Pages

30 April 2010

Kasih Itu Sumber Hidup Manusia

Adalah suatu rahmat Tuhan saya dapat berjumpa dengan Percy N. Khambatta, pendeta agama Zarathustra. Penampilannya yang sederhana dengan pakaian putih-putih hingga topi, menampakkan suatu kesejukan tersendiri. Bicaranya sangat sederhana. Ia selalu menatap wajah lawan bicaranya sebagai tanda hormat dan perhatian.

Meski baru pertama kali berjumpa, tidak ada rasa asing di antara kami. Padahal agama kami berbeda. Warga negara kami juga berbeda. Dia seorang warga negara Singapura yang menginjakkan kaki di kota mpek-mpek Palembang, karena tragedi jatuhnya pesawat Silk Air di Sungsang, Sumatera Selatan, 19 Desember 1997.

Kami berjumpa dalam acara peresmian monumen Silk Air untuk menghormati dan mendoakan 104 korban di pemakaman Kebun Bunga, 19 Desember 1998 silam. Saya adalah satu-satunya ulama Indonesia yang diundang untuk mendoakan arwah para korban itu. Sementara semua ulama yang lain, dari berbagai agama, berasal dari Singapura.

Saya memang buta mengenai Agama Zarathustra. Yang terlintas dalam pikiran saya cuma nama pendirinya, yaitu Zoroaster yang memulai agamanya di Iran ribuan tahun silam. Tetapi soal inti ajarannya? Saya buta! Karena itu, saya berdialog dengan Khambatta. Saya ingin tahu.

“Our religion teaches us to be good person,” kata Khambatta. Artinya, agama kami mengajar kami untuk menjadi orang baik.

Menjadi orang baik! Itulah titik tolaknya. Lantas dalam hidup sehari-hari agama Zarathustra merealisasikannya dalam good thoughts (berpikir baik), good words (berkata baik) dan good deeds (berbuat baik).

Falsafahnya sangat sederhana. Seandainya semua orang memiliki falsafah seperti itu, tentu dunia akan jadi lain. Dunia ini akan menjadi tempat manusia memanen damai, kasih, persaudaraan sejati. Bukan badai kekacauan seperti yang sudah, sedang dan akan kita alami dan kita saksikan dalam hidup kita sehari-hari. Tentu dunia ini akan selalu diwarnai oleh suasana hidup yang saling menghormati. Hak-hak asasi manusia sungguh-sungguh dihargai. Tidak perlu lagi ada diskriminasi terhadap suku, agama, dan ras atau etnis tertentu. Semua hidup dalam damai.

“Most of all, we have to love each other,” kata Khambatta. Artinya, yang terpenting adalah kita mesti saling mengasihi. Bukankah ini sungguh-sungguh indah?

Untuk merealisasikan kasih itu, Khambatta, yang mengaku sebagai pendeta part time karena jumlah umat Zarathustra di Singapura sangat sedikit (202 orang), memberi makan kepada kaum fakir miskin yang datang ke restorannya di Jalan Orchard 391, Singapura.

Kasih! Satu kata inilah yang mesti menjadi pegangan hidup setiap orang yang beriman kepada Tuhan. Kiranya setiap agama dan kepercayaan mengajarkan tentang kasih. Kasih menjadi andalan utama setiap agama dan kepercayaan. Kasih ini menjadi jimat kita orang beriman. Karena ketika orang mengingkari kasih, yang terjadi justru kegalauan. Ketika mata manusia terkatup rapat karena benci, iri hati kehancuranlah yang ditemukan. Pengampunan tidak terjadi dalam kehidupan ini kalau orang mengabaikan kasih kepada sesamanya.

St Paulus berkata, “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya.”

Apa artinya ungkapan ini bagi orang beriman? Artinya, kasih itu mesti menjadi nyata dalam hidup sehari-hari. Kasih itu diungkapkan dalam perbuatan nyata seperti rela mengampuni yang bersalah, tidak cemburu, ramah terhadap sesama, memberikan pertolongan kepada yang berkesusahan dan masih banyak lagi perbuatan baik lainnya. Kalau hal-hal ini terjadi dalam hidup yang nyata, dunia ini menjadi tempat yang aman untuk dihuni. Lingkungan di mana kita hidup dipenuhi dengan suasana yang menyenangkan.

Mari kita mempraktekkan kasih itu dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih bermakna bagi hidup semua orang. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

363
Bagikan

29 April 2010

Menjadi Pelopor Perdamaian





Suatu hari seorang anak kecil berdoa dengan sangat khusyuk di dalam rumah ibadat. Matanya berkaca-kaca. Ia berdoa, “Tuhan, Hatiku sedang galau saat ini. Begitu banyak kekerasan yang terjadi. Banyak teman-temanku yang terkapar mati. Mereka tidak berdosa, Tuhan. Tetapi kenapa mereka menjadi korban kekerasan seperti perang, kekerasan dalam rumah tangga?”

Anak berusia sepuluh tahun ini berdoa demikian, karena setiap hari ia mengikuti berita-berita TV dan membaca surat kabar yang terbit di kotanya. Hatinya terasa perih, ketika ia menyaksikan setiap kekejaman manusia terhadap sesamanya. Betapa tidak, ada anak yang dibunuh oleh orangtuanya seperti sedang sembelih ayam. Ada lagi anak-anak yang mati karena serangan para tentara di Irak atau bom bunuh diri di Pakistan.

“Tuhan, aku takut kalau dunia ini semakin menjadi tempat pembantaian terhadap teman-temanku. Mungkin aku juga dapat menjadi sasaran tangan-tangan yang haus darah. Aku takut, Tuhan,” doa anak itu lagi.

Ketakutan anak itu memang beralasan. Setiap saat kita dapat menyaksikan kekejaman yang terjadi di seantero dunia ini. Seolah-olah dunia ini bukan lagi menjadi tempat yang aman bagi langkah-langkah manusia. Mengapa semua ini bisa terjadi?

Salah satu sebab terjadinya peristiwa-peristiwa keji itu adalah hati manusia yang egois. Manusia hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Padahal manusia itu makhluk sosial yang mesti hidup berdampingan secara selaras dengan sesamanya. Melukai hati sesama berarti melukai diri sendiri. Padahal Tuhan selalu mengasihi seluruh ciptaanNya. Ia menghendaki ciptaanNya tidak menderita.

Karena itu, sebagai orang yang beriman kepada Tuhan, kita semua diajak untuk menghentikan kekerasan dalam bentuk apa pun. Untuk itu, kita mesti mulai dari diri kita sendiri. Kita membuka hati kita untuk kasih Tuhan yang begitu besar kepada kita. Kita biarkan kasih Tuhan itu bekerja di dalam diri kita. Mengapa demikian? Karena kasih merupakan inti hidup manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa kasih.

Sebagai orang beriman, kita mesti mengandalkan kasih itu bagi hidup kita sehari-hari. Tuhan mengasihi semua orang yang memiliki hasrat baik bagi kehidupan. Untuk itu, kita mulai dari diri kita sendiri. Kita mau mengasihi orang yang dekat dengan kita. Kita mau memberantas kejahatan dan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Dengan demikian, kita dapat menciptakan suatu hidup yang damai dengan semua orang di sekitar kita.

Damai itu akan terjadi kalau kita memiliki niat baik untuk keselamatan seluruh ciptaan Tuhan. Siapkah kita menjadi pelopor-pelopor perdamaian di dunia ini?

Setiap hari kita mengalami begitu banyak hal baik bagi diri kita. Ada begitu banyak perhatian dari orang-orang di sekitar kita bagi hidup kita. Karena itu, kita ingin mensyukurinya. Kita berharap, Tuhan yang mahapengasih dan penyayang itu senantiasa menyertai kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


362
Bagikan

28 April 2010

Belajar dari Pengalaman Hidup



Suatu hari seorang teman mengunjungi saya. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa. Karena itu, kami mencurahkan rasa rindu kami dengan obrolan-obrolan masa lalu. Topik pembicaraan yang paling dominan dalam pembicaraan itu tentang live in di Solo, Jawa Tengah. Dalam live in itu, kami tinggal bersama suatu masyarakat dalam waktu yang tidak lama. Tujuan live ini adalah merasakan dan mengalami cara hidup warga setempat.

Ia mengenang kembali saat-saat, ketika ia bersama seorang tukang sampah (betulan) mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah.

“Apa komentar warga waktu itu?”tanya teman saya itu, mengingatkan saya.

“Ada yang kasihan sama kita. Ada yang bilang, orang bersih-bersih gitu kok mau jadi tukang sampah,” kata saya.

Teman saya itu tertawa terkekeh-kekeh. Memang, kebanyakan warga kurang begitu mengenal para tukang sampah (betulan) yang hampir setiap hari berkeliling itu. Karena itu, mereka pun tidak tahu, kalau ada sejumlah mahasiswa yang sedang live in alias merasakan kehidupan nyata bersama orang-orang kecil. Ketidaktahuan warga itu menjadi sesuatu yang sangat diharapkan. Mengapa? Karena kalau warga sudah tahu identitas para mahasiswa itu, sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak tega melihat para mahasiswa itu berlepotan kotoran sampah yang berasal dari rumah mereka.

“Saya merasakan bahwa pengalaman live in itu sesuatu yang berguna bagi persiapan saya untuk menjadi seorang pemimpin. Sayang, saya tidak menjadi pemimpin besar di masyarakat. Tetapi toh pengalaman seperti itu tetap saya bawa hingga kini. Saya menjadi lebih peduli terhadap mereka yang kurang mampu,” kata teman saya yang kini sudah menjadi seorang bapak keluarga dengan dua orang anak ini.

Pengalaman hidup sehari-hari sering menjadi guru yang sangat berharga dalam mendidik seseorang memaknai hidup ini. Para pemimpin yang pernah mengalami hal ini akan memperhatikan rakyat yang mereka pimpin. Pengalaman live in itu sesuatu yang sangat berharga dalam proses pembinaan mereka.

Gunungan sampah yang pernah mereka sentuh dapat mengajari mereka bahwa ada warna-warni kehidupan yang mesti mereka jamah dan alami. Kehidupan ini tidak hanya riak-riak kecil nan biasa yang mengalir begitu saja. Kehidupan ini ternyata memiliki suatu makna perjuangan, kalau itu didalami sungguh-sungguh.

Pengalaman ini tentu akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan hidup seorang pemimpin. Presiden Sukarno banyak ditempa oleh perjumpaan dengan masyarakat kecil. Ketika ia dibuang di berbagai tempat di Tanah Air, ia belajar banyak dari mereka. Ia menjadi seorang pemimpin yang sangat peduli terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Karena itu, perjuangannya untuk kemerdekaan bangsa ini merupakan suatu perjuangan yang total. Sebagai orang beriman, apakah kita juga berjuang secara total untuk kebahagiaan sesama kita? Ataukah kita masih hanya berkutat dengan diri kita sendiri? Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


361

Bagikan

26 April 2010

Pentingnya Pertobatan



Beberapa tahun lalu seorang pembunuh akan dihukum mati di salah satu negara bagian di Amerika Serikat yang memberlakukan hukuman mati. Kakak dari pembunuh itu, yang pernah berjasa besar bagi negara, memohon kepada gubernur negara bagian untuk mengampuni adiknya itu.

Permohonannya dikabulkan. Lantas ia mengunjungi saudaranya di penjara dengan surat pengampunan di sakunya. Setelah diijinkan untuk menemui adiknya, ia bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan, jika kamu menerima pengampunan?”

Tanpa basa-basi, adiknya itu menjawab, “Hal pertama yang akan saya lakukan adalah melacak hakim yang menghukum saya. Kalau sudah ketemu, saya akan membunuhnya.”

Kakaknya terkejut, katanya, “Kamu sudah gila!”

Adiknya tidak peduli dengan kata-kata kakaknya. Ia melanjutkan, “Hal kedua adalah saya akan melacak saksi-saksi yang memberatkan saya. Kalau sudah ketemu, saya akan membunuh mereka juga.”

Kakaknya tidak bisa mengerti ungkapan hati adiknya. Serentak ia berdiri lalu meninggalkan ruangan sel itu dengan surat pengampunan di sakunya.

Apakah yang jahat selalu jahat? Semestinya tidak. Orang jahat bisa menjadi orang baik, kalau ia bertobat. Kalau ia mengakui semua kejahatan yang pernah dilakukannya dan mau kembali ke jalan yang benar. Tetapi pembunuh dalam kisah di atas tetap memendam kebencian di dalam hatinya. Ia merasa bahwa orang yang berlaku tidak adil terhadapnya mesti dilenyapkan. Padahal seandainya ia mau bertobat, ia tidak perlu mendapatkan hukuman mati. Ia dapat bebas dan melanjutkan hidup ini secara normal.

Seringkali dendam itu terjadi karena orang dikuasai oleh emosi yang tidak tertahankan. Emosi seperti ini dapat membawa bencana bagi hidup sendiri dan bagi hidup banyak orang. Karena itu, orang mesti menyadari bahwa ketika ia sedang dilanda emosi, ia mesti hati-hati. Ia tidak boleh mengambil keputusan dalam keadaan seperti itu. Setiap keputusan yang diambil ketika orang dikuasai oleh emosi akan berakibat fatal bagi hidupnya.

Sebenarnya emosi dalam diri kita itu bisa diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat positif bagi hidup kita. Pertama-tama orang mesti berusaha meredam emosinya dan mengalihkannya ke sesuatu yang bersifat positif. Dengan demikian orang akan menghasilkan sesuatu yang baik bagi hidupnya.

Emosi yang diolah itu akan membawa keuntungan-keuntungan bagi hidup bersama juga. Orang tidak mudah membalas dendam terhadap orang yang melakukan kesalahan terhadapnya. Orang mudah untuk memaafkan sesamanya. Orang juga mudah untuk bertobat atas segala perbuatan jeleknya terhadap sesama.

Setiap hari kita selalu menimba kebaikan-kebaikan dari sesama. Mari kita bawa semua kebaikan itu dalam hidup ini. Kita tetap membuka hati kita terhadap Tuhan yang begitu mengasihi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com




360

Bagikan

25 April 2010

Kebersihan Itu Bagian dari Iman



Suatu hari mata saya terhenyak oleh sebuah kalimat yang sangat indah. Kalimat itu berbunyi, “Kebersihan itu bagian dari iman”. Yang membuat saya kaget adalah kalimat itu terpampang di atas tumpukan sampah yang menggunung. Padahal tempat itu bukan untuk membuang sampah. Tetapi warga sekitar selalu membuang sampah di tempat itu. Akibatnya, petugas sampah kota tidak mau mengambilnya. Lama-kelamaan sampah itu kian menggunung dan mengeluarkan bau busuk.

Promosi tentang kebersihan lingkungan seperti ini memang sangat baik. Soalnya adalah kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang kebersihan. Akibatnya, masyarakat tidak peduli bahwa kebersihan itu bagian dari hidup yang tidak boleh diabaikan. Kalau lingkungan kotor, hidup menjadi tidak aman. Penyakit mudah menyerang warga. Akibat lanjutnya adalah biaya untuk kesehatan semakin tinggi. Padahal kalau membuang sampah pada tempat yang sudah ditentukan akan membantu kebersihan kota dan lingkungan sekitar.

Ada tiga hal yang menyebabkan orang membuang sampah tidak pada tempat yang ditentukan. Pertama, kurangnya kesadaran orang tentang hidup sehat. Yang penting adalah dapat makan sehari tiga kali dan kebutuhan-kebutuhan lain terpenuhi. Soal hidup sehat, nanti dulu. Kalau sudah mengalami sakit atau menderita suatu penyakit orang lalu mulai sadar betapa pentingnya kesehatan.

Kedua, ada orang yang mau cari gampang saja. Orang seperti ini biasanya malas untuk pergi jauh-jauh sambil membawa sampah. Lebih baik buang di dekat rumahnya saja. Mental cari gampang ini menumbuhkan ketidakpedulian terhadap sesama di sekitarnya. Yang penting bagi dia adalah dia sehat dan tidak kekurangan sesuatu apa pun. Kesadaran bahwa ia hidup bersama orang lain dalam masyarakat itu sangat rendah.

Ketiga, ada orang yang memiliki egoisme yang tinggi. Egoisme biasanya menguasai orang ini, sehingga prinsipnya adalah asal dia tidak mendapat masalah dengan persoalan sampah. Orang ini biasanya menghindar kalau masyarakat berbicara tentang hidup sehat di lingkungan. Ia akan mencari berbagai alasan yang membenarkan dirinya.

Apa yang bisa kita buat untuk mengatasi persoalan kebersihan? Iklan atau promosi tentang kebersihan seperti kalimat di atas adalah salah satu usaha yang sangat tepat. Kalimat ‘Kebersihan adalah bagian dari iman’ akan terus-menerus mengingatkan orang bahwa hidup manusia tidak terlepas dari kebersihan. Orang yang beriman kepada Tuhan itu mesti menghayati slogan ini dalam hidupnya.

Percuma ia beriman kepada Tuhan, tetapi ia masih dipenuhi dengan kurangnya kesadaran tentang hidup sehat. Kata orang, kebersihan dari wajah seseorang itu cerminan kebersihan jiwanya. Iman itu menjadi kurang berguna, kalau orang hanya mau cari gampang untuk dirinya sendiri saja. Orang yang beriman itu mesti berani berkorban untuk kehidupan yang lebih luas. Orang yang beriman itu berani bersusah payah demi kesejahteraan banyak orang. Percuma orang beriman kepada Tuhan, kalau egoisme selalu menguasai dirinya. Orang yang dikuasai oleh egoisme biasanya tidak bisa mencintai sesamanya. Ia hanya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.

Setiap hari mengalami berbagai hal yang begitu indah bagi hidup kita. Kita syukuri itu sebagai anugerah Tuhan bagi kita. Kita bawa semua itu dalam hidup ini. Kita juga mohon agar Tuhan senantiasa membersihkan hati kita dari egoisme kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com
359




Bagikan

24 April 2010

Mensyukuri Kasih Seorang Ibu





Ibu saya suka sekali membuat minyak goreng dari santan kelapa. Suatu siang, ketika pulang dari sekolah, saya mencari-cari ibu saya. Saya mencarinya di dapur, tetapi dia tidak ada di sana. Padahal saya sudah lapar sekali. Yang saya temui di dapur adalah sebuah wajan penuh santan kelapa di atas tungku dengan api yang bernyala. Tiba-tiba saya mengambil kayu bakar yang ada di sebelah tungku lalu memperbaiki api yang tidak sempurna nyalanya.

Apa yang terjadi kemudian? Wajan itu terguling. Santannya tumpah menggenangi dapur itu. Ibu saya yang mendengar bunyi wajan yang jatuh, cepat-cepat mendatangi dapur. Dengan wajah yang sedih ia menatap wajah saya yang ketakutan. Setelah beberapa saat ia memeluk saya. “Tidak apa-apa, nak. Tidak usah takut. Ibu tidak marah padamu,” bisik ibu saya.

Saya merasakan kehangatan pengampunan dari seorang ibu. Kasihnya begitu tulus. Meski anaknya melakukan kesalahan, ia tidak peduli. Yang dia punyai hanyalah kasih yang mampu memaafkan kesalahan anaknya.

Meski begitu, dalam hati saya tetap merasa bersalah. Siang itu juga, setelah makan siang, saya pergi ke kebun untuk mengambil kelapa. Saya ingin mengganti santan yang sudah hilang lenyap itu. Sekitar satu jam kemudian saya pulang membawa enam buah kelapa, ibu malahan mencemaskan saya. Ia berkata, “Mengapa kamu lakukan ini? Kalau kamu jatuh dari pohon kelapa, bagaimana? Yang sudah terjadi, terjadilah. Ibu tidak ingin kamu mengganti santan yang sudah tumpah itu.”

Saya kembali merasakan besarnya kasih seorang ibu. Saya menatap wajah itu saya dalam-dalam. Air mata membasahi wajah saya sebagai ungkapan keterharuan saya atas kasih ibu saya. Saya pun memeluknya dan menangis dalam pelukannya.

Pernahkah Anda mengalami kasih seorang ibu yang sedemikian besar? Saya kira setiap ibu yang normal akan memiliki kasih yang besar kepada anak-anaknya. Ia tidak menghitung untung atau rugi dalam mengungkapkan kasih sayangnya. Meski anaknya melakukan suatu kesalahan yang fatal, ia tetap mengasihinya. Sebab hanya kasihlah yang ia miliki. Seorang ibu yang baik tidak memiliki rasa benci terhadap buah hatinya yang pernah tinggal di dalam rahimnya.

Karena itu, kita patut bersyukur memiliki ibu yang mempunyai kasih yang besar kepada kita. Hidup seorang ibu selalu dibaktikan untuk anak-anak yang dilahirkannya. Seorang ibu rela menderita bagi hidup anak-anaknya. Ketika hidung seorang anaknya tersumbat, seorang ibu rela menyedot cairan yang menyumbat hidung anaknya dengan mulutnya. Ia melakukannya dengan penuh kasih sayang. Yang ia miliki hanyalah kasih yang tulus bagi anak-anaknya.

Sepanjang hidup ini kita telah mengalami kasih sayang yang begitu besar dari ibu atau orang-orang yang dekat dengan kita. Itu adalah rahmat Tuhan yang boleh kita alami bagi hidup kita. Tetapi kita juga dituntut untuk membagikan pengalaman kasih itu kepada sesama yang kita jumpai. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


358

Bagikan

23 April 2010

Menemukan yang Paling Berharga




Ketika sedang mengantre di kasir untuk membayar belanjaan bersama mamanya, mata seorang gadis kecil menangkap seuntai kalung mutiara putih berkilauan. Sambil menepuk tangan ibunya, jari gadis kecil itu menunjuk untaian kalung mutiara itu. Ia bertanya kepada ibunya, “Mama, bolehkah aku memilikinya? Boleh ya, Ma?”

Ibunya hanya tersenyum menyaksikan tingkah anaknya. Tetapi mata ibu itu cepat menyelidik harga kalung mutiara itu. Cuma dua puluh lima ribu rupiah. Beberapa saat kemudian, ia berkata kepada putrinya, “Nak, ambil mutiara itu. Bawa ke sini, biar dibayar sekalian. Itu untuk hadiah ulang tahunmu minggu depan.”

Gadis kecil itu segera mengambil seuntai kalung mutiara itu. Dengan tersenyum lebar ia mendatangi ibunya. Dalam hatinya, ia berkata, “Aku akan selalu menjaga kalung ini baik-baik. Aku tidak akan menghilangkannya atau memberikannya kepada orang lain.”

Wajah gembira selalu menyelimuti wajah gadis itu sepanjang hari itu. Ia memamerkannya kepada ayah dan kakak-kakaknya. Kalung mutiara ‘palsu’ itu menjadi barang yang sangat berharga bagi gadis kecil itu. Ia melepaskan kalung itu hanya kalau mau mandi atau berenang. Ibunya pernah mengatakan kalau kalung itu kena air, maka lehernya akan menjadi hijau. Gadis itu sangat menyayangi kalung itu, meski kalung itu palsu. Ia mengikuti semua saran dari ibunya.

Ada hal-hal yang begitu berharga yang ada pada diri kita yang sangat kita sayangi. Kita tidak rela kalau hal-hal itu lepas dari diri kita. Kita berusaha menjaganya dengan sebaik-baiknya.

Namun betapa berharganya barang-barang yang kita miliki, semua itu hanya sementara. Semua itu dapat binasa dalam sekejap. Karena itu, kita mesti pandai-pandai memelihara barang-barang itu. Soalnya, apakah perhatian kita hanya tertuju kepada barang-barang berharga itu? Kalau kita tidak punya waktu untuk memperhatikan barang-barang berharga itu, apa yang mesti kita lakukan?

Ada orang mengatakan bahwa ada hal yang lebih berharga yang mesti kita pelihara dalam hidup ini, yaitu hati kita. Kalau hati kita baik, banyak orang akan menyukai kita. Kalau hati kita jahat, banyak orang akan menyingkir dari kita. Orang yang judes yang suka marah-marah biasanya tidak punya banyak sahabat. Ia dianggap sebagai orang yang mudah menyakiti hati orang lain. Akibatnya, ia dianggap sebagai musuh yang berbahaya bagi kehidupan.

Karena itu, sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan kita mesti memelihara hati yang baik. Hati yang baik itu berkenan kepada Tuhan dan sesama yang hidup bersama kita. Untuk itu, kita mesti memiliki semangat untuk membangun persaudaraan dengan semua orang yang kita jumpai dalam hidup ini. Artinya, kita tidak memilih-milih orang dalam membangun persaudaraan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

357
Bagikan

22 April 2010

Berani Berbuat Kesalahan


Winston Churchill tidak pernah takut membuat kesalahan. Padahal ia seorang pemimpin terkenal Inggris di Perang Dunia II. Karena itu, kalau ada keputusan yang salah, pasti berakibat sangat luas bagi kehidupan manusia. Tetapi Winston tidak takut melakukan kesalahan. Ketika dia membuat kesalahan, dia mencoba menyelesaikannya sekali lagi.

Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Tuan Winston, pengalaman apa di sekolah yang paling mempersiapkan Anda, sehingga bisa membawa Inggris keluar dari masa-masa yang paling gelap?”

Dengan bangga, dia menjawab, “Ketika saya menghabiskan waktu dua tahun di kelas yang sama di sekolah lanjutan.”

Orang itu bertanya lagi, “Apakah Anda gagal pada waktu itu?”

Dengan tegas Winston menjawab, “Tidak! Saya memiliki dua kali kesempatan untuk membuatnya benar.”

Banyak orang takut melakukan kesalahan dalam hidup mereka. Orang mudah menyerah pada apa yang mereka rasa gagal. Padahal apa yang kita sebut sebagai kegagalan itu merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk hidup kita.

Orang yang takut melakukan kesalahan biasanya orang-orang tidak kreatif dalam hidup mereka. Mereka adalah orang-orang yang menerima begitu saja apa yang diberikan kepada mereka. Orang seperti ini biasanya hanya menunggu perintah dari atasannya. Kalau mereka disuruh bekerja, baru mereka mau bekerja.

Orang yang tidak takut melakukan kesalahan biasanya orang-orang yang berani melakukan inovasi-inovasi. Biasanya mereka adalah orang-orang yang kreatif dalam hidup mereka. Mereka tidak menunggu diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan. Bahkan mereka sendiri biasanya mengambil inisiatif untuk melakukan hal-hal yang kemudian memberikan hasil yang sangat spektakuler.

Biasanya orang yang tidak takut melakukan kesalahan itu orang-orang yang mempunyai keyakinan yang besar akan kuasa Tuhan. Mereka yakin bahwa Tuhan yang mahapengampun dan mahakasih akan mengerti kesalahan-kesalahan yang mereka buat. Karena itu, orang-orang seperti ini biasanya juga memiliki suatu sikap penyerahan yang tinggi kepada Tuhan yang mereka imani.

Bagaimana kita, orang-orang yang beriman kepada Tuhan? Beranikah kita melakukan suatu perbuatan yang besar yang mungkin kita lewati dengan kesalahan-kesalahan? Tuhan tetap setia membantu kita, kalau kita berani melakukan hal-hal baik meski kita mesti lewati dengan kesalahan-kesalahan. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com


356


Bagikan

21 April 2010

Belajar dari Pengalaman


Jonas Salk, seorang ilmuwan besar dan penemu vaksin polio, adalah orang yang tidak pernah merasa gagal. Padahal baru pada usahanya yang ke-201 ia menemukan vaksin polio. Suatu hari seorang wartawan bertanya kepadanya, “Bagaimana hasil luar biasa yang Anda capai yang bisa menghapus kata polio dari perbendaharaan dunia kedokteran menyebabkan Anda memandang 200 kegagalan Anda sebelumnya?”

Dengan penuh percaya diri, Jonas menjawab, “Saya tidak pernah membuat 200 kegagalan di dalam hidup saya. Keluarga saya tidak pernah menganggapnya sebagai kegagalan. Mereka menyebutnya pengalaman dan apa yang bisa dipelajari dari pengalaman itu. Saya hanya membuat 201 penemuan. Saya tidak akan berhasil menemukan vaksin polio tanpa 200 pengalaman sebelumnya.”

Wartawan itu berdecak kagum mendengarkan penjelasan Jonas. Dua ratus kegagalan justru menjadi 200 pengalaman yang indah untuk menemukan sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Berkat 201 penemuan itu, anak-anak diberi vaksin polio sejak dini, sehingga mereka tumbuh menjadi anak-anak yang normal.

Jarang kita menemukan orang yang seoptimis Jonas. Ia merasa optimis, karena ia memiliki keyakinan bahwa ilmu yang sedang ia dalami berguna untuk keselamatan umat manusia. Ia merasa bertanggung jawab atas generasi penerus bangsa manusia di muka bumi ini. Karena itu, ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menemukan vaksin polio itu.

Optimisme itu tentu dibarengi juga oleh suatu kerja keras tanpa mengenal lelah. Tidak ada kata gagal dalam kamus hidupnya. Yang ia lakukan adalah bekerja dengan konsistensi yang tinggi. Ia terus-menerus membaktikan diri bagi ilmu itu meski hasil yang akan ia peroleh masih samar-samar.

Dalam hidup ini orang mesti memiliki suatu optimisme. Hal ini akan memberi semangat bagi seseorang untuk terus maju dalam usaha-usahanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Mengapa orang mudah putus asa ketika suatu usaha belum menampakkan hasil yang diinginkan? Jawabannya adalah orang kurang memiliki sikap optimis. Baru sekali coba, orang sudah mengambil kesimpulan bahwa ia sudah gagal. Setiap percobaan itu tidak dipandang sebagai pengalaman yang memberi sumbangan dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan.

Pengalaman Jonas Salk mengajarkan kepada kita bahwa pengalaman-pengalaman itu adalah guru yang terbaik. Pengalaman-pengalaman itu menjadi bekal langkah kita selanjutnya untuk mencapai apa yang kita inginkan.

Sebagai orang beriman, kita tidak lupa menyertakan Tuhan dalam setiap usaha kita. Tuhan memberikan semangat kepada kita untuk tetap berjuang dalam hidup ini. Tuhan membantu kita dalam menggapai kesuksesan dalam hidup kita. Karena itu, sambil berusaha kita mesti memasrahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan. Dialah penyelenggara hidup ini bagi kita. Tuhan memberkati. **



Frans de Sales, SCJ

NB: Dengarkan Renungan Malam di Radio Sonora (FM 102.6) untuk mereka yang tinggal di Palembang dan sekitarnya, pukul 21.55 WIB.

Juga bisa dibaca di: http://inspirasi-renunganpagi.blogspot.com

355


Bagikan