkannya. Namun hal-hal itu semestinya tidak menyebabkan hati kita terluka. Mengapa? Karena sebenarnya di dalam diri kita ada begitu banyak hal baik yang mesti kita tumbuhkan.

Ada seorang gadis mengalami kegoncangan jiwa. Pasalnya, saat ia menikah ia baru tahu bahwa ia bukanlah anak kandung dari kakek-neneknya yang selama ini ia kagumi. Ternyata ia adalah anak angkat mereka. Ia baru mengetahui statusnya saat berusia 21 tahun. Saat itu, ia hendak melangsungkan pernikahannya.

“Saya adalah anak sulung dari lima bersaudara kandung. Saat saya dilahirkan, orangtua saya belum menikah. Untuk menutupi rasa malu, saya diadopsi oleh kakek-nenek dari pihak ibu. Akibatnya, sejak saya lahir saya masuk daftar keluarga kakek. Saya menjadi anak bungsu dari tujuh bersaudara,” katanya.

Ia menikah pada usia 25 tahun. Pernikahan yang seharusnya penuh sukacita, namun justru sebaliknya. Saat perkawinan, dibacakan bahwa ia adalah anak yatim piatu. Sementara di sebelahnya duduk kedua orangtua kandungnya.

“Air mata saya mengalir. Ingin rasanya saya berteriak. Saya ingin mengatakan kepada semua orang, “Saya masih punya orangtua yang hidup! Dan mereka ada di sini!” kata perempuan itu.

Sangat menyakitkan ketika ia tahu bahwa ia tidak diakui sebagai anak kandung secara hukum. Ia hanya diakui secara biologis saja. Menikah dalam kondisi emosi yang masih labil sangat mempengaruhi hidup suami-istri. Ia menjadi orang yang sangat emosional dan sensitif.

“Saya mudah terluka. Saya bersyukur mempunyai suami yang sangat sabar dan mengerti serta memahami sikap saya. Suami saya memberi saya waktu untuk mengolah pengalaman luka batin saya. Saya diberi waktu untuk berubah menjadi baik, menjadi istri yang baik dan sabar,” kata perempuan.

Sahabat, ketika ada pengalaman pahit dalam hidup, kita sering menonjolkan pengalaman pahit itu. Kita lupa bahwa ada hal-hal yang manis dalam hidup ini. Sering hal-hal manis itu lebih banyak kita alami dalam hidup ini. Kita lebih mendahulukan hal-hal yang pahit. Seolah-olah hal-hal pahit itu yang utama dalam hidup kita.

Kisah tadi mengajak kita untuk melihat hidup ini dari segi positif. Meski ada duka lara yang kita miliki, tetapi yakinlah hal itu hanya sebentar saja. Dukacita membantu kita untuk memetik nilai-nilai kebaikan dalam hidup kita. Perempuan dalam kisah di atas tidak terlalu lama terpuruk dalam luka batinnya. Ia cepat bangkit dari kenyataan diri yang ditolak itu. Ia yakin, dengan cara itu ia mampu menjadi seorang yang lebih baik.

Apa yang mesti kita buat saat kita menghadapi masa-masa pahit yang menyebabkan luka batin menganga? Yang perlu kita lakukan adalah kita butuh kesabaran dalam mengendalikan emosi kita. Kita tidak perlu marah atau emosi saat menghadapi situasi seperti ini. Dengan demikian, kita lebih memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang baik dalam hidup ini. Kita mesti ingat bahwa ada begitu banyak hal baik yang ada dalam diri kita. Kita tumbuhkan hal-hal baik itu. Kita besarkan hal-hal yang baik itu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


843

13 Desember 2011

Menumbuhkan Kualitas melalui Ketekunan

Sebelum tahun 2007, hanya sedikit orang yang mengenal Jon Favreau. Walaupun memiliki keahlian dalam menulis pidato semasa kuliah di College of Holy Cross di Massachusetts, Amerika Serikat, namanya justru meroket ketika ia masuk sebagai tim kampanye Barack Obama. Ia menjadi ketua tim perumus pidato-pidato Barack Obama. Usianya yang masih sekitar 20-an tahun ketika itu membawa Favs tercatat dalam sejarah Amerika Serikat sebagai penulis pidato pelantikan presiden AS termuda.

Jon Favreau menghabiskan waktu selama dua bulan, 16 jam sehari, untuk menyusun dan merangkai kata-kata pidato Obama. Tidaklah mengherankan apabila sang Presiden selalu memukau pada setiap penampilannya di hadapan jutaan bahkan ratusan juta rakyatnya. Semua tak lain dan tak bukan berkat buah kejeniusan anak muda ini.

Tentu saja pencapaian seperti ini tidak diraih Jon Favreau begitu saja. Ia mesti bekerja keras. Ia mesti mengorbankan saat-saat senggang untuk bersantai ria dengan sahabat-sahabatnya. Ia mengaku, banyak waktu istirahatnya ia gunakan untuk merancang pidato-pidato bagi presiden Amerika Serikat itu.

Sahabat, kualitas karya seseorang tidak dicapai dalam waktu yang singkat. Orang juga tidak melewatinya dengan santai-santai saja. Tetapi suatu kualitas karya diraih dengan banyak korban. Korban itu bisa waktu. Korban itu bisa tenaga yang begitu banyak dicurahkan untuk suatu karya yang spektakuler.

Untuk meraih kualitas yang baik dalam suatu karya orang membutuhkan ketekunan. Orang juga perlu kesabaran dalam membangun kualitas karya. Kalau orang tidak sabar, orang akan mudah putus asa saat menghadapi benturan demi benturan. Kalau orang tidak tekun, orang akan lari dari satu karya ke karya yang lain saat menghadapi tantangan dan rintangan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa kita punya kesempatan yang sama untuk meraih kualitas karya-karya kita. Yang penting adalah kita tekun dan sabar dalam usaha-usaha kita untuk mengasah karya-karya kita. Ketekunan telah membawa Jon Favreau dikenal banyak orang. Kualitas karyanya memukau jutaan orang. Ia tidak bekerja asal-asalan. Ia bekerja dengan penuh kesungguhan hati.

Sering banyak orang mudah menyerah begitu ada tantangan yang menghadang usaha-usaha mereka. Atau mereka lari dari satu karya ke karya yang lain. Akibatnya, mereka kurang fokus. Mereka memulai suatu karya dari awal lagi. Akibatnya, karya-karya mereka kurang punya kualitas.

Emas murni yang berkualitas tinggi diperoleh melalui proses yang butuh ketekunan dan kesabaran. Orang yang mau cepat-cepat menciptakan emas yang murni biasanya akan kecewa. Orang tidak akan memiliki kualitas sempurna dari emas yang diinginkannya.
Orang beriman mesti membangun ketekunan dan kesabaran untuk meraih kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, orang mesti berani mempertaruhkan hidupnya. Orang mesti fokus pada karya yang sedang dilakukannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin baik. Tuhan memberkati. **

Frans de Sales, SCJ

842

12 Desember 2011

Perlunya Introspeksi Diri dalam Hidup


Anda punya kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik? Apa yang akan Anda lakukan untuk memiliki hidup yang lebih baik?

Ada seorang gadis ingin mengubah tingkah lakunya. Menurutnya, ia punya tingkah laku yang tidak baik di hadapan sesamanya. Misalnya, ia suka memaksakan kehendaknya kepada teman-temannya. Kalau ia mau meraih keinginannya, ia ingin teman-temannya membantunya. Padahal sering teman-temannya itu tidak bisa melakukannya. Ia ingin menjadi orang yang punya sahabat-sahabat yang baik.

Suatu hari ia mendatangi seorang bijaksana. Ia menceritakan situasi hidupnya. Lantas ia juga mengatakan kepada orang bijaksana itu bahwa ia ingin berubah. Soalnya adalah kehendak dirinya itu sering lebih kuat daripada keinginannya untuk berubah. Ia sudah berusaha, namun selalu saja ada aral yang melintang.

Orang bijaksana itu mengatakan bahwa yang ia butuhkan adalah introspeksi diri. Ia mesti melihat ke dalam dirinya sendiri tentang keberadaan sesamanya dalam hidupnya. Ia berkata, “Kehadiran sesama kita bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kehadiran sesama itu sebagai wujud kebaikan Tuhan dalam hidup kita. Jadi janganlah kita memaksakan kehendak kita kepada orang lain.”

Lantas orang bijaksana itu meminta gadis itu untuk menumbuhkan komitmen dalam dirinya untuk rela berubah. Hal ini membutuhkan korban dari dirinya sendiri. Ia mesti berusaha terus-menerus. Ia tidak boleh berhenti, karena berubah berarti memiliki hidup baru. Hidup yang sungguh-sungguh menghargai kehadiran sesama.

Sahabat, sering kita mengalami hidup yang biasa-biasa saja. Kita sering kurang bergairah dalam menjalani hidup ini. Ibaratnya ada angin ribut yang sedang menerpa rumah kita, namun kita merasa tidak terjadi apa-apa. Kita merasa bahwa hidup biasa-biasa saja sudah cukup.

Kisah tadi mau mengingatkan kita bahwa kita punya kesempatan untuk berubah dalam hidup ini. Kita bisa menjadi orang yang lebih baik daripada sebelumnya. Gadis itu tidak takut untuk berubah. Ia ingin memiliki hidup yang lebih baik lagi. Ia tidak ingin kehilangan sahabat-sahabatnya. Ia ingin membangun komitmen untuk berubah.

Memang, tidak mudah seseorang yang telah menghidupi kebiasaan yang jelek bertahun-tahun untuk berubah. Seseorang yang punya kebiasaan menipu sesamanya sulit melepaskan diri dari kebiasaannya. Ada saja cara-cara untuk menipu sesamanya. Namun kalau ia mau mengadakan introspeksi diri, kiranya ia akan mampu meninggalkan kebiasaan buruknya itu.

Introspeski berarti kita menilai kembali kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam hidup kita. Apakah kebiasaan-kebiasaan itu mengganggu kehidupan bersama? Apakah kebiasaan-kebiasaan itu menjadi batu sandungan bagi orang lain untuk maju dalam hidup ini?

Introspeksi juga berarti kita mengadakan evaluasi terhadap diri kita sendiri. Kita mesti menyadari bahwa kita bukanlah malaikat yang tak bercacat. Kita adalah manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan-kekurangan. Karena itu, kita mesti berani mengevaluasi diri kita. Hanya dengan cara ini, kita mampu menjadi orang yang lebih baik lagi. Dengan demikian, kita akan mengalami hidup yang damai dan sukacita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

841

11 Desember 2011

Berani Berkorban demi Cinta yang Tulus


Pernahkah Anda mengorbankan hidup Anda bagi sesama Anda? Mengapa Anda rela berkorban? Tentu saja ada banyak alasan. Namun satu alasan yang pasti adalah Anda mengasihi sesama Anda itu.

Waktu saya masih kecil, saya sering pergi ke kebun kami yang ada di lereng gunung. Di sana ayah saya membuka ladang untuk menanam padi, jagung dan ubi jalar. Biasanya tiga jenis tanaman ini yang ditanam bersama-sama di atas satu bidang ladang yang sama. Biasanya jagung ditanam berjauhan setiap rumpunnya. Jagung biasanya dipanen lebih dulu. Panen berikutnya adalah padi dan yang terakhir adalah ubi jalar.

Masa-masa panen adalah masa yang paling menyenangkan bagi saya. Kami akan menginap di kebun sambil menikmati enaknya ibu memasak beras merah. Jenis padi yang biasa ditanam oleh ayah saya adalah padi merah. Biasanya di akhir panen padi, ibu memotong seekor ayam jantan sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan Tuhan. Semua yang terlibat dalam panen padi itu akan mendapatkan bagian dari daging ayam jantan itu.

Suasana kekeluargaan tampak sangat dominan dalam situasi seperti itu. Semua orang bergembira ria, karena Tuhan telah memberi kebaikan-Nya kepada manusia. Kami saling bersenda gurau. Anak-anak berkejar-kejaran di ladang yang baru selesai dipanen. Persahabatan menjadi bagian yang kami tumbuhkan sejak kecil. Saya mengalami hidup bersaudara yang begitu membahagiakan.

Ayah saya berkata, “Kita mesti saling mencintai. Kalau kita tidak saling mencintai, untuk apa kita bekerja keras? Untuk apa saya mencangkul di lereng gunung ini? Tuhan telah memberi kita kekuatan untuk saling mengasihi.”

Sahabat, cinta tidak diraih dalam sekejap. Cinta yang tulus dan murni diraih melalui korban-korban. Seorang ayah mesti mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kelangsungan hidup keluarganya. Seorang ibu mesti rela mengorbankan nyawanya saat melahirkan buah hatinya.

Kalau korban itu dilakukan dengan penuh iman, korban itu membahagiakan. Orang tidak merasa terpaksa dalam memberikan hidupnya bagi sesamanya. Orang merasa bahagia, karena telah memberikan hidupnya bagi orang yang mereka cintai. Orang mengalami damai dalam hidup ini.

Kisah tadi mau mengatakan bahwa hidup yang biasa-biasa menjadi semakin berguna, ketika dimaknai dengan baik dan benar. Persaudaraan dan persahabatan mesti dibangun dalam perjalanan hidup sehari-hari. Untuk memiliki persaudaraan dan persahabatan yang memiliki makna, orang mesti rela berkorban. Artinya, orang berani kehilangan dirinya untuk sesamanya yang membutuhkan kasihnya.

“Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan hidupnya bagi sesamanya,” kata seorang guru bijaksana. Artinya, orang yang sungguh-sungguh mengasihi sesamanya mesti menampakkan kasih itu dalam perbuatan yang nyata. Tidak hanya cukup kasih itu diungkapkan lewat kata-kata yang banyak dan panjang lebar.

Mengasihi sesama dibangun dengan rela merendahkan diri. Artinya, hanya orang yang memiliki kerendahan hati mampu memberikan hidupnya bagi sesamanya. Mari kita bangun kasih yang tulus dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian, hidup kita menjadi semakin bermakna. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


840

10 Desember 2011

Bertahan dalam Perbuatan-perbuatan Baik

Anda merasa kurang dipercaya oleh Tuhan untuk mengerjakan hal-hal besar dalam hidup ini? Mengapa? Tentu saja ada banyak alasan.

Seorang karyawan sebuah perusahaan merasa bangga terhadap pimpinan perusahaannya. Pasalnya, ia merasa selalu mendapatkan perhatian melebihi karyawan-karyawati yang lain. Apa saja yang dia butuhkan untuk kemajuan perusahaan selalu dipenuhi oleh pimpinan perusahaan itu. Alasan-alasannya selalu masuk akal.

Namun suatu ketika ia ketahuan menggunakan dana yang ia minta dari pimpinan bukan untuk kepentingan perusahaan. Ia gunakan dana itu untuk dirinya sendiri. Ia mentraktir teman-temannya. Ia berfoya-foya dengan teman-temannya. Padahal dana itu sangat penting untuk ekspansi perusahaan. Akibatnya, perusahaan mengalami kerugian yang sangat besar.

Karyawan itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia mengakui kesalahannya. Namun pemimpin perusahaan mesti menegakkan keadilan. Karyawan itu mesti mengganti dana yang telah ia gunakan. Akibat lanjutnya, karyawan itu tidak lagi menduduki posisi penting dalam perusahaan itu. Ia tidak dipercaya lagi menangani ekspansi perusahaan atau pengembangan perusahaan.

Sahabat, kepercayaan yang diberikan mesti dipertanggungjawabkan melalui kinerja yang jujur dan bersih. Tampaknya dua hal ini bukan hal yang mudah. Banyak orang kurang punya ketahanan mental saat menghadapi godaan-godaan. Mereka mudah tergiur oleh hidup yang enak dan menyenangkan, meski hanya sesaat. Mereka gampang terjerumus ke dalam perbuatan yang tercela.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa orang yang dipercaya akan mendapatkan kebaikan dalam hidup. Bukan hanya ketika ia berhasil lalu mendapatkan bonus. Tetapi lebih-lebih tanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan itu menjadi bukti kesetiaan kepada yang memberi kepercayaan itu. Karyawan itu tidak punya ketahanan dalam mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Akibatnya, ia jatuh ke dalam godaan. Ia kurang setia. Ia merasa sepele terhadap kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Seorang guru bijaksana mengatakan bahwa orang tidak bisa dipercaya dalam hal-hal besar, kalau ia tidak mampu melaksanakan hal-hal kecil. Langkah besar dicapai setelah orang mengayunkan langkah pertama. Langkah pertama itu tampak kecil dan sederhana. Namun langkah pertama itu sangat menentukan ke mana arah langkah-langkah selanjutnya.

Orang beriman diajak untuk tetap setia dalam melakukan hal-hal yang berguna bagi hidupnya dan sesama. Untuk itu, dibutuhkan ketahanan mental saat menghadapi godaan-godaan. Sekecil apa pun godaan itu mesti dihadapi dengan hati yangg tenang. Mengapa? Karena orang mesti mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Ketika kita setia dalam melakukan hal-hal kecil, kita akan dipercaya untuk melakukan hal-hal besar. Mari kita tetap setia dalam melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepada kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan damai dalam hidup bersama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

839

08 Desember 2011

Kasih Tuhan Tidak Pernah Habis


Ketika kita menyatakan rasa syukur kepada Tuhan, biasanya dengan mudah kita akan bersyukur atas berkat materi dan hidup yang indah, meskipun semuanya itu akan mudah hilang. Tubuh yang sehat memang adalah berkat yang luar biasa, tapi tahukah kita bahwa itu semua bisa lenyap suatu hari.

Suatu hari seorang anak menangis tanpa henti. Pasalnya, ia baru saja kehilangan ayah yang sangat dikasihinya. Tanpa sebab musabab yang pasti, ayahnya tiba-tiba menghembuskan nafas terakhirnya. Anak itu menangis. Anak itu memberontak. Anak itu tidak mau menerima kenyataan itu.

Ia menuduh ibunya yang tidak menjaga ayahnya. Ia memarahi kakaknya yang tidak menggunakan refleksnya untuk menangkap ayahnya yang tiba-tiba jatuh. Ia memelototi mereka satu per satu. Ia menuding mereka telah menyebabkan ayahnya meninggal dunia.

Dengan tenang, sang ibu berusaha untuk menenangkan kegalauan hati anaknya. Ia berusaha meyakinkan anaknya bahwa apa yang terjadi dengan ayahnya adalah sesuatu yang terbaik. Tuhan telah memberi hidup kepada ayahnya. Tuhan pula yang mengambilnya kembali.

“Nak, tidak seorang pun dari kita yang menghendaki kematian ini terjadi atas diri bapak. Mungkin ini cara yang terbaik bagi bapak untuk menghadap Tuhan. Yang kita lakukan adalah kita pasrah kepada Tuhan. Yakinlah, Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi bapak,” kata sang ibu.

Sahabat, manusia tidak gampang menerima penderitaan. Manusia tidak mudah menerima kematian. Padahal kematian itu hakekat manusia. Begitu dilahirkan ke dalam dunia, sebenarnya manusia telah berhadapan dengan kematiannya. Manusia tidak bisa mengelak dari kenyataan ini. Lantas apa yang mesti kita lakukan di saat kita menghadapi situasi seperti ini?

Kisah di atas mengatakan kepada kita bahwa betapa pun sedihnya kita, kita mesti tetap menerima kenyataan pahit kehidupan kita. Yang mesti kita lakukan adalah kita berusaha untuk mengendalikan diri dari berbagai bentuk sikap emosi. Sikap pasrah kepada Tuhan dengan penuh pengharapan menjadi salah satu bagian yang mesti kita kembangkan dalam hidup.

Seorang guru bijaksana mengajak orang yang menghadapi situasi seperti ini untuk tetap bertahan pada imannya. Mengapa? Karena tidak ada yang memisahkan kita. Kematian tidak mampu memisahkan manusia. Apalagi kalau kita hidup dalam kasih Tuhan. Ia mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Tuhan. Kasih Tuhan tidak pernah gagal. Kasih Tuhan tidak pernah mengecewakan. Kasih Tuhan tidak pernah berubah. Kasih Tuhan tidak akan pernah habis atau hilang.

Karena itu, kita diajak untuk tetap bertahan dalam iman kita akan Tuhan yang senantiasa mengasihi kita. Kita mesti tetap setia kepada Tuhan meski penderitaan yang berat mesti kita tanggung dalam hidup ini. Yakinlah, Tuhan akan memberikan yang terbaik bagi hidup kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


838

06 Desember 2011

Membangun Kemauan untuk Meraih Impian


Apa yang akan Anda lakukan untuk merealisasikan cita-cita hidup Anda? Anda tunggu saja bintang jatuh dari langit? Atau Anda mulai meniti cita-cita Anda dengan membangun kemauan?

Udara dingin musuh bagi penderita rematik. Cuaca dingin bisa sangat menyiksa dengan rasa nyeri yang luar biasa dan membuat penderitanya tak leluasa bergerak. Tapi Jeffrey Gottfurcht membuktikan, dengan rheumatoid arthritis (salah satu jenis rematik), ia pun bisa mendaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest.

14 Mei lalu, Jeffrey Gottfurcht yang berusia 38 tahun ini menjadi orang pertama dengan rheumatoid arthritis (RA) yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi di dunia. ”Saya mencoba melakukan pendakian tahun lalu, namun tidak berhasil. Tapi tahun ini saya melakukannya,” katanya.

Ayah dari tiga anak yang tinggal di utara California, AS, ini memulai pendakian pada 29 Maret 2011 lalu. Ia berhasil mencapai puncak Everest hampir tujuh minggu kemudian. Perjalanan yang brutal itu sempat membuat Gottfurcht mengalami kebutaan sementara di mata kirinya. Hal ini sebagai akibat dari kondisi atmosfer yang tidak bersahabat. Ia juga harus berjuang melawan kondisi sakitnya.

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah suatu kondisi autoimun kronis yang menyebabkan peradangan pada sendi. Menurut Arthritis Foundation, orang dengan RA hidup dengan rasa sakit yang parah, bengkak, kekakuan dan deformitas (kelainan) tulang.

Bagi kebanyakan penderita, gerakan sederhana sekalipun bisa sulit dilakukan. Seorang pasien dengan inflamasi arthritis akan lebih mudah kelelahan, cenderung memiliki anemia dan akan mengalami kesulitan menggerakkan sendi. Itulah sebabnya, mengapa dokter yang mengobati rheumatoid arthritis Gottfurcht menemukan hal yang luar biasa.

Gottfurcht mengatakan, ia masih memiliki banyak rasa sakit di lutut dan pinggulnya. Ia tidak bisa menekuk pergelangan tangannya kembali.”Tapi mendaki gunung melibatkan gerakan yang sangat berbeda karena banyak menarik tali,” katanya.

Sahabat, tentu saja keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh ilmu atau kemampuan fisik seseorang. Suatu keberhasilan juga didorong oleh kemauan yang tinggi untuk meraih mimpi-mimpi. Orang yang punya banyak mimpi, namun tidak punya kemauan untuk merealisasikan mimpinya tidak akan berhasil dalam hidupnya. Ia menjadi tukang mimpi yang berharap-harap cemas akan hidupnya sendiri.

Kisah Jeffrey Gottfurcht di atas memberi kita inspirasi berkenaan dengan menata kemauan kita untuk maju dalam hidup. Cita-cita atau mimpi boleh kita gantungkan setinggi langit. Namun yang dibutuhkan di zaman sekarang adalah kemauan untuk merealisasikan mimpi-mimpi itu.

Orang yang punya kemauan untuk merealisasikan mimpi-mimpinya biasanya orang yang punya rencana yang cermat bagi hidupnya. Ia tidak asal mau melakukan sesuatu. Tetapi sebelum memulai sesuatu, ia merencanakan sebaik-baiknya. Ia punya strategi-strategi untuk menggolkan cita-cita hidupnya.

Orang beriman senantiasa menyertakan Tuhan dalam rencana-rencananya dalam merealisasikan cita-cita hidupnya. Rahmat Tuhan menjadi andalan hidupnya, karena orang beriman selalu menggantungkan diri pada Tuhan. Tanpa intervensi dari Tuhan, orang beriman tidak mampu melakukan hal-hal yang baik dan benar. Mari kita bangun kemauan kita untuk menapaki kehidupan ini dengan lebih baik. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


837

05 Desember 2011

Menumbuhkan Kesabaran


Apa yang akan Anda lakukan ketika hidup ini tampak suram bagi Anda? Anda putus asa? Atau Anda tetap optimis dalam menghadapi situasi seperti ini?

Anda pernah menyaksikan ular yang sedang mengintai mangsanya? Matanya tertuju kepada mangsanya itu. Matanya seolah tidak berkedip. Kalau ada lawan yang mengganggu dirinya, ia akan mengundurkan diri. Ia pura-pura melarikan diri. Tetapi ia tetap fokus pada mangsanya itu. Ia akan kembali kepada mangsanya itu.

Begitu mangsanya lengah, ia akan menyergapnya. Giginya yang tajam itu mencengkeram mangsanya. Racunnya yang mematikan dialirkannya ke dalam tubuh mangsanya. Sementara tubuhnya yang panjang itu melilit mangsanya hingga remuk. Setelah itu, ia mulai melahap mangsanya itu sedikit demi sedikit dengan memasukkannya melalui mulutnya.

Ular bekerja keras untuk mendapatkan mangsanya. Kalau mangsanya besar, ular akan mengeluarkan ekstra tenaga. Ular berani mengorbankan hidupnya demi mendapatkan makanan. Ia mempertaruhkan nyawanya, karena bisa saja mangsanya yang lebih besar memberikan perlawanan yang hebat. Dengan demikian, ular dapat melanjutkan perjalanan hidupnya.

Ular memang begitu cerdik dalam menangkap mangsanya. Ia begitu sabar dan tenang untuk mencari waktu yang tepat dalam menangkap mangsanya. Hemat tenaga dan sukses, itulah yang terjadi dalam kecerdikannya. Ia sungguh memfungsikan otak atau pikirannya.

Sahabat, setiap orang membutuhkan kesabaran dalam hidup ini. Kesabaran membantu orang untuk tetap bertahan dalam meraih kesuksesan dalam hidupnya. Memang, tidak gampang orang bersabar dalam hidup ini. Orang sering tergoda untuk meraih tujuan hidupnya dengan mudah dan gampang. Orang kurang mau bekerja habis-habisan untuk meraih sesuatu yang lebih baik bagi hidupnya.

Kisah di atas memberi inspirasi untuk berani bersabar dalam setiap pekerjaan yang kita emban. Pekerjaan apa pun akan berhasil dengan baik kalau orang memiliki kesabaran dalam hidupnya. Ular dalam kisah di atas berani mempertaruhkan dirinya untuk berhasil meraih mangsanya. Ia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya.

Kesabaran sering berkenaan dengan kesetiaan seseorang pada panggilan hidupnya. Tentu saja kesetiaan dalam hal ini kesetiaan yang kreatif. Artinya, orang tidak hanya setia begitu saja pada apa yang sedang dikerjakannya. Namun orang mencari cara-cara untuk lebih kreatif dalam menghasilkan sesuatu yang berguna bagi hidupnya.

Kesetiaan itu tidak menunggu perintah dari luar diri. Namun sikap setia itu mampu membantu orang untuk senantiasa siap sedia melakukan hal-hal yang baik dan berguna bagi hidupnya. Orang yang setia biasanya secara aktif menggunakan pikiran-pikirannya yang cerdas untuk meraih impiannya. Sikap pantang menyerah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup orang yang sabar dan setia pada panggilan hidupnya.

Orang beriman mesti memiliki kesabaran dengan cara setia melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Tentu saja ada banyak tantangan dan rintangan. Namun orang beriman akan melewati semua rintangan itu, ketika ia berserah diri kepada Tuhan. Dengan demikian, hidup ini menjadi lebih indah dan baik bagi semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


835

04 Desember 2011

Ketika Iman dan Perbuatan Bertemu

Apa yang menjadi penghambat dalam hidup beriman Anda? Pernahkah Anda temukan hal-hal yang menghambat itu? Atau Anda merasa sudah menjadi orang beriman yang baik dalam hidup ini?

Seorang nelayan mengoperasikan perahu kecil untuk mengangkut para penumpang. Suatu hari, seorang penumpang memperhatikan bahwa di dua dayung yang dipakai oleh nelayan tersebut terukir kata “Iman” pada salah satu dayung dan kata “Perbuatan” pada dayung lainnya.

Kedua kata tersebut telah menggelitik hati sang penumpang untuk menanyakan maksudnya kepada si pendayung. Merasa bahwa itu adalah kesempatan yang baik untuk bersaksi, si pendayung pun berkata, “Baiklah, aku akan memperlihatkan kepadamu. Ia mengangkat satu dayung. Lantas ia mendayung hanya dengan satu dayung saja yang bertuliskan “perbuatan”. Beberapa kali mendayung, perahu itu hanya berputar-putar di sekitar tempatnya saja.

Setelah itu, ia menaikkan dayung tersebut dan memakai dayung yang bertuliskan “Iman”. Seperti ketika ia memakai dayung pertama, perahu itu juga hanya berputar-putar di tempatnya. Setelah demonstrasi yang ia lakukan, pendayung tersebut mengambil kedua dayung. Ia mulai mendayungnya bersama-sama. Perahu itu pun mulai meluncur maju.

“Ini adalah gambaran kehidupan orang beriman. Iman tanpa perbuatan adalah kemalasan. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman adalah kesombongan. Tetapi ketika iman bekerja sama dengan perbuatan, itulah yang akan mendatangkan berkat dan kemajuan,” katanya.

Sahabat, banyak orang merasa bahwa hidupnya sudah cukup berarti dengan beribadat setiap hari. Mereka merasa, imannya telah menyelamatkan diri mereka. Ternyata tidak. Mereka menjadi lemah dalam kehidupan bersama. Mereka hanya memperhatikan hubungan mereka dengan Tuhan. Hubungan dengan sesama tidak mereka pedulikan. Padahal iman itu baru menjadi kuat saat orang menghidupinya dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Kisah di atas memberikan kita gambaran betapa iman mesti menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Seorang bijaksana mengatakan bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati. Orang hidup seperti mobil yang tidak bisa bergerak, karena mesinnya mati. Orang tidak punya hati yang menjadi daya dorong untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan baik dalam hidup.

Karena itu, yang mesti dilakukan oleh orang beriman adalah memadukan antara pengungkapan iman dan penghayatan iman. Pengungkapan iman menyangkut doa-doa, devosi-devosi, ibadat-ibadat, ziarah-ziarah ke tempat-tempat suci. Sedangkan penghayatan menyangkut cara hidup orang dalam kebersamaan dengan sesama,

Seorang koruptor yang rajin berdoa dan beribadat ibarat mobil yang rusak. Terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya. Antara pengungkapan iman dan penghayatan iman tidak menyatu. Tentu saja ini berbahaya bagi hidup bersama. Orang akhirnya bisa menghalalkan segala cara demi meraih keinginan dirinya.

Orang beriman adalah orang yang sungguh-sungguh memadukan hidup batiniahnya dengan hidup sosialnya. Dengan demikian, tidak terjadi ketimpangan dalam hidup. Mari kita berusaha untuk menghayati iman yang kita ungkapkan dalam doa-doa dan ibadat-ibadat kita. Dengan demikian, kita dapat menemukan sukacita dan kedamaian dalam hidup. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


836

01 Desember 2011

Jangan Menyembah Berhala


Andaikan di depan mata Anda terhampar satu karung uang seratus ribuan. Uang itu bukan milik Anda. Uang sebanyak itu sitaan dari pihak berwenang atas kasus korupsi. Apa reaksi Anda? Anda mengambilnya dan berusaha memilikinya dengan tidak halal? Atau Anda membiarkannya karena uang itu bukan milik Anda?

Ada suatu pengalaman yang sangat memilukan hati nabi Musa ketika ia memimpin bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir. Waktu itu, bangsa Israel sedang berada di padang gurung di dekat gunung Sinai. Nabi Musa baru saja menerima Sepuluh Perintah Allah. Ia turun dari gunung Sinai.

Sungguh, hatinya terasa sangat sakit ketika ia menyaksikan bangsa Israel membuat patung lembu dari emas. Mereka kemudian menyembah patung buatan tangan mereka itu. Padahal perintah pertama dari Sepuluh Perintah Allah itu adalah Jangan Menyembah Berhala. Serta merta Nabi Musa melemparkan Sepuluh Perintah Allah ke tanah. Ia merasa malu terhadap Tuhan yang telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir. Ia merasa kecewa terhadap perbuatan jahat bangsa itu.

Namun orang-orang tidak peduli terhadap apa yang dilakukan oleh nabi Musa. Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka menari-nari mengelilingi patung emas itu. Mereka bersorak-sorai memuja patung emas itu. Hati nabi Musa tercabik-cabik. Ia tidak habis pikir, mengapa bangsa Israel tega melupakan Tuhan yang telah begitu mengasihi mereka.

Akhirnya, nabi Musa mengambil tindakan tegas. Ia menghukum bangsa itu. Ia meminta Tuhan untuk menghancurkan patung emas buatan tangan manusia itu. Bangsa Israel kemudian disadarkan bahwa hanya Tuhan yang mesti mereka sembah. Hanya Tuhan yang patut mendapatkan tempat di hati mereka.

Sahabat, sadar atau tidak, banyak dari kita memberhalakan harta kekayaan. Sekarang ini sedang maraknya korupsi. Orang tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Orang tidak puas dengan gaji yang didapatnya dari pekerjaannya. Akibatnya, mereka memberhalakan uang. Mereka rela berkorban demi mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan tidak halal.

Korupsi kemudian merajalela. Siapa yang susah? Ternyata banyak orang yang mengalami penderitaan akibat dari korupsi itu. Misalnya, seseorang yang makan uang untuk proyek air bersih akan meninggalkan kerugian bagi ribuan masyarakat. Seharusnya masyarakat mendapatkan air bersih untuk kehidupan mereka, tetapi karena proyek tidak selesai-selesai, air bersih tidak ada. Masyarakat mesti keluarkan uang untuk membeli air bersih. Ini namanya menyengsarakan rakyat.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa manusia mesti menggunakan harta kekayaan itu untuk kebaikan. Harta kekayaan yang digunakan secara salah akan menyebabkan orang jatuh pada penyembahan berhala. Ada banyak hal di sekitar kita yang dapat kita nikmati. Tetapi hal-hal itu dapat membawa bahaya yang mematikan, apabila kita gunakan dengan tidak bijaksana.

Orang beriman bebas menggunakan harta kekayaan, tetapi tidak menjadikannya berhala. Nah, mari kita berusaha untuk hidup baik dengan tidak menyembah berhala. Uang dan materi jangan kita jadikan tuhan dalam hidup ini. Dengan demikian, kita akan mengalami sukacita dan damai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

833

29 November 2011

Sukacita karena Cinta


Ada seorang wanita yang menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Ia menikah hanya menuruti keinginan orangtuanya. Suaminya menyuruhnya untuk bangun pukul lima pagi tiap hari, membuatkan sarapan untuknya dan menyajikannya tepat pukul enam. Sang suami mengharapkannya selalu siap melayaninya.

Hidup wanita itu menderita, karena hanya berusaha melayani setiap kebutuhan dan permintaan suaminya. Sampai suatu waktu suaminya meninggal dunia.

Beberapa tahun kemudian, wanita itu menikah kembali. Kali ini dengan seorang pria yang sangat dicintainya. Suatu hari, ketika sedang membereskan dan membersihkan kertas-kertas kuno, dia menemukan selembar kertas berisi peraturan yang harus dilakukan sebagai istri. Peraturan itu dibuat oleh mendiang suaminya.

Dengan hati-hati, dia membaca peraturan itu. “Bangun pukul lima. Hidangkan pada pukul enam tepat.” Dia terus membaca dan tiba-tiba berhenti serta merenung.

“Lho, bukankah apa yang saya lakukan sekarang pun persis dengan apa yang saya lakukan dulu? Mengapa sekarang saya bisa melakukannya dengan sukacita, tanpa merasa terpaksa?” katanya.

Ia tersenyum geli setelah menyadari perjalanan hidupnya. Lantas ia menjawab dalam hatinya, ”Ini karena cinta. Saya lakukan semua ini karena cinta. Saya merasakan sukacita atas apa yang aku lakukan ini.”

Sahabat, pernahkah Anda merasa melakukan sesuatu karena terpaksa? Apa hasil yang Anda peroleh? Tentu saja Anda tidak akan mengalami sukacita. Anda tidak merasa bahagia setelah melakukan semua hal yang baik itu. Anda justru merasa tertekan. Anda merasa apa yang telah Anda lakukan itu tidak membuahkan sesuatu bagi hidup Anda.

Sebaliknya, kalau Anda melakukan sesuatu dengan semangat yang dilandasi oleh cinta, Anda akan lakukan apa saja demi cinta itu. Tidak perlu diminta, Anda akan lakukan sesuatu untuk orang-orang yang Anda cintai itu. Meski berat pekerjaan itu, Anda akan merasa ringan karena menyenangkan.

Kisah di atas mau mengatakan kepada kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan demi cinta akan membahagiakan hidup kita. Untuk itu, kita mesti senantiasa menimba kasih dari Tuhan yang adalah sumber cinta. Tuhan memberi tanpa menarik kembali. Tuhan memberi tanpa meminta kita untuk membalasnya. Yang diinginkan Tuhan dari kita adalah kita mencintai sesama kita dengan setulus hati. Bukan dengan terpaksa. Mari kita mengandalkan kasih dalam hidup ini. Dengan demikian, kita mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ



832

27 November 2011

Menenangkan Hati dan Pikiran

Dalam Kisah legenda Tiga Negara, diceritakan bahwa negeri Shu memiliki seorang ahli strategi jenius bernama Kung Ming. Berkali-kali pihak musuh ingin menghancurkan pasukan Shu dan membunuhnya. Tapi berkali-kali mereka gagal meski pihak Shu punya tentara lebih sedikit.

Pernah satu kali Kung Ming dan ratusan tentaranya mendadak dikepung puluhan ribu tentara negeri Wei di kota Hsi Cheng. Hendak memanggil bala bantuan, jelas tidak mungkin. Lari juga sudah terlambat. Nah, apa yang dilakukan Kung Ming? Ternyata dia justru menyuruh prajuritnya membuka keempat pintu gerbang kota lalu membiarkan suasana hening tanpa suara sama sekali.

Kung Ming dan dua pembantunya lalu naik ke loteng kota dan memainkan siter dengan tenangnya. Ketika gerombolan musuh datang, pemandangan dan suasana hening yang aneh itu justru membuat mereka menjadi ragu-ragu bahkan takut. Akhirnya, mereka justru kabur, karena takut diperdaya Kung Ming yang terkenal banyak akalnya. Siasat Kung Ming ini kini terkenal dengan nama Siasat Kota Kosong.

Sahabat, apa yang terjadi ketika Anda menghadapi suatu persoalan rumit dalam hidup Anda? Banyak dari Anda yang panik, tidak tenang. Banyak dari Anda yang bertindak gegabah. Banyak orang ceroboh. Akibatnya, persoalan yang sebenarnya mudah diselesaikan akhirnya menjadi berlarut-larut. Untuk itu, apa yang diperlukan dari manusia saat menghadapi persoalan?

Kisah sukses Kung Ming mengalahkan musuh meski tak punya kekuatan sama sekali menjadi inspirasi bagi kita. Kekuatannya sebenarnya hanya satu. Ia tetap tenang, sehingga bisa menghasilkan jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya. Ia tidak mudah panik. Ia juga tidak mencampuradukan persoalan rumit yang dihadapinya itu. Satu per satu ia usahakan untuk diselesaikan dengan tenang.

Ketika orang panik saat menghadapi persoalan, orang tidak akan fokus lagi pada penyelesaian persoalan itu. Akibatnya, masalahnya tidak selesai. Justru masalah tersebut dapat melebar ke mana-mana.

Untuk itu, kita diajak untuk bersikap tenang ketika kita menghadapi suatu persoalan. Usahakan agar persoalan-persoalan itu dihadapi satu per satu. Jangan mencampuradukan persoalan-persoalan. Persoalan yang rumit seperti benang kusut akan terurai dengan mudah, kalau kita menghadapinya dengan penuh ketenangan.

”Juga orang bodoh akan disangka bijak, kalau ia berdiam diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya" (Amsal 17:28). Mari kita menenangkan hati dan pikiran kita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita hadapi. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

830

Menyiapkan Diri untuk Meraih Sukses


Suatu ketika, seorang pria mendapati seekor gorila bergelantungan di pohon pekarangan belakang rumahnya. Segera saja, ia menelepon jasa penangkapan binatang buas. Dengan segera juga, seorang pawang gorila datang membawa sebuah tongkat, seekor anjing, borgol dan senapan.

Pawang itu berkata kepada pemilik rumah, ”Dengarkan taktiknya. Saya akan memanjat pohon itu dan memukul gorilanya dengan tongkat sampai dia jatuh. Nah, begitu ia jatuh, anjingku ini sudah dilatih untuk langsung menggigit organnya. Saat si gorila melindungi diri dengan menyilangkan kedua tangannya di depan, kamu langsung pakaikan borgol ini, ya.”

Pemilik rumah itu menjawab, ”Oke, mengerti. Tapi buat apa senapan ini?”

Sambil tersenyum kecut, pawang itu berkata, ”Oh itu.. Yah, kalau saya jatuh duluan sebelum si gorila, kamu tembak anjingku.”

Sahabat, kesuksesan dalam hidup setengahnya ditentukan oleh persiapan yang matang. Orang tidak bisa meraih keberhasilan tanpa persiapan yang baik. Orang yang meraih kesuksesan dengan persiapan yang minim hanyalah suatu kebetulan. Itu hanya sekali terjadi. Tidak akan berulang-ulang lagi.

Para pencipta sejarah kehidupan manusia biasanya tidak muncul dengan tiba-tiba. Presiden Soekarno sukses membawa kemerdekaan bagi bangsa ini tidak muncul dengan tiba-tiba. Ia telah mempersiapkan diri dengan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Ia mengikuti berbagai organisasi. Ia sering ditangkap oleh pihak penjajah saat melakukan suatu gerakan. Ia dibuang di berbagai tempat di negeri ini untuk menjauhkan dirinya dari perjuangan sesama sahabatnya.

Sukses akhirnya ia raih dengan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan asing. Kesuksesan itu ia raih melalui berbagai cara. Ia berjuang untuk itu. Ia mengalami situasi sepi dan sendirian. Namun ia tetap tegar. Ia terus-menerus memupuk keyakinannya bahwa suatu saat nanti bangsa Indonesia akan terbebas dari belenggu penjajahan.

Apa yang telah Anda lakukan untuk meraih kesuksesan dalam hidup ini? Anda tidur-tidur saja sambil bermimpi kebahagiaan akan jatuh dari langit-langit rumah Anda? Anda nongkrong saja di depan rumah Anda sambil menyaksikan penjual martabak keliling yang berlepotan keringat menjajakan dagangannya?

Tentu saja kalau Anda ingin sukses dalam hidup ini, Anda mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak ada yang mudah. Yang ada adalah Anda mesti menyiapkan mental Anda sebaik-baiknya untuk masuk ke dalam dunia yang penuh persaingan. Kalau persiapan Anda cukup baik dan matang, tampaknya Anda tidak perlu tunggu waktu lama untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan.

Sambil menyiapkan diri Anda baik-baik, mari kita mohon kekuatan dari Tuhan. Dengan demikian, Anda tidak hanya berjuang sendiri. Namun Anda sertakan Tuhan dalam perjuangan Anda. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

25 November 2011

Merasakan Sakitnya Cambukan Tuhan


Seorang wanita sedang menikmati udara musim panas di Swiss. Suatu hari dia berjalan-jalan. Ketika mendaki sebuah lereng gunung, dia tiba di rumah seorang gembala. Dia menuju pintu dan melongok ke dalam. Dia melihat seorang gembala sedang duduk dikelilingi ternaknya. Di dekatnya terbaring seekor domba. Ketika wanita itu memperhatikan dengan cermat, ia melihat kaki domba itu patah. Hatinya cepat tergerak oleh rasa simpati terhadap domba yang terluka itu.

Sambil memandang gembala itu, ia bertanya, “Apa yang terjadi dengan domba itu?”

Gembala itu menjawab, ”Bu, saya telah mematahkan kakinya.”

Perempuan itu sangat terkejut mendengar jawaban seperti itu. Wajah wanita itu menyiratkan kengerian dan rasa sakit. Ketika melihat hal itu, gembala itu berkata: “Bu, dari semua domba saya, domba inilah yang paling bandel. Dia tidak pernah mematuhi saya. Dia tidak mau mengikuti arah yang saya tunjukkan. Dia ngelayap ke tempat-tempat curam dan terjal yang membahayakan dirinya. Tidak hanya itu, dia juga membuat domba-domba saya yang lain berserakan. Saya sudah berpengalaman menangani domba nakal semacam ini. Jadi, saya mematahkan kakinya. Hari pertama saya mendekatinya dan memberinya makan, dia mencoba menggigit saya. Saya membiarkan hal ini selama dua hari. Kemudian, saya kembali lagi. Dan sekarang, dia tidak mau memakan makanan yang saya berikan, tetapi juga menjilati tangan saya dan menunjukan sikap penyerahan bahkan kasih sayang. Dan sekarang izinkan saya memberitahu ibu sesuatu. Jika domba itu sudah sehat, dia akan menjadi domba teladan dalam kumpulan ternak saya. Tidak ada domba yang lain yang lebih cepat mendengar suara saya. Tidak ada domba lain yang mengikuti saya begitu dekat selain dia.”

Sahabat, pernahkah Anda merasakan sakitnya dicambuk atau ditampar orang? Tentu saja Anda akan merasa sakit. Anda tidak mau terima perlakuan kasar dari orang lain. Anda manusia yang mesti dilindungi dan dihargai. Mungkin Anda akan marah besar. Anda akan beradu mulut dengan orang yang menampar Anda. Atau Anda akan menyumpahinya habis-habisan.

Namun pernahkah Anda mengadakan refleksi atas kejadian seperti itu? Apakah hal seperti itu hanya Anda rasakan sebagai sesuatu yang memalukan Anda? Atau Anda akan berusaha untuk menemukan titik lemah dari hidup Anda?

Mungkin kisah domba yang kakinya dipatahkan tadi dapat memberi inspirasi kepada kita untuk belajar menemukan hal-hal baik dari perlakuan yang kita rasakan kurang adil. Mungkin kisah tadi dapat membantu kita untuk merefleksikan perjalanan hidup kita. Bukankah kita manusia lemah? Bukankah kita manusia yang mudah jatuh ke dalam kesalahan dan dosa?

Dalam hidup beriman, kadang-kadang kita rasakan Tuhan mencambuk kita. Mengapa? Karena kita tidak setia kepada Tuhan. Kita mau berjalan sendiri menurut keinginan diri kita. Kita menenggelamkan diri kita di dalam lubang dosa dan kenistaan. Karena itu, kita perlu cambukan. Dengan demikian, kita mampu menyadari tujuan hidup kita.

Sang Bijaksana berkata, ”Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak; ‘hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:5-6). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


828

24 November 2011

Siapa Mencintai Uang Tidak akan Puas dengan Uang

Siapa Mencintai Uang Tidak akan Puas dengan Uang



Seorang milyarder asal Austria bernama Karl Rabeder, memberikan setiap sen kekayaannya senilai tiga juta Poundsterling atau setara Rp 50 Miliar setelah menyadari kekayaannya tidak membuat dirinya bahagia. Dia menjual villa mewah dengan danaunya serta pemandangan pegunungan Alps senilai Rp 21 Miliar. Dia juga menjual rumah pertanian dari batu serta belasan hektar lahan dengan nilai Rp 10 Miliar. Turut ia jual adalah enam koleksi pesawat terbang layang senilai Rp 6 Miliar dan sebuah mobil mewah senilai Rp. 700 Juta.

Dia mengatakan bahwa dia berencana untuk tidak menyisakan apa pun dari kekayaannya, karena bagi dia uang menghalangi datangnya kebahagaian. Ia akan keluar dari rumah mewahnya itu, lalu menyepi ke sebuah rumah sederhana. Semua hasil penjualan hartanya akan menjadi modal untuk lembaga amal yang dia dirikan di Amerika Tengah dan Latin, tetapi ia tidak akan mengambil gaji dari situ.

Sejak menjual hartanya, Rabaeder mengatakan bahwa dirinya merasa bebas. Ia tidak lagi merasa terbebani. Namun dia mengatakan, ia tidak akan menghakimi orang kaya yang memilih untuk terus menumpuk kekayaan.

Sahabat, tahun lalu muncul gagasan untuk mengadakan uang aspirasi bagi para anggota DPR. Uang itu akan digunakan untuk membangun rumah di daerah di mana para anggota DPR tersebut mewakili konstituennya. Rumah yang dibangun itu menjadi sekretariat di mana para konstituen akan datang untuk memberikan aspirasi mereka. Spontan saja banyak kalangan mempersoalkan gagasan tersebut. Lebih banyak kritik yang dituai oleh para anggota DPR.

Menurut banyak kalangan, saat ini yang dibutuhkan bukan dana aspirasi. Tetapi yang dibutuhkan saat ini adalah kinerja para anggota DPR yang sungguh-sungguh peduli terhadap masyarakat. Yang dikuatirkan adalah penyalahgunaan terhadap dana aspirasi yang begitu besar. Jangan-jangan uang tersebut masuk kantong pribadi. Jangan-jangan gagasan tersebut hanyalah cara untuk mengelabui masyarakat.

Lantas orang pun bertanya, apa motivasi di balik gagasan tersebut? Jawabannya adalah orang ingin membahagiakan diri dengan uang. Orang merasa bahwa kalau mereka memiliki uang yang banyak, mereka akan mengalami sukacita dan damai. Tentu saja pandangan seperti ini tidak sepenuhnya benar.

Coba kita simak kembali kisah Rabeder di atas. Milyarder asal Austria itu justru tidak merasakan kebahagiaan dengan memiliki kekayaan yang berlimpah. Sikapnya pun jelas! Ia melepaskan semua kekayaannya itu, karena tidak membahagiakan dirinya. Ia tidak ingin hidupnya tergantung pada kekayaan itu. Baginya, kekayaan itu mesti dikendalikan oleh dirinya.

Ternyata kebahagiaan itu tidak diukur dari harta kekayaan. Ketenangan hidup itu tidak terletak pada banyaknya uang dan harta yang dimiliki. Tetapi kebahagiaan itu terjadi ketika orang mampu menggunakan harta kekayaan itu demi membahagiakan diri dan sesamanya. Karena itu, ketika harta kekayaan tidak bisa diandalkan untuk mencapai kebahagiaan, harta itu mesti dilepas.

Mari kita membangun sikap yang benar terhadap harta kekayaan yang kita miliki. Dengan demikian, kita akan mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Sang Bijaksana berkata, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pengkotbah 5:19). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


829

22 November 2011

Mendidik Hati yang Mudah Tersentuh

Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda berhadapan dengan sesama Anda yang sedang menderita? Anda tergerak hati oleh belas kasihan? Atau Anda biarkan saja, karena Anda tidak punya hubungan apa-apa dengannya?

Remaja bernama Bagas Yanuarsa (13) ini benar-benar berhati besar. Di tengah teman seusianya yang sibuk bermain dan belajar, dia justru rela menghabiskan waktunya untuk merawat ibunda tercinta, Muniroh (32), yang mengidap penyakit scleroderma.

Scleroderma adalah penyakit yang konon disebut manusia kayu. Akibat penyakit yang dideritanya ini, Muniroh tidak mampu melakukan aktivitas layaknya ibu rumah tangga normal. Muniroh sudah 4 tahun mengidap penyakit ini.

Mereka sekeluarga tinggal di Dusun Gales, Desa Sideroje, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bersama sang adik bernama Rizal Dwi Ananto (4), Bagas mau tidak mau harus menggantikan pekerjaan ibunya yang hanya bisa duduk dan berbaring.

Sebelum berangkat ke sekolah, biasanya Bagas dan Rizal harus mencuci piring, memasak bahkan mencuci pakaian. Sementara sang suami, Supriyanto (36), bekerja sebagai tenaga honorer di Pusat Pengembangan dan Permberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Bidang Seni Budaya Yogyakarta, jarang pulang mengingat jarak Yogya dan Magelang yang cukup jauh.

"Suami saya pulang kadang tiga hari sampai lima hari sekali. Jadi selama ini hanya anak saya yang mengurus saya. Saya merasa kasihan dengan anak saya yang tidak bisa bermain bersama anak-anak lain," kata Muniroh.

Bagi Bagas, apa yang dia lakukan saat ini ikhlas untuk ibu tercintanya. Bagas menganggap tugas-tugas ini bagian dari kewajibannya sebagai anak. Meski dia tidak menampik masa kecilnya tidak seindah teman-temannya.

"Saya rela melakukan ini semua. Mau bagaimana lagi, ibu sudah seperti itu. Saya yang merawat ibu, menggantikan baju, memandikan ibu. Semua itu saya lakukan hanya untuk ibu saya tercinta," kata Bagas.

Sahabat, kisah-kisah kemanusiaan yang menyayat hati selalu terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Ada kisah-kisah heroik yang membuat kita berdecak kagum. Ada kisah-kisah kasih yang mendorong kita untuk membuka hati kita bagi sesama. Ada pula kisah-kisah pengorbanan yang memberi kita motivasi untuk mengulurkan tangan kita bagi sesama yang sedang menderita.

Kisah Bagas memilukan hati kita. Kita tersentuh oleh pengorbanan yang dilakukan oleh sang anak bagi sang ibu tercinta. Namun kisah pengorbanan Bagas memberi kita suatu semangat untuk berani meninggalkan egoisme kita. Kita mesti berani rela kehilangan hal-hal yang menyenangkan hati kita. Kita rela memberi perhatian bagi orang-orang yang kita cinta dengan hati yang tulus.

Bagas melakukan hal ini dengan mulus. Ia tidak perlu berkata kepada ibunya, “I love you mama.” Tetapi ia menunjukkan dalam perbuatan bahwa ia sangat mencintai sang mama tercinta.

Apa yang mesti kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita yang mengalami duka nestapa dalam hidup ini? Kita biarkan saja mereka terjerembab dalam penderitaan mereka? Atau kita menyingsingkan lengan baju kita untuk membantu mereka agar lepas dari penderitaan?

Orang beriman tentu mudah tersentuh hatinya oleh penderitaan sesamanya. Karena itu, mari kita mengorbankan hidup kita bagi sesama yang sedang menderita. Dengan demikian, hidup ini menjadi semakin damai dan indah. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


827

21 November 2011

Kematian Kecil

di antara pekik tawa

tak tertunda suatu malapetaka

dari rintihan pahit getir serakah dunia

menghanyut ke kekelaman kelabu ungu



kau kurenggut patah remuk

mengapa tak kau tanggung?

kau tak tega meronta kesakitan?

di bawah roda-roda keparat ini?



kau yang jadi omelan

kau yang menjilat busa-busa liur keparat ganas

kau yang ditindih gading retak pecah

di mana sekarang wajahmu?



bira nafasmu mencuat meronta dari poros bumi

merajuk hatiku yang lagi tegar cinta

menjulur lidahmu harapkan kasih

namun kian kurenggut citamu di kaki cinta

hingga berkeping beterbangan disambar angin

aku pengkhianat!

penjerumus kematian kecil ini!



Frans de Sales, SCJ

6 Mei 1982

Melepaskan Hal-hal Buruk dari Diri

Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda terjerumus ke dalam hal-hal yang kurang baik? Anda biarkan saja diri Anda terjerumus? Atau Anda berusaha untuk keluar dari situasi seperti itu?

Ada seorang pemuda yang terkenal keras kepala. Ia juga tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Suatu hari ia mendatangi seorang tua yang bijaksana. Ia ingin belajar memiliki hati yang lembut seperti orang tua itu. Ia sadar bahwa hanya dengan memiliki hati yang lemah lembut orang akan mengalami hidup yang damai dan sejahtera. Ia ingin meninggalkan sikapnya yang keras kepala itu.

Namun orang tua yang bijaksana itu mengajak pemuda itu berjalan memasuki hutan. Setelah lama berjalan, orang tua itu menghentikan langkahnya. Lalu ia menunjuk sebatang pohon yang kecil. “Cabutlah pohon!” katanya kepada pemuda itu.

Pemuda itu heran memandang orang tua itu. Namun ia segara membungkuk ke arah pohon kecil itu. Hanya dengan dua jari, ia dengan mudah dapat mencabut pohon itu. Ia tidak butuh banyak tenaga untuk melepaskan pohon kecil itu dari akarnya. Orang tua itu tersenyum menyaksikan pemuda itu.

Lantas orang tua itu mengajak pemuda itu untuk meneruskan perjalanan. Setelah berjalan lebih jauh lagi, orang tua itu berhenti di depan sebatang pohon yang agak besar. Sambil menatap wajah pemuda itu, ia berkata, “Coba, cabut pohon ini.”

Pemuda itu menuruti perintah orang tua itu. Namun kali ini, dia menggunakan kedua tangannya. Dengan sekuat tenaga, ia mencabut akar pohon itu. Kali ini pun pemuda itu berhasil melaksanakan permintaan orang tua itu. Ia bangga bahwa ia memiliki kesetiaan kepada orang tua itu.

Kedua insan itu meneruskan perjalanan. Tidak berapa lama, mereka berhenti di bawah sebatang pohon yang agak besar dan keras. Sambil melemparkan senyumnya, orang tua itu berkata kepada pemuda itu, “Sekarang, cabutlah pohon ini!”

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Pohon itu terlalu besar untuk dilepaskan dari akar-akarnya. “Aku tidak dapat mencabut pohon sebesar ini. Untuk memindahkannya diperlukan sebuah buldozer,” kata pemuda itu.

Sahabat, semakin besar pohon mengakar ke dalam tanah, sulitlah pohon itu dicabut menggunakan tangan. Meski kita memiliki tenaga yang luar biasa kuat, tetapi mustahil bagi kita untuk melepaskannya. Kita lebih mudah menggunakan parang atau kapak untuk memotong pohon tersebut.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa dosa dan kesalahan yang kita lakukan itu semakin sulit kita lepaskan, ketika akar-akarnya semakin dalam membelit jiwa kita. Kebiasaan kita yang baik atau buruk yang sudah kita bangun bertahun-tahun akan sulit kita tinggalkan. Kita akan bawa ke mana pun kita pergi.

Kalau kebiasaan itu baik, yang kita tanamkan dalam diri dan sesama adalah hal-hal baik. Kita dapat mempengaruhi sesama kita untuk melakukan hal-hal baik itu. Namun ketika kita lebih menonjolkan hal-hal yang buruk, kita akan mengalami kesulitan untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk itu. Kita mengalami kesulitan untuk meninggalkan hal-hal yang kurang baik dari dalam diri kita. Mengapa? Karena sudah mengakar dan menguat.

Karena itu, orang beriman mesti selalu berusaha untuk melepaskan hal-hal yang buruk sejak awal. Orang butuh waktu dan kesempatan yang baik meninggalkan dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan buruknya itu. Dengan demikian, hidup menjadi kesempatan untuk membahagiakan diri sendiri dan sesama. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

20 November 2011

Membahagiakan Sesama

Bacaan Kitab Suci selengkapnya klik disini kunjungi Renungan Pagi

Apa kabar Anda hari ini? Saya harap Anda mengalami suasana yang menggembirakan, karena Tuhan menyertai Anda hari ini. Anda mesti selalu bersemangat untuk menjalani hari ini, sehingga Anda bisa membagikan kasih Anda kepada sesama.

Seorang ibu bekerja seharian penuh. Ia bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan bagi anak-anak dan suaminya. Lantas ia mengepel lantai rumah dan membersihkan kaca-kaca jendela. Meski capek, ia masih bias tersenyum. Ia bersyukur dapat mengabdikan hidupnya bagi sesama yang sangat dicintainya. Baginya, hidup itu suatu pengorbanan. Hidup itu mesti membaktikan hidup bagi sesama. Ia bahagia melakukan hal-hal yang baik bagi sesamanya.

Ia berkata, “Kebahagiaan dapat saya rasakan saat saya mampu memberikan hidup saya bagi orang-orang yang terdekat. Mereka mencintai saya. Ini tanda saya mencintai mereka.”

Sahabat, tentu saja setiap kita ingin hidup bahagia. Namun kita juga ingin sesama kita bahagia. Kebahagiaan yang hanya dialami dan dirasakan sendiri hanyalah suatu bentuk pemuasan ego saja. Kita tidak bisa bahagia sendirian. Kita senantiasa berada dalam relasi dengan sesama kita. Karena itu, menjadi suatu tugas bagi kita untuk menyalurkan kebahagiaan itu kepada sesama kita.
Rata Penuh
Nah, kebahagiaan seperti apa yang dikehendaki Tuhan, mari kita dengarkan pengajaran Yesus ini.

Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus bersabda, "Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing, dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya. Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya. Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal."

Sahabat, ada banyak orang yang membutuhkan bantuan dari kita. Mampukah kita mengulurkan tangan kita bagi mereka yang membutuhkan? Mari kita memberi perhatian kepada sesame yang membutuhkan. Dengan demikian, damai dapat menjadi bagian dari hidup manusia. Tuhan memberkati. ** (Frans de Sales, SCJ)

19 November 2011

Tuhan Itu Satu-satunya Pegangan Hidup

Suatu hari ada sebuah rumah di suatu kota terbakar. Pemiliknya terbangun dari tempat tidurnya. Ia panik menghadapi asap yang mulai memenuhi seluruh ruangan. Dalam kondisi seperti, itu ia ingat ada sebuah lemari dinding yang bisa menyelamatkan dirinya. Ia masuk ke dalamnya. Namun pintu lemari itu tidak bisa dibuka dari dalam. Ia bertahan di dalam lemari dinding itu.

Sementara itu, tetangganya menelpon pemadam kebakaran untuk datang ke tempat kejadian. Tidak lama kemudian, petugas pemadam kebakaran datang. Mereka berhasil memadamkan api yang mulai membesar. Pada saat bersamaan, mereka membuka pintu di mana pemilik rumah itu berada. Mereka mendengar suara pemilik rumah yang menggedor-gedor pintu lemari dinding dari dalam.

Nyawa pemilik rumah itu selamat. Ia bersyukur atas bantuan para petugas pemadam kebakaran. Ia juga bersyukur bahwa ia telah membuat lemari dinding yang kini menyelamatkan nyawanya.

Sahabat, kita hidup dalam dunia yang mudah membuat kita terbakar. Terbakar oleh apa? Kita dapat terbakar oleh situasi hidup yang tidak menentu. Ada berbagai godaan yang membuat manusia kehilangan jati dirinya. Orang menjadi salah arah dalam hidupnya. Akibatnya, orang tidak memaknai kehidupan ini. Orang hidup asal hidup saja. Orang tidak punya visi yang jelas dalam hidupnya.

Untuk itu, orang mesti mempunyai visi dalam hidup ini. Kisah di atas mau mengatakan bahwa orang mesti memiliki pegangan yang pasti dalam hidup ini. Kalau orang tidak punya pegangan hidup, orang akan mengalami kebinasaan ketika godaan-godaan menyerang kehidupan.

Bagi orang beriman, pegangan hidup kita satu-satunya adalah Tuhan yang hidup dalam keseharian hidup kita. Sering orang beriman kurang menyadari kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Mereka merasa Tuhan tidak tahu perbuatan-perbuatan mereka. Padahal Tuhan tidak jauh dari hati kita. Tuhan hadir bersama langkah-langkah kaki kita. Tuhan hadir dalam kata-kata yang kita ucapkan. Tuhan hadir dalam perbuatan-perbuatan baik dan jahat yang kita lakukan.

Karena itu, orang beriman mesti menggantungkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Hanya dengan cara demikian, orang mengalami kebahagiaan dalam hidupnya. Orang mengalami Tuhan yang begitu peduli terhadap hidupnya. Untuk itu, kita mesti mengarahkan hidup kita kepada Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


826

18 November 2011

Kita Butuh Kebijaksanaan bagi Hidup

Ketika William McKinley (1843-1901), Presiden Amerika Serikat ke-25, diambil sumpahnya sebagai presiden, dia mengucapkan kalimat ini: “Beri saya kebijaksanaan dan pengetahuan, sehingga saya bisa memimpin bangsa ini.”

William McKinley hidup dari tahun 1843 hingga 1901. Dalam usia yang tidak terlalu tua itu ia menjadi salah seorang presiden yang cukup sukses. Meskipun dia memperoleh penghormatan tertinggi, dia sangat sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Dia juga sadar bahwa dia memerlukan pertolongan Ilahi. Dia merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas yang senantiasa membutuhkan pertolongan Tuhan. Ia terus-menerus memohon kebijaksanaan dari Tuhan.

Setelah acara pelantikan, Pastor W.V. Morrison dari New England, yang menjadi guru McKinley ketika masih kanak-kanak, mengunjungi presiden itu. Ketika berpamitan Morrison berkata, “Engkau memiliki tanggung jawab besar yang diletakkan di atas pundakmu. Tetapi kasih dan kepercayaan bangsa Amerika ada di belakangmu.”

“Saya berharap memperoleh simpati dan doa darimu dan semua orang kudus,” jawab Presiden McKinley.

Sahabat, banyak orang punya pengetahuan yang luas. Namun belum tentu mereka punya kebijaksaan dalam hidup. Akibatnya, banyak orang hanya menggunakan ilmu dan pengetahuannya untuk menjalani hidup ini. Banyak kekeliruan dilakukan oleh orang-orang seperti ini. Kekacauan dalam hidup bersama bisa terjadi. Kekalutan dapat menghantui hidup manusia. Ketika terjadi krisis dalam hidup, orang seperti ini akan mudah menyerah. Pengetahuan yang luas belum mampu membantu orang dalam menyelesaikan krisis hidup.

Untuk itu, dibutuhkan kebijaksanaan. Orang yang bijaksana mendekati suatu persoalan tidak hanya dari satu sisi saja. Orang bijaksana akan menghadapi persoalan-persoalan hidup dari berbagai sudut pandang. Kadang-kadang keputusan yang mereka buat tampak tidak populer. Tetapi keputusan yang mereka buat itu sangat berguna dalam kehidupan bersama.

Dari mana kebijaksanaan itu diperoleh? William McKinley berdoa kepada Tuhan untuk memohon kebijaksanaan. Artinya, kebijaksanaan itu berasal dari Tuhan yang mahapengasih dan penyayang. Tentang kebijaksanaan, Bob Jones berkata, ”Kebijaksanaan adalah kemampuan menggunakan pengetahuan untuk mengatasi keadaan darurat dengan sukses. Manusia dapat memperoleh pengetahuan, tetapi kebijaksanaan berasal dari Allah.”

Mari kita mohon kebijaksanaan dari Tuhan, agar kita selalu diberi kekuatan untuk menjalani hidup ini. Seorang nabi berkata, ”Dan orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala, dan yang telah menuntun banyak orang pada kebenaran seperti bintang-bintang, tetap untuk selama-lamanya” (Dan. 12:3). Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ


825

16 November 2011

Mengandalkan Kebaikan Hati


Suatu hari, saya pergi ke pasar 16 Ilir Palembang. Saya bertemu dengan banyak kuli yang sedang menarik gerobak. Beban yang mereka tarik bermacam-macam jenisnya. Ada yang sangat berat, tetapi ada juga yang sangat ringan. Di tempat yang ramai itu mereka mesti trampil menarik gerobak. Kalau tidak, gerobak mereka akan ngadat.

Waktu itu saya melihat dua orang penarik gerobak yang sedang berhenti. Barang yang mereka tarik itu ternyata terlalu berat. Keringat deras mengucur membasahi tubuh mereka. Selain karena berat, mereka juga mengalami macet. Dalam kondisi seperti itu, seorang berpakaian bersih dan rapi datang menolong kedua orang kuli itu.

Saya merasa kagum melihat orang itu. Tidak banyak kata-kata, ia membantu dua kuli itu untuk keluar dari kemacetan. Hasilnya, dua kuli itu dapat menarik gerobak mereka meninggalkan keramaian. Sedang orang yang membantu itu meninggalkan mereka tanpa perlu dibayar.

Sahabat, ternyata masih ada orang yang punya hati mulia dalam dunia yang serba maju sekarang ini. Ada orang yang tidak peduli terhadap dirinya sendiri. Begitu ada sesamanya yang mengalami kesulitan dalam hidup, mereka langsung turun tangan. Mereka membantu dengan ikhlas hati, tanpa perlu diberi penghargaan.

Kebaikan hati itu membantu orang lain menemukan sukacita dalam hidupnya. Kebahagiaan itu juga diperoleh melalui hati yang tergerak oleh belas kasihan. Nah, masihkah kita menemukan orang yang mudah tergerak hatinya untuk kebahagiaan sesamanya?

Kita berharap masih ada begitu banyak orang yang mau peduli terhadap sesamanya. Orang seperti ini akan menemukan dalam hidupnya bahwa hidup ini memiliki makna yang begitu dalam dan indah.

Memang, tidak gampang orang memiliki hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan. Lebih gampang menemukan orang yang cuek terhadap situasi di sekitarnya. Lebih gampang menjumpai orang yang acuh tak acuh terhadap sesamanya. Orang tega membiarkan sesamanya mengalami penderitaan dalam hidupnya. Banyak orang lebih mudah mencari aman bagi diri mereka sendiri.

Seorang bijaksana berkata, “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang.” Artinya, orang yang baik hati itu mesti menampakkan kebaikannya dalam hidup yang nyata.

Tentang kebaikan hati, Frederick W. Faber berkata, “Kebaikan hati telah mempertobatkan lebih banyak orang berdosa ketimbang semangat, kefasihan lidah, dan kepandaian.” Artinya, orang yang mengandalkan kebaikan hati itu membuka hatinya lebar-lebar bagi kebahagiaan sesamanya. Tuhan memberkati. **



Frans de Sakes, SCJ

Meraih Sukses melalui Usaha Keras



Seorang senator Amerika Serikat, yang dihormati dan dikagumi karena pengetahuan, kebijaksanaan, dan pengertian yang dimilikinya ditanya, “Senator, Anda tidak pernah kuliah. Bagaimana Anda bisa menjadi pakar di bidang masalah nasional dan internasional? Di mana Anda belajar begitu banyak hal?”

Jawabannya sangat sederhana dan langsung pada sasaran. “Saya membuat peraturan ketika masih berusia delapan belas tahun bahwa dalam satu hari saya harus membaca paling sedikit dua jam. Di atas kereta api, di hotel, di ruang tunggu, saya harus membaca majalah, ringkasan berita, laporan politik, buku-buku yang baik, puisi, dan Kitab Suci,” katanya.

Orang yang bertanya itu terkagum-kagum mendengar jawaban sang senator. “Cobalah anak muda. Dengan cara itu, engkau akan menjadi orang yang berpendidikan,” kata Senator itu lagi.

Sahabat, banyak orang bermimpi menjadi orang hebat dan pintar. Banyak orang bercita-cita setinggi langit dan menguasai dunia. Namun cita-cita itu sering hanya tinggal cita-cita. Mengapa? Karena orang tidak membekali diri dengan kerja keras. Cita-cita yang tidak dibarengi dengan usaha yang nyata hanyalah mimpi di siang bolong.

Kisah senator tadi memberi inspirasi bagi kita, agar kita berani membuat target dalam hidup kita. Kalau kita ingin maju dan meraih cita-cita yang kita canangkan, kita mesti berani berkorban. Kita mesti menyadari bahwa tidak ada keberhasilan yang diraih tanpa korban.

Untuk itu, orang mesti mulai merancang hidupnya. Orang mesti merancang strategi-strategi yang jitu untuk meraih sukses dalam hidup. Sukses itu diraih melalui butiran-butiran keringat yang mengucur untuk kebahagiaan diri dan sesama. Adakalanya ada butiran-butiran air mata yang meleleh.

Orang yang mau sukses itu juga berani menahan rasa sakit. Setelah semua derita dan kerja keras itu berlalu, orang mengalami sukacita. Orang mengalami hidup ini begitu bermakna. Hidup ini menjadi suatu kenangan yang tak akan pernah dilupakan. Hidup ini menjadi kesempatan untuk membahagiakan diri dan sesama. Inilah panggilan setiap orang beriman, yaitu membawa sukacita bagi sesamanya melalui usaha-usaha kerasnya.

Mari kita berusaha untuk terus-menerus meraih sukses dengan berani mengorbankan hidup kita. Dengan demikian, kita dapat mengalami sukacita dan damai dalam hidup ini. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

823

15 November 2011

Potret Wajah Itu

Pukul tujuh itu,

terpotret sebuah wajah

nyentrik matanya melototi aku

dan bira nafasnya terhembus rindu



pukul delapan dua puluh menit,

terlelap aku dalam rindunya

dan dia berbisik lirih

dalam sugesti yang terhempas



Frans de Sales, SCJ (Distinguished Member of International Society of Poets in Washington DC, USA)

3 Juni 1984

Segera Mulai Lakukan Sesuatu

Anda punya masalah dalam menyelesaikan suatu pekerjaan? Mengapa Anda punya masalah? Ada banyak alasan tentunya. Namun satu hal yang mesti Anda perhatikan adalah Anda mesti berani mulai untuk menyelesaikan masalah Anda.

Selama bertahun-tahun seorang petani tua terpaksa membajak di sekeliling sebuah batu besar di salah satu petak sawahnya. Batu itu telah mematahkan beberapa mata bajak dan sebuah cangkul miliknya. Semakin hari, batu itu makin menyusahkan petani itu.

Suatu hari, setelah mata bajaknya kembali patah dan teringat akan berbagai kesulitan yang telah ditimbulkan batu itu, akhirnya ia memutuskan melakukan sesuatu. Ia menancapkan linggis ke dasar batu itu. Betapa terkejutnya dia karena ternyata tebal batu itu hanya sekitar 30 cm.

Dengan menggunakan palu besar, batu itu pun dihancurkannya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, petani itu tersenyum. Ia malu pada dirinya sendiri. “Seharusnya saya dapat mengatasi batu ini sejak pertama kali saya temukan batu ini. Kalau itu terjadi, saya tidak perlu bersusah-susah sampai bertahun-tahun,” katanya.

Sahabat, banyak orang suka menunda-nunda untuk melakukan sesuatu yang sangat berguna bagi hidupnya dan sesamanya. Akibatnya, mereka sering mengalami kesulitan dalam hidup ini. Beban semakin berat, karena tumpukan pekerjaan atau masalah yang tidak pernah diselesaikan.

Kisah tadi mau mengatakan kepada kita bahwa kita tidak perlu menunda-nunda untuk menyelesaikan suatu masalah. Kalau kita menunda, bayarannya akan lebih besar. Resiko yang diakibatkannya itu akan lebih besar. Petani itu telah membuang banyak waktu, pikiran dan alat-alat pertaniannya. Ia tidak berani mengambil langkah sejak awal. Ia menunda-nunda. Ketika ia berani mengambil tindakan, ternyata ia menemukan kemudahan dalam menyeleksaikan persoalannya.

“Tragedi kehidupan terjadi adalah bukan karena hidup berakhir sedemikian cepat, tetapi karena kita menunggu demikian lama untuk memulainya,” kata seorang bijaksana.

Betul! Kita tidak akan pernah tahu, kalau kita tidak pernah memulai. Kalau kita tidak pernah memulai, lalu kapan kita akan menyelesaikan, apalagi menikmatinya?

Luka yang ada di kaki kita akan segera sembuh, kalau kita segera mengobatinya. Tetapi kalau kita biarkan saja dengan mengatakan nanti juga sembuh, kita mesti siap-siap untuk menderita lebih lama. Keadaan tidak selalu baik. Orang yang menunda bertindak sampai semua faktor mendukung, sebenarnya tidak akan mengerjakan apa pun. Penundaan tidak akan pernah menyelesaikan suatu masalah.

Orang beriman senantiasa punya iman dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Karena itu, orang mesti berani mengambil tindakan yang cepat untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau suatu masalah yang dihadapi. Dengan demikian, orang tidak perlu menimbun pekerjaan atau masalah dalam hidupnya. “Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai” kata seorang bijak (Pkh. 11:4).

Jangan pernah menunda apa yang seharusnya kita lakukan hari ini. Jangan sampai bahwa pada akhirnya yang datang hanyalah penyesalan tiada akhir. Anda tidak perlu menunggu berhasil untuk melakukan sesuatu, sebab Anda tidak akan berhasil, jika tidak mulai melakukan sesuatu. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

14 November 2011

Berlatih Diri untuk Senantiasa Peduli

Di New York, seorang tukang pos ditembak oleh seorang penembak jitu. Ia tidak boleh lama-lama berada di dalam lobi. Ia disuruh keluar dari lobi sebuah bangunan, karena darahnya mengotori karpet.

Di Oklahoma, seorang perempuan melahirkan di trotoar. Para pejalan kaki memalingkan mukanya. Seorang sopir taksi melihat ke arahnya, kemudian menancap gas mobilnya. Sebuah hotel di dekatnya menolak meminjaminya selimut.

Di Dayton, Ohio, selusin orang melihat seorang perempuan mengalami kecelakaan. Mobilnya masuk Sungai Miami. Mereka melihat kejadian itu dengan acuh tak acuh, ketika perempuan itu memanjat atap mobilnya dan berteriak bahwa dia tidak dapat berenang. Tak lama kemudian, perempuan itu mati tenggelam.

Sahabat, begitu banyak kejadian seperti kisah-kisah di atas ini terjadi di sekitar kita. Banyak yang peduli terhadap korban-korban kecelakaan atau kriminal. Mereka membawa korban-korban tersebut ke rumah sakit terdekat. Mereka memberikan pertolongan. Mereka mengulurkan tangan bagi para korban tersebut. Banyak dari para korban itu mengalami kedamaian dalam sisa-sisa hidup mereka.

Namun kita juga menemukan kisah-kisah mengenaskan seperti kisah-kisah tadi. Begitu banyak gelandangan dibiarkan terlunta-lunta. Mereka kemudian menghembuskan nafas dalam sunyi senyap dunia. Tiada tangan yang mau mengulur bagi mereka. Tiada sapaan mesra bagi mereka. Bahkan banyak orang menjauhi mereka. Banyak orang merasa takut terhadap kehadiran mereka. Karena itu, dibuat aturan-aturan untuk menyingkirkan mereka.

Pertanyaannya, mengapa situasi seperti ini mesti terjadi? Situasi seperti ini terjadi karena disposisi batin manusia. Orang kurang punya hati yang terbuka untuk sesamanya. Orang melihat sesamanya sebagai pengganggu kehidupan. Orang merasa bahwa kehadiran sesamanya bukan sebagai rahmat bagi diri mereka.

Orang beriman mesti menyadari bahwa ketidakpedulian terhadap sesama merupakan salah satu bentuk dosa. Sang bijaksana berkata, “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17).

Dante Alighieri bahkan lebih keras lagi berkata, “Tempat yang paling pantas di neraka disediakan bagi mereka yang pada saat krisis moral tidak melakukan apa-apa”.

Kepedulian terhadap sesama itu mendatangkan rahmat keselamatan bagi sesama. Kalau kita peduli terhadap sesama yang membutuhkan bantuan kita, kita menyelamatkannya dari kebinasaan. Kita memberi sesama itu kesempatan untuk melanjutkan hidupnya. Ketika kita berani mengulurkan tangan bagi sesama yang menderita, kita memberikan sukacita.

Mari kita berlatih terus-menerus untuk memiliki kepedulian terhadap sesama kita. Dengan demikian, semakin banyak rahmat yang kita alirkan kepada sesama kita. Banyak sesama kita yang mengalami damai dan sukacita dalam hidup. Tuhan memberkati. **


Frans de Sales, SCJ
KOMSOS Keuskupan Agung Palembang
822

13 November 2011

Hati-hati Terhadap Tawaran-tawaran


Ketika kembali dari Eropa, Dwight David Eisenhower (1890-1961), Presiden Amerika Serikat ke-34, berbicara kepada wartawan: “Seluruh dunia lapar akan kedamaian. Para pakar militer memberi tahu kemungkinan terjadinya perang nuklir yang mengerikan pada masa mendatang. Bencana akan menimpa umat manusia sebagai konsekuensinya. Hal ini merupakan rencana yang amat disukai iblis saat dia dengan terampil memintal jaringannya di seluruh dunia.”

Menurut Eisenhower, setiap negara yang dapat melaksanakan kedamaian, dapat mengendalikan dunia. Iblis akan memiliki seorang manusia super yang dapat melakukan hal itu. Dia akan menguasai dunia dengan bakat dan kemampuannya, sehingga dunia yang terkagum-kagum akan bertanya, “Siapa yang mampu berperang dengannya?”

Sahabat, kekuatiran Eisenhower itu juga menjadi kekuatiran manusia zaman sekarang. Ada banyak ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia di zaman sekarang terancam hidupnya oleh berbagai dekadensi. Ada dekadensi moral dengan munculnya seks bebas, korupsi dan nepotisme. Ada dekadensi dalam kehidupan bersama. Orang semakin mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Egoisme dan kepentingan kelompok bertumbuh menjadi semakin kuat. Akibatnya, orang hanya peduli terhadap diri sendiri.

Muncul juga kelompok-kelompok yang anti agama yang menyebar ke dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mereka bawa tampaknya baik-baik saja. Yang mereka bawa itu mudah meninabobokan manusia. Mereka berusaha untuk membahagiakan manusia dengan ajaran-ajaran yang mereka bawa itu.

Namun di balik itu semua, mereka punya misi tertentu untuk menguasai kehidupan manusia. Mereka punya misi tertentu untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Dengan berbagai cara, mereka mengajak manusia untuk mengandalkan diri sendiri. Banyak orang akan tersesat jalannya. Agama yang selama ini mengajarkan kebaikan dan kebenaran akan ditinggalkan.

Nah, apa jadinya kalau situasi seperti ini menimpa diri kita? Tentu saja kita akan merasa terombang-ambing. Nilai-nilai moral yang kita junjung tinggi selama ini akan lenyap begitu saja. Tidak akan bernilai banyak lagi bagi kita. Nilai-nilai itu menjadi hampa dalam hidup kita. Persaudaraan dan persahabatan yang kita bangun selama ini akan lenyap begitu saja. Seolah-olah menguap tanpa bekas. Lantas apa yang menjadi pegangan hidup kita? Kita akan bingung.

Karena itu, kita perlu hati-hati terhadap berbagai tawaran yang datang kepada kita. Kita mesti seleksi setiap tawaran yang kita peroleh itu. Kalau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan kehidupan yang kita anut selama ini, kita mesti singkirkan.

Dengan demikian, hidup kita menjadi lebih bermakna. Tuhan tidak menjadi pemain cadangan dalam hidup kita. Namun Tuhan sungguh-sungguh menjadi satu-satunya pedoman hidup kita. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan yang indah untuk memuliakan Tuhan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

821